Cerpen Seto Permada

Tompel di Telinga Mereka

Tompel di Telinga Mereka
Ilustrasi. (mulpix.com)
SEBELUM masuk, kami sempat mengolok-olok tempat itu. Kami memang suka mengolok-olok hal yang sekiranya dianggap remeh oleh kebanyakan. Olok-olok yang tak melebihi batas susila, menurutku. Hanya soal RM yang tertulis di kaca jendela penyambut konsumen dengan wajah sendok biasa dan sendok garpu yang disilangkan. Kawanku menerjemahkan RM Ikan Bandeng menjadi Raden Mas Ikan Bandeng disertai gelak meledak-ledak.
 
“Kalau kau ingin makan di warung itu, jangan sampai terdengar orang dalam,” kataku yang ikut-ikutan tertawa geli.
 
Kawanku sengaja berdiri di depan tulisan besar itu dengan kepala dimiringkan ke kanan. Komat-kamit seolah membaca sebuah pesan yang berat. Mengagumi tulisan dan mengolok-olok tulisan tidak ada bedanya saat itu. Ia menoleh ke jalanan yang masih padat merayap. Kedua telapak tangannya membentuk corong dan tatapannya mengarahku, “Apa?”
 
Dia memang selalu begitu. Bahkan suka meledek kawan sendiri.
“Ayo masuk, keburu RM-nya marah!” kataku.
 
Ia tertawa. Kami tertawa. Senang aku ikut ambil bagian.
 
Baru selangkah menjejak kedalaman rumah makan itu, aroma ikan tercium dan menyergap hidungku. Tak hanya bau ikan. Bau berbagai jenis parfum dan berbagai kulit manusia pun ikut tersangkut di hidung. Namun dari semuanya, bau ikan bandeng yang sudah banyak tersaji di meja itu sangat mendominasi.
 
Kawanku segera ke tempat meja pelayanan. Pandangannya melirik ke arahku. Dagunya mengangkat seperti hentakan. Itu sinyal, pertanda menanyakan pesananku. Segera jari telunjuk dan ibu jariku membentuk lingkaran tanda OK dengan jari-jari lain yang terbuka. Aku acung-acungkan ketika mendapatkan meja yang pas untuk kami. Ia langsung paham kalau pesananku sama dengannya.
 
Aku duduk dekat jendela. Untung ruangannya ber-AC. Pada masing-masing sudut tembok, menempel sebuah kipas angin yang tak berputar. Bersarang laba-laba dan beberapa alamat debu. Kelihatan capai sekali. Mungkin saja, kipas-kipas itu sebentar lagi akan dicopot, sebab tanpa kehadiran mereka pun ruangan sudah serba dingin.
 
Keringat yang semula bikin gerah di luar terserap dengan begitu tiba-tiba. Sampai bibirku terasa kering. Rumah makan ini bersebelahan langsung dengan jalan raya. Hanya ada teras kecil, paling-paling hanya cukup untuk berteduh lima orang gemuk saja.
 
Dua loyang datang dibawa oleh kawanku ketika aku tengah memandangi laju jalan raya yang terseok-seok. Kasihan sekali mereka. Kalau anak-anak sekolah pulang memang selalu begitu. Seperti pawai tapi bukan pawai. Seperti tawuran tapi bukan tawuran. Entah seperti apa. Kadangkala hidup di tengah perkotaan yang selalu padat begini membuatku rindu pada desa tempatku berasal.
 
Kawanku menepuk pundakku, “Eh?”
 
“Apa?” aku menggulirkan bola mata dari jalan raya ke matanya.
 
Dia duduk dan menyorongkan sebuah loyang berisi penuh ikan bandeng bakar yang hangat ke arahku. Jatahku. Asap ikan mengepul yang disertai aroma nikmat pun menguasai hidungku.
 
Seorang pelayan menyusul dengan sebuah baki oval ukuran mini berisi sepasang gelas es jeruk. Ia meletakkannya di meja kami dengan senyum yang lebar, “Silakan menikmati menu RM Ikan Bandeng.”
 
Aku agak tergelak mendengar kata “RM” lagi ketika pelayan itu memunggungi kami dan kembali ke mejanya sendiri. Namun tidak dengan kawanku. Pandangan matanya yang selama ini kekonyol-konyolan mendadak berubah serius. Kepalanya dimajukan. Aku tahu, itu sinyal bahwa aku juga harus memajukan kepalaku. Sehingga jarak di antara kami menjadi sangat dekat. Sekali-kali ia melirik ke sembarang arah.
 
“Heh, tadi ketika aku tengah mengambil porsi ikan bandeng kita, mereka memandangiku. Kelihatannya mereka mencurigakan.”
 
“Mereka? Siapa?”
 
“Meja yang dekat dengan pohon palem buatan di sana. Tengoklah, ada empat orang berbaju hitam yang bertompel di telinga mereka. Dari tadi mereka hanya memutar-mutar ikan bandeng di loyang masing-masing.”
 
“Mungkin mereka tengah menunggu hal lain. Atau lagi ada masalah,” kataku menggigit daging ikan bandeng yang sungguh empuk dan kekuningan.
 
“Atau lagi menyimak lagu lewat earphone mereka itu. Barangkali kau salah lihat. Mereka tak bertompel, tapi tengah memakai earphone. Lihat saja, mirip bukan? Makanya tak saling berbicara satu sama lain,” aku tertawa.
 
Kawanku lama-lama membosankan juga. Entah kenapa gara-gara lihat orang-orang yang tampak asing baginya itu berubah jadi kaku dan menjengkelkan. Sama sekali tak bisa diajak bercanda.
 
“Kalau earphone, mengapa mereka bertampang murung?”
 
“Bisa saja lagu yang tengah didengarkan adalah lagu melankolis.”
 
Keempat orang bertompel itu sama-sama memandang kami. Wajah murung mereka seketika cerah. Seperti mendapat ilham dari langit. Seperti mendapat kepuasan klimaks. Semakin mencurigakan. Kami berdua menunduk. Rasanya tak enak juga membicarakan orang asing. Iya kalau mereka orang baik-baik, kalau penjahat? Mati aku, bisa-bisa pulang tak bisa berjalan.
 
“Heh, lihat!” pundakku ditepuk untuk kedua kalinya.
 
Wajah kawanku beralih ke jendela. Di luar nampak banyak orang yang memakai seragam baju hitam. Dua orang berbadan gemuk berjalan memimpin mengenakan kacamata dan menenteng koper. Sepuluh, lima belas... ah, dua puluh orang di sana sama-sama bertompel di telinga.
 
Rupanya aku salah tafsir. Yang dipandangi keempat orang bertompel bukanlah kami. Tapi mereka yang di luar itu. Wajah-wajah sangar yang bikin bulu romaku tegap berdiri.
 
Lengkap ke-20 orang bertompel di telinga itu masing-masing sudah mendapatkan mejanya. Mereka tidak memesan ikan bandeng, hanya es jeruk yang satu-dua diteguk lalu disambung dengan muka-muka serius.
 
Salah seorang yang gemuk badannya itu bersuit-suit. Keempat orang yang semula jadi bahan perbincangan kami bergabung. Mereka berlutut ke kaki dua orang gemuk di sana. Dua koper diangkat dari lantai ke meja. Ketika terbuka, banyak sekali pecahan uang besar bertumpuk-tumpuk. Dua orang gemuk membagikan uang-uang ratusan ribu itu kepada tompel-tompel yang lain.
 
“Tiba-tiba aku tak berselera makan ikan bandeng,” kata kawanku menyedot habis es jeruknya, “ayo pulang.”
 
“Kenapa?” tanyaku membalik sisi lain ikan bandeng yang separuh belum kuhabisi.
 
“Orang-orang bertompel itu seperti mengusir kesenangan pelanggan lain. Lihat, kan? Pengunjung lain berbondong-bondong pulang. Tinggal kita.”
 
“Tunggu dulu,” kataku, “tunggu sampai kita tahu apa maksud orang-orang bertompel itu datang kemari.”
 
Pantat kawanku yang terangkat rebah kembali ke kursi kayu. Dua pecahan es batu di gelas ia keluarkan dan menggenggam erat-erat sampai kepalan tangannya memucat. Aku tak tahu mengapa ia mendadak serius. Wajahnya seperti menatap benci pada orang-orang bertompel di sana. Tapi sampai saat ini, aku belum juga paham.
 
Saat uang selesai dibagikan, dua orang gemuk memegangi telinga. Diikuti oleh orang-orang bertompel yang mengelilinginya. Sepertinya mereka itu anak buah. Dan yang gemuk sebagai bos.
 
Aku tercengang melihat apa yang ada di telinga mereka. Ya, itu bukan tompel sungguhan, tapi hanya tempelan. Itu kutil! Jelas, itu kutil. Tidak salah lagi. Sama seperti punya kawanku. Tepat di telinga sebelah kanan.
 
Kulihat pecahan es batu di genggaman kawanku retak. Dan entah siapa yang menyetel, televisi layar datar yang terpasang di dinding memperlihatkan pemandangan yang serupa. Sebuah sidang pengadilan, orang-orangnya bertompel semua. Pindah saluran, pembawa acara sebuah game show juga bertompel. Setiap saluran televisi yang berpindah-pindah tetap menayangkan pemandangan yang sama. Tompel-tompel melekat di telinga mereka. Menempel di telinga setiap orang yang muncul di layar televisi.
 
“Ayo pulang!” bentak kawanku tak lagi ramah.
 
Agaknya aku mulai paham mengapa kawanku tak memakai tompel seperti mereka. Barangkali orang-orang bertompel itu mengingatkan masa lalunya. Hal itu pula yang semakin membuatku betah berlama-lama di RM Ikan Bandeng.
 
Tanpa menghiraukan ajakan kawanku, aku menjadi lebih santai melahap porsi ikan bandeng sampai tandas. Menyeruput es jeruk dan mengunyah-ngunyah es batu sampai habis.
 
***
 
Purworejo, 2016
 
 
 
Seto Permada, lahir tanggal 12 Oktober 1994. Ia merupakan alumnus SMA Negeri 4 Purworejo. Beberapa cerpennya tersiar di media cetak maupun online. Kini ia bergiat di Komunitas Bisa Menulis.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri