PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Anak Pulau Kijang
Kita menemukan Kiki di dalam sebuah musim dengan angin kering
yang bertiup di Galang. Pelabuhan ke Moro yang sepi, hujan turun
sebentar mirip lelehan selai sarikaya di sepotong roti. Pagi-pagi
benar, ia telah menangkap kalajengking dengan tangan yang terberkahi
dari badannya yang bongsor itu. Tak lebih. Tak lebih besar dengan
kalajengking di pabrik bata yang ia temukan di Bumi Melayu.
Ia anak Pulau Kijang yang telah yatim piatu, katamu. Jangan
remehkan, meski membaca kitab masih dieja satu-satu.
Jalannya cepat. Tubuhnya pengangkut beban dengan segala alat
dapur dan rempah-rempah yang dipapah di bahu
Kita menghidangkan sebuah pagi tanpa lelehan mentega dan didih
minyak zaitun di Sijantung. Jalan menuju kamp-kamp pengungsian
Vietnam lebih mirip rumah hantu pukul dua pagi dengan
pengunjung berhamburan. Kemana Kiki? Kemana Kiki menghilang
dengan karibnya yang bersuara besar itu? Katamu, itulah tabiatnya.
Biarkan ia kelilingi ini pulau dan mendatangi setiap pintu.
Gulai nangka di beranda masjid hendak dihidangkan. Girang
anak-anak ke sekolah bagai mekar putik jambu di jalan beton
yang belum lama dicor. Dan kau bergumam, apakah Kiki kembali
memberikan bajunya seperti saat memberikan bajunya untuk
bangkai sesekor kucing milik seorang Nasrani yang ditabrak lari?
Kita menemukan Kiki di dalam sebuah musim dengan angin kering
bertiup di Galang. Pelabuhan ke Moro yang sepi. Sebuah kalam
di dada, yang dibawa setiap sore hari oleh anak-anak mengaji.
Batam, 2016