Cerpen Teenlit Nur Holipah

Jus Jambu

Jus Jambu
Ilustrasi.
“Kalau kolaborasi kan jadinya biaya sewa nggak mahal-mahal amat?”
 
“Ya tapi kan kita beda! Mana bisa dijadiin satu?”
 
“Tapi, ada space buat kita juga lumayan lebar kok. Cukuplah, buat pasang property.”
 
“Aku tetep nggak setuju! Kita tetep rugi. Kalaupun jadi barengan, kudunya kita bayar setengahnya dari dia.” Kata  bu Bendahara.
 
“Tapi kalau umpama nggak gabung sama mereka, sayang banget kan! Toh, kalau dihitung kita bayarnya juga lebih murah daripada sewa sendiri.”
 
“Kamu bisa itung-itungan nggak sih? Dia itu nyari untung. Kalau mau tetep gabung, kita bayar setengahnya.”
 
“Mikir untung lagi ah! Seberapa sih?”
 
Kepalaku mulai terasa nyut-nyutan. Debat yang nggak kunjung selesai. Aku minum sisa air mineral yang rasa-rasanya dari tadi pengen kulempar bergantian ke arah mereka. Tiba-tiba aja sejak dua hari lalu, orang-orang—yang aku tahunya selalu kompak—terpecah jadi dua kubu.
 
“Yog, bisa kali dilogika!” Bu Bendahara nggak kehabisan kata.
 
“Simpel aja Rin, kita gabung. Bayar. Kita nerima beres, tinggal nata property dan segala macemnya. Kalian juga nggak akan ribet!” Pak Ketum—Yogi—tetep kekeh sama usulan dia. Dia bilang begitu sambil natap anak-anak—nggak termasuk aku. Punggawanya dia manggut-manggut, setuju gitu. Tapi, aku mulai bingung kenapa usulan itu jadi kayak maksa.
 
Suasana tegang dari tadi. Ketua dan punggawanya duduk berjajar di sebelah utara. Bendahara dan para pembelanya ada di sisi selatan. Terus masing-masing kayak udah disediain mikrofon untuk mereka ngomong. Nyatanya, nggak usah mikrofon, suara mereka udah kayak lomba teriak-teriak. Meski nggak sedramatis yang aku tulis, tapi bagiku mereka udah kayak orang-orang di meja politik yang kalau debat nggak pernah abis dan belibet. Ngalor ngidul bikin pusing. Jangan tanya aku ada dimana! Aku hanya junior, cuman nyempil, di belakang triplek pemisah ruang rapat sama ruang perlaptopan. Aku ketakutan, gemetaran. Karena laper. Dilarang ketawa. Ih, jujur aku nyesel kenapa lari kesini.
 
Dari kemarin moodku lagi lumayan baik untuk sekedar nonton film yang bertahun-tahun lamanya semedi di laptop. Aku nggak ingin sombong sih. Tapi memang karena kesibukanku, jadinya nggak sempet ongkang-ongkang, santai ria buat nonton film. Ternyata tempat nyempilku yang udah biasa kujadiin markas nggak seasik bayanganku. 
 
Ceritanya gini, perpisahan sekolah nanti—sekitar empat bulanan lagi—akan ngadain pentas seni. Temen-temen ekskul seni, dapat jatah untuk tampil. Band, paduan suara, monolog puisi, dance, tari tradisional, termasuk ekskulku: drama. Pihak kesiswaan, Pak Siswoyo ngasih kesempatan seluasnya buat kami (red: para anggota ekskul) untuk ngehandle by ourselves. Kata Pak Sis, sekolah cuman nyediain panggung kecil untuk seputar keperluan sambutan, penyematan, salam-salaman sama para lulusan (serius ini bakalan kayak lebaran) dan segala macem yang hubungannya kayak sama administratif aja. Pak Sis juga bilangnya akan bantuin kami-kami ini untuk bayar sewa panggung yang lebih gede. Tapi, kami-kami ini juga udah ada jatah operasional yang emang kudu abis satu tahun kepengurusan.
 
Anggota band sama paduan suara udah sepakat untuk jadi satu. Mereka juga nawarin untuk ngajakin kami. Bayarnya akan dibagi tiga. Aku ngerti gimana pikirannya Erin. Maunya dia, bayar sewanya dibagi dua. Anggota band bayar setengah, teater sama paduan suara setengahnya dari setengah. Karena, istilahnya yang paling menguasai panggung adalah anak-anak band. Panggung cuman akan dipenuhin sama alat-alat anak mereka. Paduan suara, udah jelas nampilnya kapan dengan berapa lagu. Teater juga sama. Paling-paling make panggung cuman setengah jam-an, itu udah termasuk angkat-angkat perlengkapan dan lain-lain.
 
Ah, aku pengen nangis. Aku pengen kabur! Aku pengen ke kelas aja. Serius.
 
***


Berita Lainnya

Index
Galeri