Cerpen Dee Hwang

Uwak Lastra

Uwak Lastra
Ilustrasi. (Salvador Dali/antiquity.tv)

AKU tak pernah menyukai lelaki berbadan belalang itu. Ia selalu datang ketika membutuhkan uang, dan menghilang ketika dibutuhkan. “Ia sebatang kara di Lahat ini. Kita harus paham dan prihatin dengan kondisinya. Itu saja.” Ujar ibu setelah memberikan uang besaran sepuluh ribu rupiah dan lelaki itu pulang entah kemana.

Hari ini, aku bangun dari tidur siangku dan mendapati lelaki itu duduk di teras rumah bersama Ibuku. Mereka membicarakan sesuatu. Sesungguhnya, apa yang kulakukan selanjutnya benar-benar tidak sopan. Tetapi karena penasaran, aku pun duduk di balik dinding ruang depan, menajamkan pendengaran, menyimak apa-apa yang mereka perbincangkan. Uwak Lastra—begitulah aku menuturkannya—tidak banyak berubah. Ia datang setiap satu bulan sekali, dan tak pernah mau masuk ke rumah bila bertamu. Ia hanya akan menerima segelas kopi Lahat yang diseduh di gelas seng, hasil warisan nenek lanang dari pihak ibuku.

“Lihat. Lihatlah kepalaku.” Ia membuka topi hitamnya yang sudah kumal dan menunjukkan bagian teratas badannya itu,”Aku mencukur habis rambutku setiap waktu. Aku tak mau melihat rambutku yang memutih, karena kekasihku tak akan suka melihat hal ini—” Aku menahan batuk. Perempuan mana yang menyukai bujang karatan tak punya pekerjaan seperti dirinya? “—dan gigiku, aku membiarkannya saja di sana. Apa kau punya saran agar napasku tak bau?” Ibuku tertawa seakan-akan, ia riang setiap kali lelaki itu datang. Padahal ia bukan kakak kandungnya. Ia saudara jauh yang kebetulan menetap di kota Lahat saja.

Aku memanjangkan leher. Kuperhatikan ia yang membelakangi badan dari jendela yang tembus hanya satu sisi. Ini menguntungkanku, meski aku hanya bisa memperhatikannya sebatas itu saja. Potongannya tetap macam anak muda saja, kawan. Uwak Lastra tak pernah melepaskan topi hitamnya dan ia selalu menggunakan celana jeans robek tengah yang dikatakannya mengikuti trend masa kini, ketimbang mengakui bahwa tak ada yang menjahitkan pakaiannya sejak sewindu terakhir. Ia tidak bisa dikatakan berpenampilan seperti preman. Dengan kaos sumbangan sebuah partai berwarna-warni itu, aku harus mengatakan ia lebih mirip Pak Ogah yang lahir di era tahun dua ribuan. 

Aku tak tahu banyak tentangnya. Apa pekerjaannya. Apa status pendidikannya. Apa kesukaannya. Bagaimana ia menjalani kehidupannya. Aku sebenarnya tak peduli. Tapi aku terlanjur tahu berdasarkan cerita Ibuku, bahwa Uwak Lastra adalah anak bungsu dari bibi Ibu. Bibi Ibu, adik perempuan dari Bapaknya suami Iparnya Ibu, mewarisi banyak sekali kekayaan. Juragan kopi tentu punya banyak sekali harta. Ibuku sampai menambahkan cerita bahwa keluarga mereka memiliki berpeti-peti uang saking banyaknya. 

“Kau bisa melihat tandanya di perbatasan kota ini. Ketika kau ke kota Palembang, apakah kau melihat sebuah bangunan furniture yang panjangnya tiga kali melebihi panjang rumah kita? Nah. Sebelum dirobohkan, dijual, dan dijadikan bangunan itu, tanah di daerah lingkaran luar kota ini adalah tempat mereka tinggal.”

Aku tak mempercayai cerita Ibuku. Uwak Lastra tak punya potongan sebagai bekas orang kaya. Lantas kemana perginya kekayaan itu? Itu pun sebenarnya bukan urusanku. Tapi Ibu, dengan kesengajaan yang sunah membebaskan aku mendengar kisah lanjutannya.”Bibi Ibu meninggal dunia tujuh tahun yang lalu. Anaknya yang cuma dua beradik itu, mendapatkan warisan masing-masing. Yang tertua pindah kota ke pulau Kalimantan. Uwak Lastra, yang sebatang kara mendapatkan warisan dan menghabiskannya begitu saja. Uwak kau itu tukang minum dan tukang judi. Sekarang setelah bangkrut, ia menyadari kesalahannya dan hendak kembali ke jalan yang benar.”

 “Aku tak bisa mewarnainya. Rasanya akan gatal di kulit kepalaku. Jadi, rambut ini selalu kucukur habis setiap waktunya. Keluarga kita ubanan dalam masa yang terlalu cepat. Apa menurutmu ini sudah garis keturunan?” Pertanyaan yang menyadarkanku dari lamunan di balik dinding ini, tak menyadarkan Uwak Lastra sendiri. Apakah ia lupa bahwa tak ada hubungan sedarah antara ia dan Ibuku?

“Bagaimana kabar anak bujangmu?” Tanyanya. Aku mendengus karena ia masih mengingatku.

“Dia baik-baik saja. Dia baru saja menyelesaikan kuliahnya. Itu, sekarang sedang tertidur di dalam kamar.”

“Ah, beruntunglah kau, Remuna. Kau punya anak yang bisa menjagamu.” Uwak Lastra meraih gelas kopinya dan memegangi tangkai gelas dengan hati-hati, seakan-akan, benda itu akan tumpah bila tidak dipegangi dengan kedua tangannya,“Aku datang juga untuk untuk mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan itu. Kau mau tahu? Aku sudah memiliki kekasih.”

“Oh ya? Orang mana?” Ibu, sekali lagi menunjukkan seakan-akan ia benar-benar girang dan peduli.

“Tinggalnya di Pasar Bawah, tetapi asalnya dari Pagar Gunung. Seorang Janda.”

“Ia sudah memiliki anak?”

“Satu orang anak perempuan, usianya lima tahun. Itulah mengapa aku jadi juga memikirkannya.”

Hening sebentar.

“Tapi aku tentu harus memikirkan yang lebih penting daripada itu. Di masa tua seperti kita ini, sebagaimana peran dari anak bujangmu, setidaknya harus ada yang mengurusiku pula, bukan?” Ia bertingkah seakan-akan ia orang paling bijak seantero kota.

“Kekasih kakak tak keberatan tentang itu?”

“Hahaha! Tidak. Ia mencintaiku. Aku sudah katakan bahwa aku tidak punya pekerjaan apa-apa tapi ia tetap menerimaku tanpa apa-apa.” Aku yang masih duduk bersandar pada dinding menebak-nebak sendiri. Kalau tidak sama renta seperti dirinya, tentu perempuan itu adalah perempuan yang putus asa.


Berita Lainnya

Index
Galeri