Resensi Buku Sepotong Senja untuk Pacarku

Kritik Sosial dalam Sepotong Senja

Kritik Sosial dalam Sepotong Senja
Buku Sepotong Senja untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma.
Buku: Sepotong Senja untuk Pacarku
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ke 3: Januari 2017
ISBN: 978602-03-19003-2
 
Kritik Sosial dalam Sepotong Senja
Oleh: Ferry Fansuri
 
SEMUA yang berbau “Senja” ada pada Seno Gumira Ajidarma (SGA), ini terlihat dari karya legendarisnya Sepotong Senja Untuk Pacarku. Sebuah kumpulan cerpen yang menasbihkan SGA sebagai penulis yang diperhitungkan dalam ranah sastra. SGA juga mempopulerkan nama Alina dan Sukab yang selalu jadi icon karakter tiap cerpennya. Terdapat 3 trilogi awal dari kumcernya ini; Sepotong Senja Untuk Pacarku, Jawaban Alina  dan Tukang Pos dalam Amplop.
 
Sebenarnya kumcer ini bukan hal baru, tambahan halaman dan cover baru. Cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku sendiri telah lama termuat di Kompas bulan Februari 1991 silam. Trilogi senja dibuka seorang pria bernama Sukab yang mencoba mencuri senja dan memotongnya untuk diberikan pada sang pacar-Alina. Sukab betapa bodohnya untuk memberanikan mencuri dan dikejar seluruh kota demi senja untuk Alina. Tapi apa yang Sukab curi itu tidak membuat senang Alina, ini dijawab dalam Jawaban Alina. Senja yang dikirimkan kepadanya dalam sebuah amplop baru nyampai 10 tahun kemudian oleh seorang tukang pos.
 
Alina merasa tidak menyukai Sukab, biarpun Sukab mengirim sepotong senja. Malah membuat Alina benci karena potongan senja itu membuat lari ke atas puncak Himalaya karena senja dalam amplop itu mengakibatkan ar bah bagai jaman nabi Nuh. Dalam trilogi ini, cerpen Tukang Pos dalam amplop ada di tengah 2 cerita tersebut. Pertanyaan kenapa baru 10 tahun surat Sukab baru nyampai ke Alina, ini ulah kejahilan tukang pos yang mengintip amplop senja dan tersedot kedalamnya. Baru muncul kembali 10 tahun kemudian.
 
Kumcer SGA ini terdapat 14 cerpen, tapi paling menarik hari pada “Kunang-Kunang Mandarin” dalam konteksnya mengacu peristiwa kerusuhan rasial Mei 1998 silam. SGA begitu piawai menyamarkan kata  “Cina” menjadi Mandarin. Didalamnya diceritakan Sukab dan lagi-lagi Sukab, nama ini diambil SGA tidak sengaja sewaktu mengikuti pemetasan teater dan nama itu muncul. Si Sukab ini membuat perternakan kunang-kunang dari kuku-kuku orang mandarin yang dibantai habis di kota yang dimana pelangi tak pernah memudar
 
“Dahulu kala, kota dimana pelangi tidak pernah memudar itu, orang-orang Mandarin diburu seolah-olah mereka makhluk yang harus dimusnahkan dan tidak boleh hidup dimuka bumi.Orang-orang Mandarin dibantai seperti binatang sampai habis tanpa sisa,padahal merekalah yang memajukan perdagangan kota itu” hal 71
 
SGA sekali lagi memainkan kata-kata yang cerdas, seperti terlihat diatas. Bagaimana Sukab menghargai orang-rang Mandarin yang telah mati dibantai tanpa sisa itu dengan perternakan kunang-kunang yang ia lihat dari atas bukit perkuburan massal orang-orang Mandarin.
 
Jasa si Sukab inilah dengan perternakan kunang-kunang membuat kota itu yang dulu gelap sepi sunyi kembali bergairah. Cerita-cerita Sukab dan peternakan Kunang-kunang itulah menarik perhatian para turis-turis untuk berdatangan ke kota tersebut. Hingga kota terang benderang lagi dengan pelanginya yang tidak pernah memudar. Bahkan ada seorang sarjana Mandarin bernama Udin datang ke kota itu untuk bertemu Sukab untuk mengetahui sejarah pahit bangsanya yang dibantai.
 
Tapi SGA memberi ending yang pahit dalam Kunang-kunang Mandarin.
 
"Suara angin mendesau dari laut, seperti nyanyian kematian."
 
"Tuan Udin Mandarin," sebuah suara memanggilnya.
 
Dibalik gerumbul alang-alang, dilihatnya sosok-sosok hitam mengelilingi bukit, mengepungnya
Mereka semua membawa golok”  hal 77
 
Tema “Senja” yang diusung SGA ada sebuah kritik sosial dan budaya dalam sejarah masyarakat kita. SGA pernah berkata jika jurnalis dibungkam, sastra berbicara. Dalam cerpen-cerpennya SGA memberikan kritik-kritik  sosial dibalut permainan kata yang bernama “Senja”
 
Kritik itu terlihat juga pada “Ikan Paus Merah”, hewan langka yang selalu diburu manusia. Terakhir dari jenisnya, terpanah dipunggungnya dengan jeritan purbanya mengarungi samudera selama bertahun-tahun
 
SGA sendiri menulis tentang senja ini dalam berbagai pendekatan dan konteks mulai dari gejala alam kasat mata sampai segenap kontruksi struktural dan tematik. Semua diterjemahkan kumcernya Sepotong Senja Untuk Pacarku, muncul pertama kali di Kompas 1991 ini membuat banyak anak muda akan mengganti nama Alina dengan nama kekasih mereka masing-masing terinspirasi dari cerita ini 
 
Trilogi dalam sepotong senja untuk pacarku ini sempat dibacakan 2016 silam dengan aktor-aktor terkenal, Dian Sastro, Abimana Aryasatya dan Butet Kertaradjasa menyambut Valentine kala itu
 
Dalam edisi baru ini SGA menambahkan 3 cerpen berasal dari kumpulan Linguae 2007 dan permainan kata melayu tempoe doeloe dari Eddy Suhardy. SGA merasa tidak bisa menulis senja kembali, jiwanya tidak bisa masuk ke dunia absurd dikarenakan kehidupan dunia membuai dan teperangkap dalam kehidupan sosial politik. Ia hanya ingin tiap pembaca ini mengartikan senja-nya sendiri. *
 
 
 
Ferry Fansuri kelahiran Surabaya adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair dan ikut dalam pendirian majalah kampus Situs dan cerpen pertamanya "Roman Picisan" (2000) termuat. Puisi-puisinya masuk dalam antalogi puisi festival puisi Bangkalan 2 (2017) dan cerpen "pria dengan rasa jeruk" masuk antalogi cerpen senja perahu litera (2017). Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional. Dalam waktu dekat menyiapkan buku antalogi cerpen dan puisi tunggal.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri