Hestek Pura-pura Sibuk

Ahad, 04 Desember 2016 | 20:34:51 WIB
Ilustrasi. (shutterstock.com)
NAMANYA Reina. Lebih akrab dengan sebutan Rein. Pindahan dari Jakarta. Resmi jadi siswi di sekolah ini sejak Agustus lalu, karena orangtuanya dipindahtugaskan ke kota ini. Ia berdandan sama seperti anak SMA pada umumnya. Lebih sering menguncir rambutnya—kuncir kuda. Menurutku, kadang-kadang ia bisa berdandan ala perempuan feminim, bisa juga berdandan sedikit maskulin hanya karena sering kutahu dia gabung main basket pas jam istirahat terakhir. 
 
Tentang Rein, nggak sedikitpun terendus gelagat anak nakal. Tapi ia agak cuek. Awalnya, aku berpikiran kalau dia sedikit angkuh, sombong. Beberapa kali saat terlibat obrolan denganku, ia hanya menanggapi seperlunya. Kupikir ngobrol dengannya harus dengan gaya khas anak ibukota. Lo gue, begitu. Ternyata enggak. Aku sungkan mengajaknya bergurau. Kadang-kadang, aku jadi kikuk kalau pas kukeluarkan jurus-jurus joke saat di forum dan cukup Rein yang nggak ketawa. Ya meskipun, aku nggak se-piawai seorang pelawak. Kadang dia cuma senyum, dan buatku itu tanggapan yang terlalu datar. 
 
Rein selalu banyak bicara saat diberikan kesempatan untuk memberikan usulan saat rapat. Akan segera menyanggah kalau misal ada usulan teman yang kurang pas. Sayangnya, memang aku nggak sekelas dengannya. Rein di kelas XI Bahasa 1. Sedangkan aku di XI Bahasa 3.
 
Aku hapal, setiap Jumat Sabtu dia datang terlambat. Datang diantar oleh seorang perempuan seumuran penjaga perpustakaan sekolah. Pulang sekolah dengan naik angkot. Tapi, setiap Selasa dan Kamis ia berjalan kaki sambil menenteng kresek hitam ke arah terminal. 
 
Lumayan banyak foto dan momen yang ia beberkan di akun instagramnya. Beberapa, dengan caption khas ala Reina—Hestek Pura-pura Sibuk. Sejak ia bergabung di ekstra Kepenulisan, aku sengaja mem-follow IG-nya. Aku suka menscroll down dan mantengin segala caption yang ia buat di setiap foto yang ia bagikan. Kadang-kadang aku ikutan terinspirasi dari tulisan Rein di akun Wattpad-nya.
 
Hanya ada satu foto tanpa caption khas ala Rein. Aku ingin tanya tentang foto itu. Tapi sungguhan nggak bernyali, hanya untuk membahas hal-hal yang—bisa jadi—bagi Rein nggak penting dan jauh dari konteks yang ‘perlu’ dibicarakan.
 
***
 
Dari kejauhan, aku tahu kalau itu Rein. Aku masih memegang kartu undangan untuknya. Kemarin selepas rapat, ia buru-buru pamit untuk pulang. Anji, teman di Kepenulisan akan mengadakan acara ulangtahun ke-17 di rumahnya. Aku dan teman-teman Kepenulisan mendapatkan undangan, termasuk Rein.
 
Aku melambaikan tangan ke arahnya. Ia mendekat.
 
“Rein, ada titipan dari Anji nih!” Aku menyodorkan undangan warna cokelat ke tangannya. Aku nggak pernah mengawali obrolan dengan basa-basi kalau sama Rein. Langsung lurus ke tujuan dan nggak pakai belok-belok.
 
“Oh iya, makasih Ram. Dia emang nge-WhatsApp semalam. Anak-anak bakalan datang rame-rame kan?”
 
“Kayaknya gitu. Soalnya rumah si Anji agak susah, Dio lumayan sering kesana. Dia hapal jalan.”
 
“Hm, aku rada khawatir umpama Sabtu acaraku molor.”
 
“Ada acara lain?” Rein mengangguk.
 
“Atau gini ya, aku nyusul aja kali ya. Kan kalau misal nggak dateng juga nggak enak sama si Anji.”
 
Aku nggak tahu, kenapa obrolanku dengan Rein menjadi agak berisi. “Kamu bawa motor?” Rein menggeleng. Aku berniat menawarkan diri untuk jemput dia. Tapi aku ragu untuk ngomong.
 
“Ram, kamu ada motor kan? Umpama aku ngerepotin kamu, bisa nggak?” Dia kena sihir apa ya, bisa bilang begitu.
 
Aku buru-buru manggut. “Bisa kok. Ada helm kan? Kasih info tempat ya Rein...”
 
“Oke siap. Trims ya..” Dia nyelonong.
 
Obrolan kami selesai. Belum pernah aku ngobrol sepanjang itu, dengan Rein. Baru kali ini, aku membahas ‘hal lain’ selain tentang proyek tulisan, konsepan acara, dan hal-hal itu aja.
 
***
 
Aku nggak pernah bisa nebak, gimana sebetulnya si Rein itu. 
 
Ia mengirim pesan lewat WA, karena acaranya udah kelar. Segera aku tancap gas karena memang tempat yang dia maksud lumayan dekat dengan rumahku. Jadinya, nggak akan terlambat banget ke acara si Anji.
 
“Adik-adik, kenalkan. Ini kak Rama, jago ngelawak!” Kedatanganku benar-benar disambut banyak pasang mata anak-anak berusia sekitar lima sampai delapan tahunan, di sebuah ruangan. Rein baru saja mematikan laptop. Aku melambaikan ke arah anak-anak, dan aku dihujani senyum dari bibir mereka.
 
“Tapi Kak Rama kok nggak kayak badut!” celetuk seorang anak perempuan cepat-cepat menutup mulut dengan kedua tanganya. Dan ramailah suasana ruangan dengan gelak tawa.
 
“Sabtu depan, Kak Rama akan ajak kembarannya yang mirip badut! Hari ini, Kak Rein sama Kak Rama pamitan dulu yaaa!” Kata Rein berjanji, sambil menenteng tas laptopnya. Satu persatu, anak-anak menghambur ke arahku dan Rein. Tanganku dijabat mereka. Termasuk anak perempuan itu dengan dituntun oleh salah seorang temannya.
 
“Namanya Alisa. Ibunya meninggal setelah melahirkan dia.” Rein berbisik.
 
Aku baru mengerti kenapa Rein nggak membubuhkan caption khasnya pada foto yang selama ini ingin kutanyakan padanya. 
 
“Ram, sabtu depan ikutan kesini lagi boleh ya?” Rein memohon.
 
“Jadi badut?” Aku melirik Rein dari spion motor.
 
“Sekali-kali Ram. Mau ya?” Ia merengek.
 
“Boleh. Lumayan, bisa jadi bagian dari hestek pura-pura sibuk...” gurauku.
 
Rein ngakak, lalu lanjut cerita.
 
Setengah perjalanan menuju rumah Anji, Rein bercerita banyak tentang hestek pura-pura sibuk-nya. Termasuk tentang satu foto dalam instagramnya. Cerita lebih lengkap tentang kepindahannya. Tentang orangtuanya yang dipindahtugaskan. Tentang dia sendiri, yang hanya anak angkat tetapi begitu disayangi kedua orangtuanya.
 
Aku mulai berpikir, ternyata dia nggak cuek-cuek amat. Obrolanku dengan Rein semakin banyak hanya karena kusinggung hestek pura-pura sibuk—caption khas ala dirinya. ***
 
 
Nur Holipah. Lahir di Banyuwangi, 11 Desember 1995. Sedang menyelesaikan pendidikan di Universitas Negeri Malang. Menulis antologi cerpen berbahasa Using “Jala Sutra” 2015. Beberapa cerpennya termuat di Malang Post dan Radar Malang.
 

Terkini