Telaah Puisi Can: Jakarta Jalan-Jalan Jakarta

Senin, 05 Desember 2016 | 19:43:43 WIB
Nuraz Aji. (Foto: Istimewa)
Oleh: Nuraz Aji
 
Dari judul sudah nampak usaha memperindah bunyi akhir, Jakarta/ Jalan/ Jalan/ Jakarta//
 
Begitulah Puisi Putu Fajar Arcana atau yang biasa dipanggil Can oleh teman-temannya, pada halaman ke sembilanpuluh tiga pada buku puisinya yang berjudul Manusia Gilimanuk bagian dua Jalanan Tokyo(1998-2010). Bagian pertama adalah Bilik Cahaya yang merupakan puisi-puisinya pada 1991-1997.
 
Berpikirlah tentang Jakarta/ yang berpendar/ pendar/
di silau kaca apartemen// Kau akan temukan kota terkapar/
di bawah semprotan knalpot bus-bus tua// Kau akan kenangkan/
kota yang meringkuk seperti gelandangan rumah-rumah kardus//
Apa yang bisa kita rayakan/ kawan?// Genangan air sehabis hujan membayangkan banjir/ 
                           yang tak pernah usai?//
Kendaraan-kendaraan seperti kalimu yang macet/ hitam pekat/
                ---menghamburkan karbondioksida//
 
Pada bait pertama, nampak kerja keras Can dalam membentuk sebuah tipografi yang cukup dibilang bebas-kontemporer dengan tanpa melupakan upaya penyisipan konstelasi yang tidak terengah-engah. Buatlah pemikiran tentang Kota Jakarta yang ketika malam banyak cahaya lampu berulang kali, sampai pagi masih berpendar, pada silau kaca sebuah apartemen, kau akan menemukan Jakarta terkapar—terbaring lemah tak berdaya di bawah gelap nun pahitnya semprotan knalpot bus-bus yang tidak lagi berusia muda. Kau akan memberikan kenangan pada Jakarta yang pasrah seperti orang gelandangan yang tinggal di rumah-rumah kardus. Apa bisa kau menjadikannya sebuah pesta perayaan macam upacara, teman? Air yang menggenang setelah hujan reda, menimbulkan sebuah tanda-tanda banjir yang tidak akan pernah surut? Motor, mobil, bus, truk dll seperti sungai kecilmu yang alirannya macet—tersendat-sendat sampah, dengan warna air yang hitam dan pekat –kental keruh membuang-buang karbondioksida—zat kimia berbahaya bagi pernapasan.
 
Kau ada di bagian mana saat kotamu ricuh/
saat jalan/ jalan dipadati demonstran dan para penjarah/
yang dengan santai menguras seluruh inti dari kemanusiaan kita//
                       Atau kau sedang meratapi nasib/
                       di antara derap ribuan serdadu/
                       yang letih lalu kalap selepas senja//
 
Di bait kedua Can mencurahkan sepenuhnya pergolakan batin yang ada di dalam dirinya. Dengan bertanya kepada kau tanpa menyebut nama. Kau ada di belahan Jakarta bagian mana ketika jalanan ramai oleh para pendemo dan para pencuri  yang tanpa hati mengambil semua dari jiwa manusia kita? Apa kau lagi berdiam seorang diri menatap wajah nasib atau takdir di tengah-tengah ribuan serdadu yang kelelahan sampai kalap gugur di medan? Pertanyaan-pertanyaan ini seperti membangun sebuah relasi tersendiri dengan pembaca.
 
Jakarta/ panggilkan aku satu pengemis tua yang tertidur/
seusai berebut sampah di bawah jam kota// Berilah ia/
pengharapan tentang esok dengan matahari/
                                                 yang tiba-tiba tinggi/
melintasi puncak menara/ Sementara saat purnama udara mampat/
sebab bulan tak sempat memanjat dahan/ terhalang/
bayangmu yang angkuh//
 
Dari bait ketiga ini baru dapat diketahui, ternyata pertanyaan-pertanyaan yang menyusun bait kedua tadi, ditujukan kepada kota Jakarta yang di dalam puisi ini menjadi judulnya.   Antara inkonsisten dalam subyek dan menghindari perulangan subyek yang terlalu banyak dan berulang-ulang, jika Can masih intim mengambil obyek “kau” sebagai sasaran dari batin terdalamnya pada bait yang ketiga.
 
Hai, Jakarta! Tolong panggilkan aku, satu orang saja pengemis tua yang sedang lelap terbaring, setelah rebutan sampah di bawah dinding jam kota yang besar. Berikanlah ia sebuah harapan perihal hari-hari yang akan datang, datang dengan cerahnya yang tiba-tiba menyilaukan ketika melintasi menara puncak kota. Di samping itu, di sisi lain ketika cahaya rembulan bulat sempurna tersendat di atmosfer udara, karena---majas bulan tak punya waktu untuk memanjat dahan, karena terhalang bayangan Jakarta yang sombong.
 
Jakarta di jalan/ jalan Jakarta/ hari/ hari terseok di panas aspal//
Bayang/ bayang pohon kacau menahan himpitan langit yang dusta//
Dan beberapa blok sebelum bundaran air/ kau tak bisa tandai/
                                                             saat jam berdentang/
senja atau pagi yang memercik titik embun// Kaca/kaca bus
yang buram/ seperti lukisan hatimu yang senantiasa terburu//
 
Pada bait seterusnya, Can tak lagi bersibuk ria antara memilih memanggil Jakarta atau perulangan subyek-obyek pada baris dan kotanya. Can sibuk memberikan citra penglihatan di sini. Penajaman dari judul “Jakarta di jalan-jalan Jakarta,” hari-hari berjalan tertatih pada jalanan siang yang beraspal dan lagi panas. Tak ada bayangan-bayangan pepohonan karena langit sedang mendung. Dan beberapa blok sebelum bundaran air, jika tidak salah yang dimaksud adalah bundaran Hotel Indonesia, tak nampak dengan jelas ketika pandangan Can tertuju pada jam lonceng besar yang berdentang. Saat senja atau ketika pagi menyisakan embun pada daun-daun, pada kaca-kaca bus yang kotor dan jarang dibersihkan menjadi seperti ada sebuah gambaran atau lukisan tentang hati merah mudamu yang selalu terburu-buru (mencintaiku?)
 
Berpikirlah tentang Jakatara dijalan/ jalan Jakarta//
Di bawah langit yang keruh/ udara berbau sianida atau pil penenang/
                                         yang kau teguk di malam-malam buta/
Jakarta menjadi gelandangan/ tertidur di sesak gerbong/
bau keringat dan parfum murahan mencekik leherku//
Siapa yang bisa kita rayakan/ Jakarta// Jalan/ jalan yang lebar dan kaku
kolong dan lorong/ di mana para urban berjejalan/
memperhitungkan nasib//
 
Pada bait kelima, ada upaya meletakkan citra penciuman meski sesaat. Langsung saja. Berpikirlah (lagi) tentang kota Jakarta pada padatnya jalan-jalan di Jakarta, di bawah langit yang tak cerah, merebak bau sianida-zat kimia yang diduga dicampurkan ke dalam kopi Mirna hingga dia meninggal dunia, atau aroma pil penenang yang kau teguk, ketika malam-malam tidak memiliki mata. Jakarta adalah gelandangan tanpa ranjang, tertidur lelap pada gerbong yang sesak, pada baunya keringat dan aroma parfum yang mencekik leherku. Mungkin ketika itu Can merasa di dalam bus dengan keadaan ingin muntah karena bau keringat dan parfum menjadi satu, sehingga menimbulkan bau yang tidak enak, seperti hendak pingsan (mungkin).
 
Can tak bimbang, bertanya lagi kepada Jakarta. Siapa yang dapat kita rayakan? Sekaligus memberi jawaban dugaan sementara. Apakah jalanan yang begitu lebar dan lalu lintasnya yang macet? Kolong jembatan dan lorong stasiun-stasiun saat kaum urban—kau dari desa yang pindah merantau dan tinggal dan bekerja di Jakarta? Untuk sebuah perhitungan atau peruntungan atau mempertarungkan nasibnya?
 
Kau ada di mana/ sewaktu sekelompok perampok menodongkan
pistol di kepala kami/ sewaktu pencuri sendal dipukuli/
                                             dan dibakar di jalan/jalan//
 
Lagi-lagi pertanyaan seperti sebuah pesta perayaan yang menjadi kekuatan Can di dalam berkata-kata.  Kau ada di mana ketika sekelompok perampok pistol di kepala kami? Ketika pencuri sendal dipukuli dan dibakar di jalan-jalan? Bisa jadi pertanyaan ini untuk para polisi ibu kota. Ada waktu yang genting seperti itu, apa yang dikerjakan para pembela negara patut dipertanyakan.
 
Berpikirlah tentang Jakarta/ yang megap/ megap diracuni
Minyak wangi kaum selebriti// Kau akan temukan kota terkapar/
mengenangkan nasib yang tergantung jauh di kilauan bintang//
Kau akan impikan sebuah kota yang dihuni kaum peri dengan sayap
yang panjang dan lebar/ menjulur sampai ke tapal batas// Batas antara
percintaan dan perseteruan kita//
 
Sekali lagi dan yang terakhir, berpikirlah sedikit saja tentang hiruk pikuk kota yang megap-megap kehabisan napasnya, diracuni bau minyak wangi kaum selebriti-tentu yang tidak memberi contoh yang baik. Kau akan menemukan sebuah ibukota metropolitan yang terkapar sedang mengenangkan nasib dirinya. Yang jauh tergantung di langit, di kerlap kerlip bintang-bintang.  Kau akan bermimpi tentang sebuah kota besar dengan gedung-gedung pencakar langit ditinggali para peri yang bersayap panjang  pun lebar, sayapnya menjulur sampai ke tapal batas. Di mana batas pertentangan batin akan pertanyaan-pertanyaan di sini menjadi percintaan dan perseteruan kita.
 
Di luar dari kisah hidup seorang Can yang mengharukan, yaitu seorang anak petani timun dari Kremlin, jauh dari Bali Kota yang dengan kerja keras dan semangatnya kini bisa menjadi redaktur cerpen untuk majalah Kompas, selain wartawan, jurnalis dan penyair. Ia telah membuktikan kesungguhan pengabdiannya kepada hidup dengan sajak-sajaknya yang cukup untuk dikatakan baik. Namun alangkah baiknya, karena ada yang kurang di sini. Sebuah puisi yang baik terdiri dari kepala, tubuh dan kaki. Judul sebagai kepala, isi sebagi tubuh, dan titimangsa sebagai kaki. Di sini puisi telah memiliki kepala dan badan yang seimbang, akan lebih kokoh jika diberi kaki yaitu titi mangsa—waktu tentang pembuatan puisi. (21-230116) ***
 
Nuraz Aji merupakan nama pena dari Shoimatun Nur Azizah. Perempuan kelahiran Klaten, 11 Februari 1996 ini merupakan salah satu peserta PKH-P LKP Dian Nusantara, Solo. Mulai bekerja di Sahabat Grafika, Solo. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Mahakarya Anak Jalanan (Pustaka Kata, 2015). Puisi-puisinya dapat ditemui di media online pun offline seperti Pikiran Rakyat, Haluan (Padang), Readzone, Flores Sastra, Riau Realita, nusantaranews.co, dll. Antologi bersamanya: 175 Penyair Dari Negeri Poci 6, Syair-syair Keindonesiaan Universitas Negeri Yogyakarta, Bangsa Bayangan, dll. Sedang berusaha menulis yang selain puisi. Tinggal di Pengkol RT/RW 25/9, Kaligawe, Pedan, Klaten. No. Hp: 082221369514. Email: aku.shna@yahoo.co.id Facebook: Nuraz Aji (Shoimatun Nur Azizah) dan Nuraz Aji II. Twitter: @shna_aji
 

Terkini