PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Aku Cemburu
Perigi itu sepenuhnya milikmu bunda
Perempuan berkalung melati dengan harum napas kasturi
Yang selalu meletakkan senyum bianglala pada sukma
Namun, aku yang selalu engkau sebut peri kecil
Tak mampu menumbuhkan senyumseindah dirimu
Dadaku selalu bergemuruh ombak pasang
Hingga selalu lupa pulang pada telaga hatimu
Bunda, sungguh aku cemburu!
Perigimu yang selalu kuteguk hingga tandas
Tak jua mampu menuntaskan dahagaku
Sedang, engkau adalah indahnya kecipak pagi
Untuk mengikis muramku
Dan selalu mengajariku berenang, untuk memburu lautan biru
Bunda, aku ingin mencetak termbikar
Dan mematangkannya dengan kedewasaanku
Agar embunmu bisa kutampung
Untuk melandaikan malamku yang selalu amuk angin
Menjadi selandai pantaimu
Aku ingin cemburu ini tuntas, bunda
Agar tiada gelombang dengan amuk angin
Bisa berkaca di beningmu
Dan bisa senyum semanis bianglala di horizon itu
Denpasar 2016
Membaca Wajah Hujan
Membaca wajah hujan adalah perpaduan antara yang bening dan keruh
Keruh menyelinap di kebeningan alam pikir
Menjadi gelisah yang dibuat-buat
Sedang arsy menyaringnya,agar hujan membeningkankan kaca hati
Melihat kekupu, melihat bunga, merincik di kegalauan jiwa
Membaca wajah hujan, seperti mengenang cinta pertama
Berpayung riang menembus derasnya
Kaki-kaki telanjang asyik mencipta kecipak di genangan
Suka ria menjadi deras sederas hujan
Kita gelontorkan kecemasan
Biar mereka bermukim di bantar
Menjadi buih, teman bermain si ketam
Sisanya menjadi lumut untuk kudapan para ikan
Membaca wajah hujan
Membaca surat dari Tuhan
Agar esok kita menanam ubi dan kacang
Tak perlu bersusah susah saat kemarau datang
Denpasar 2016
Engkaukah Itu
Engkaukah yang telah menabuh rindu di kalbu?
Membuat gemuruh tak menentu
Sedang gulita ini belum berlalu
Dan seiris bulan belum mau beringsut dari mataku
Engkaukah yang akan membawaku pada hening yang kekal?
Dengan kidung sunyimu yang dalam
Mengalirkan air pada parit rasaku
Seperti rindu rumput pada musim kemarau
Engkaukah itu?
Mengajakku menjadi musafir dari gurun ke gurun
Menjadi sebutir debu yang terhambur...
Denpasar 2016
Kaum Urban
Kampung menjadi sepi
Sawah ladang tak berpenghuni
Rumput-rumput mengering tanpa dialog
Pemiliknya enggan menyiangi
Mereka memilik berjubal di terminal mini
Berdesak-desak di bedeng minim sanitasi
Meringkuk dalam rumah kardus yang tak layak huni
Pematang sawah retak
Hanya matahari yang siap menginjak
Pemilik sawah lupa memijak
Apalagi membajak
Kota penuh karbon dioksida
Menjadi pelarian mereka
Tempat mendulang recehan
Biar terlihat mentereng di kampung halaman
Denpasar 2016
Pada Sepasang Kapstok
Tiba-tiba rindu menyeruak
Pada sepasang kapstok dengan kaca oval yang menggantung pada dinding tua
Kaca itu merekam kelucuanku pada masa kanak
Polah gadis kecil dengan gaun pengantin berenda merah
Merahnya mencium mata kakiku
Kopyah ayah yang menggantung di kapstok turut melihat segenap riangku
Saat inipun masih sering tercium aroma beludru
Wangi ayah yang dibawa oleh waktu
Sungguh!
Rindu ini berkarat
Melekat erat di dinding ingat
Lima tahun lewat
Kapstok tak lagi mengapitpintu tengah
Koyah tak lagi menggantung di sana
Kaca oval tak lagi tak lagi bicara padaku
Karena aku sudah tak lagi lucu
Ruang tengah tak lagi berpintu
Tempat aku sembunyi dari ibu turut berlalu
Rindu kian bertalu-talu
Pada sepasang kaca oval di masa lalu
Kapstok memeluk erat cerita lalu
Mudanya ayah ibu yang hangat
Kini menjadi dingi menyayat
Denpasar 2016
