Aku Cemburu, Membaca Wajah Hujan, Engkaukah Itu, Kaum Urban, Pada Sepasang Kapstok

Senin, 29 Agustus 2016 | 02:29:59 WIB
Ilustrasi. (Christopher Stacey/saatchiart.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Aku Cemburu
 
Perigi itu sepenuhnya milikmu bunda
Perempuan berkalung melati dengan harum napas kasturi
Yang selalu meletakkan senyum bianglala pada sukma
 
Namun, aku yang selalu engkau sebut peri kecil
Tak mampu menumbuhkan senyumseindah dirimu
Dadaku selalu bergemuruh ombak pasang
Hingga selalu lupa pulang pada telaga hatimu
 
Bunda, sungguh aku cemburu!
Perigimu yang selalu kuteguk hingga tandas
Tak jua mampu menuntaskan dahagaku
Sedang, engkau adalah indahnya kecipak pagi
Untuk mengikis muramku
Dan selalu mengajariku berenang, untuk memburu lautan biru
 
Bunda, aku ingin mencetak termbikar
Dan mematangkannya dengan kedewasaanku
Agar embunmu bisa kutampung
Untuk melandaikan malamku yang selalu amuk angin
Menjadi selandai pantaimu
 
Aku ingin cemburu ini tuntas, bunda
Agar tiada gelombang dengan amuk angin
Bisa berkaca di beningmu
Dan bisa senyum semanis bianglala di horizon itu
 
Denpasar 2016 
 
 
 
Membaca Wajah Hujan
 
Membaca wajah hujan adalah perpaduan antara yang bening dan keruh
Keruh menyelinap di kebeningan alam pikir
Menjadi gelisah yang dibuat-buat
Sedang arsy menyaringnya,agar hujan membeningkankan kaca hati
Melihat kekupu, melihat bunga, merincik di kegalauan jiwa
 
Membaca wajah hujan, seperti mengenang cinta pertama
Berpayung riang menembus derasnya
Kaki-kaki telanjang asyik mencipta kecipak di genangan
Suka ria menjadi deras sederas hujan
 
Kita gelontorkan kecemasan
Biar mereka bermukim di bantar
Menjadi buih, teman bermain si ketam
Sisanya menjadi lumut untuk kudapan para ikan
 
Membaca wajah hujan
Membaca surat dari Tuhan
Agar esok kita menanam ubi dan kacang
Tak perlu bersusah susah saat kemarau datang
 
Denpasar 2016
 
 
 
Engkaukah Itu
 
Engkaukah yang telah menabuh rindu di kalbu?
Membuat gemuruh tak menentu
Sedang gulita ini belum berlalu
Dan seiris bulan belum mau beringsut dari mataku
 
Engkaukah yang akan membawaku pada hening yang kekal?
Dengan kidung sunyimu yang dalam
Mengalirkan air pada parit rasaku
Seperti rindu rumput pada musim kemarau
 
Engkaukah itu?
Mengajakku menjadi musafir dari gurun ke gurun
Menjadi sebutir debu yang terhambur...
 
Denpasar 2016
 
 
 
Kaum Urban
 
Kampung menjadi sepi
Sawah ladang tak berpenghuni
Rumput-rumput mengering tanpa dialog
Pemiliknya enggan menyiangi
Mereka memilik berjubal di terminal mini
Berdesak-desak di bedeng minim sanitasi
Meringkuk dalam rumah kardus yang tak layak huni
 
Pematang sawah retak
Hanya matahari yang siap menginjak
Pemilik sawah lupa memijak
Apalagi membajak
 
Kota penuh karbon dioksida
Menjadi pelarian mereka
Tempat mendulang recehan
Biar terlihat mentereng di kampung halaman
 
Denpasar 2016
 
 
 
Pada Sepasang Kapstok
 
Tiba-tiba rindu menyeruak
Pada sepasang kapstok dengan kaca oval  yang menggantung pada dinding tua
Kaca itu merekam kelucuanku pada masa kanak
Polah gadis kecil dengan gaun pengantin berenda merah
Merahnya mencium mata kakiku
Kopyah ayah yang menggantung di kapstok turut melihat segenap riangku
Saat inipun masih sering tercium aroma beludru
Wangi ayah yang dibawa oleh waktu
 
Sungguh!
Rindu ini berkarat
Melekat erat di dinding ingat
 
Lima tahun lewat
Kapstok tak lagi mengapitpintu tengah
Koyah tak lagi menggantung di sana
Kaca oval tak lagi tak lagi bicara padaku
Karena aku sudah tak lagi lucu
 
Ruang tengah tak lagi berpintu
Tempat aku sembunyi dari ibu turut berlalu
Rindu kian bertalu-talu
Pada sepasang kaca oval di masa lalu
 
Kapstok memeluk erat cerita lalu
Mudanya ayah ibu yang hangat
Kini menjadi dingi menyayat
 
Denpasar 2016
 
 
 
Winar Ramelan, lahir di Malang 5 Juni. Alamat sekarang di Denpasar. Pengalaman berpuisi, pernah dimuat di Denpost, Bali Post, juga antologi bersama berjudul Palagan, Untuk Jantung Perempuan. Pernah dirilis di Konfrontasi.com, Rimanews, Sudut Aksara, Sayap Kata, Detak Pekanbaru.
 

Terkini