Lari dari Kematian

Ahad, 31 Juli 2016 | 21:28:08 WIB
Ilustrasi. (fine art america)
TEMAN-temanku sudah mati dan aku berziarah ke sebuah sungai. Mereka tidak jadi tulang belulang atau tanah, melainkan bergumpal kotoran dari perut manusia. Semua temanku mati dengan cara dimasak dan dibumbui di meja, dan kami semua ditakdirkan untuk menunggu kematian dengan cara itu.
 
Aku kabur dua hari lalu dari kerangkengku. Sekarang tidak ada yang memasakku. Aku mencari belas kasihan kepada anak kecil yang buta. Ia tidak akan memasakku, dan aku bisa menjaganya, lalu dia berkata, "Anjing sepertimu boleh juga."
 
Sejak itu kami bersama, dan dia sering mengajakku ke sungai, tempat orang-orang buang hajat. Anak itu sesekali buang hajat di sana, atau menunggu jika ada orang yang berbaik hati memberinya sedekah.
 
Kadang-kadang aku harus sembunyi agar tidak ada yang menangkap dan memukul kepalaku. Jika kepalaku dipukul, aku sekarat dan orang lebih mudah membakar kulitku dan membawaku ke tukang jagal khusus.
 
Aku suka mengaing-ngaing jika ketakutan, dan melolong jika sedih, dan anak buta itu sepertinya paham. Lama-lama kami tidak terlalu sering ke sungai itu. Aku berharap dapat mendoakan teman-temanku yang sudah jadi kotoran itu dari jauh. Aku cuma bisa berdoa, agar mereka yang jadi kotoran itu, yang kemudian jadi santapan para ikan atau mungkin juga kaum kepiting, dapat bersabar. Barangkali suatu hari nanti kami ketemu di surga.
 
Sebagai seekor anjing, aku tidak puas melihat cara anak itu mencari uang. Ia sering kelaparan dan nyaris mati, kalau bukan karena gonggonganku pada tiap pemilik rumah atau warung yang didatangi. Kami berjalan terlalu jauh, bahkan lumayan jauh, dan tidak ada lagi orang yang ingin menjadikanku makanan di kota yang baru ini.
 
Aku bebas sebagai anjing, dan sudah lari dari kematianku sebagai santapan orang, tapi merana sebagai teman si buta. Anak ini masih amat kecil, sebatang kara dan buta, dan tidak ada yang rela menolongnya. Kalau saja ada pengendara mobil berhenti karena ingin menyapanya, mereka langsung pergi gara-gara tahu ada aku di dekat si bocah.
 
Suatu ketika bocah itu berkata, "Aku tidak akan meninggalkanmu, Anjing. Karena kamu sudah membantuku. Kalau tidak ada kamu, sudah dari dulu aku mati lapar."
 
Ingin kukatakan kepadanya juga bahwa kalau bukan karena mengikutinya, aku pun sudah berakhir sebagai gumpalan tahi manusia di sepanjang sungai yang dahulu sering kami sambangi. Tetapi, aku tidak dapat bicara bahasa manusia, sekalipun paham semua yang ia utarakan. Sebenarnya aku ingin, jika memang lebih baik ia ikut orang lain yang dapat membantunya, agar membiarkanku pergi saja. Aku dapat menjadi anjing liar dan aku bisa mandiri. Tapi, anak itu tidak pernah meninggalkanku.
 
Anak itu sering membagi makanan denganku, jika ia dapat rejeki lebih. Aku sendiri merasa tidak enak mengambil makanannya dan memutuskan ke tempat yang agak jauh sendirian, demi mencari makan, ketika si bocah tidur. Aku kembali kepadanya setelah agak kenyang.
 
Suatu malam terjadi hujan badai. Tidak ada rumah besar di sekitar. Hanya jalan tol dan hampir semua pohon ditebang oleh manusia. Hamparan padang rumput dan hujan badai melulu membuat anak itu mungkin mati tidak lama lagi. Di bawah jembatan kami berlindung. Si anak menggigil dan tidak kutinggalkan, meski aku bisa memanjat ke atas jembatan penyeberangan itu dengan gampang.
 
Kami berdempetan agar tetap hangat, meski tetap menggigil. Dan berdoa supaya Tuhan memberikan kami nyawa yang banyak, agar malam ini tidak mati walau beku. Anak itu terus berdoa doa yang sama. Doa yang agak lumayan kedengarannya. Dia anak kecil dan bisa berdoa begitu rupa. Beri kami nyawa yang banyak. Tidak ada pikiran itu di kepalaku, tetapi si bocah ini dengan lancar mengatakannya. Beri kami nyawa yang banyak. Luar biasa.
 
Kami tidak mati besoknya, tapi sangat lapar. Anak itu lemas dan pingsan di bawah jembatan penyeberangan di area tol. Kuseret baju lusuhnya agar orang di mobil-mobil itu tahu bahwa ada bocah pingsan di sini. Kampung terdekat tidak ada manusia, kecuali perempuan gila dengan boneka Barbie yang kepalanya hilang, dan dia tidak berhenti melempari siapa pun dengan batu. Bisa saja kuterkam perempuan itu, tapi jika si bocah mendengar aku membunuh si perempuan sinting, ia akan sedih dan berpikir aku bukan anjing yang baik.
 
"Kamu anjing yang baik, dan tidak akan ada yang memakanmu," katanya suatu hari. 
 
Aku sangat tersentuh oleh kalimat itu. Jadi, aku janji tidak akan melukai manusia, meski dulu teman-temanku mereka santap.
 
Akhirnya di jalan tol busuk ini kami terjebak. Aku berhenti di tepi jalan, di rumput yang lumayan empuk dan teduh untuk si anak. Ia pingsan karena kedinginan semalam dan belum makan sejak kemarin pagi. Aku menggogong di depan setiap pintu dan anak itu mengamen dengan suara payah sejak kemarin, tetapi tidak ada yang memberi uang. Tidak ada yang suka orang mengamen membawa-bawa anjing.
 
Aku sendiri lapar, tapi tidak berani mencuri makan di kampung yang dekat dengan jembatan ini. Mungkin di atas sana ada kampung, dan ada banyak makanan yang bisa kucuri, tetapi orang bisa saja tidak suka melihat anjing dan langsung memukulku. Aku akan mati sia-sia, dan si bocah juga mati sia-sia karena tidak ada yang tahu dia ada di sini dan butuh pertolongan.
 
Aku terus mondar-mandir, sementara mobil-mobil terus berseliweran di jalanan tol. Aku memikirkan kemungkinan apa yang membuat mobil-mobil itu berhenti. Sudah dari tadi kucoba menggonggong dan menari-nari lincah agar mereka berhenti, tapi tidak ada yang mengira aku melakukannya demi seorang bocah malang.
 
Aku memikirkan hal-hal lain yang membuatku pusing. Aku memikirkan aku yang mati tertabrak mobil, sehingga nanti si pemilik mobil akan turun dan akhirnya tahu jika ada bocah pingsan di sekitar sini. Aku terus memikirkan itu sampai kira-kira satu jam. Aku anjing yang baik, dan tidak akan ada yang memakanku. Jika aku mati demi bocah malang ini, barangkali seluruh manusia di muka bumi akan lebih menghormati kaumku dan tidak lagi menghidangkan kaumku di atas meja makan dengan berbagai bumbu.
 
Lalu aku berlari sekuat tenaga ke tengah jalan tol dan sebuah truk menyambarku sampai gepeng. Truk itu tidak berhenti, begitu juga dengan mobil-mobil di belakangnya, yang terus berjalan melewati tubuhku yang berdarah. Mereka ngebut tanpa henti, siang dan malam, entah berapa lama. Entah berapa hari, sebuah mobil berlampu merah dan biru mendatangi tubuh si bocah yang sudah putih dan bau. Lalu sebuah ambulans datang dan orang-orang membawa tubuhnya, dan menutupinya sampai tidak terlihat wajahnya. Dan pergi begitu saja.
 
Mereka tidak menyadari tubuhku yang gepeng ada di situ, jadi aku tetap di situ dan menjadi hantu anjing yang menangis setiap hari. Mereka tidak akan pernah tahu, bahwa dahulu bocah itu pernah bertahan hidup dengan seekor anjing. Anjing itu kini sudah jadi hantu, tetapi si bocah mungkin sudah sampai ke surga.*
 
Gempol, 19 Juli 2016
 
 
 
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional. 
 

Terkini