Kunang-kunang Lara Terbang di Langit Kelabu

Ahad, 03 Juli 2016 | 00:59:28 WIB
Ilustrasi. (aliexpress.com)
PEREMPUAN yang memiliki mata sayu itu masih tetap saja menulis. Ia menulis di secarik kertas yang sudah sejak tadi ditulisnya untuk suami tercintanya. Namun kini bentuk kertas itu tak seperti semula— dengan keadaan aslinya. Terlihat sudah basah, dibanjiri oleh airmatanya—yang mengalir dari pipinya yang tanpa polesan make-up apa pun sehingga membentuk anak sungai. 
 
Mungkin. Karena hanya itulah yang masih tersisa, mampu dimilikinya saat itu.
 
Airmata. Ya, hanya itu! 
 
Sesekali ia menatap potret buram pernikahannya dengan seorang lelaki yang sudah memberi ia permata hati berusia 6 tahun—tumbuh sehat dan ganteng seperti orang yang ada di potret itu. Tak lain suami tercintanya, Badar. Dan betapa bahagianya ia saat itu. Tak luput dilupakan begitu saja! 
 
Terus. Terus dan terus ia pandangi potret buram itu sambil menyeka bulir-bulir sebesar biji jagung di pipinya itu—yang sudah menganak sungai kecil. Karena ia tak ingin bulir-bulir sebesar biji jagung itu jatuh dan merusak kembali di kertas yang sudah ditulisnya dengan tinta airmatanya itu. Hingga tak ia sadari tulisannya itu sudah memenuhi kertas bergaris-garis. Lurus. Tak seperti hidupnya yang ia alami selama itu. Berlika-liku. 
 
Mungkin. Kertas yang ia tulis itu berasal dari buku tulis yang ada di dalam tas anak laki-laki satu-satunya itu. Anak laki-lakinya yang baru masuk di bangku kelas satu Sekolah Dasar—dan baru masuk tiga pekan itu. 
 
Asih, nama perempuan bermata sayu itu…Ia masih melanjutkan menulis surat.
 
 
Teruntuk: Badar suamiku tercinta.
 
Jaga, Ujang anak kita, Bang! Aku titipkan sama kamu. Kuharap Abang tak usah mencariku, apalagi sampai menunggu. Jika Ujang nantinya bertanya keberadaanku katakan saja,” Aku sedang mencari uang yang banyak untuk membeli sepeda untuknya!”
 
Kuharap usai membaca surat ini Abang tak perlu terkejut dan juga menyalahkan diri. Ini semua salah Asih. Asih pamit, Bang Badar, suamiku tercinta. Sekali lagi aku katakan jaga anak kita baik-baik… 
 
Istrimu,
 
Asih.
 
 
Usai menulis Asih langsung gontai keluar dari rumah yang sudah dipenuhi oleh kenangan di rongga benaknya. Kenangan bersama suaminya dan permata hatinya.
 
Ujang, nama permata hatinya itu. Amat Asih cintai dan sayangi. Namun sebelum melangkah lebih lanjut meninggalkan rumahnya itu, terlebih dahulu ia meletakan sepucuk surat yang sudah ditulisnya di atas meja tamu yang terbuat dari kayu tua. Semua itu ia lakukan agar Badar, suaminya itu bisa langsung melihatnya. Surat yang tertulis sebuah pesan dari Asih, istrinya. Lalu bisa langsung dibacanya tanpa harus mencari-cari terlebih dulu.
 
Lagi-lagi airmata Asih terurai. Jatuh satu-persatu membasahi pucuk surat itu. Setetes. Dua tetes airmatanya sudah ada di atas amplop putih yang sudah ada sepucuk surat di dalamnya. Jelas. Begitu nyeri dan ngilu bila ia mengingat kembali ketika kenangan-kenangan itu bermain di dalam benaknya bersama orang-orang yang sangat ia cintai.
 
 ”Ayolah, Sih, raja siang sudah mendahului kita. Kita jangan sampai nanti ketahuan suamimu Badar. Nanti ia keburu pulang dari mengantarkan sekolah Ujang, anakmu itu. Lekaslah, Sih cepat tak ada waktu banyak lagi.”
 
Ternyata di luar halaman rumah itu Asih sudah ditunggu oleh beberapa lelaki.
 
Oh, ternyata tiga orang. Yang pertama laki-laki berambut gondrong sebagai supir. Pengemudi mobil yang akan membawa ia ke luar dari kampung halamannya. Kedua dan ketiga laki-laki bertubuh besar dan bertato sebagai bodyguard perempuan-perempuan semacam dirinya. Perempuan-perempuan yang akan siap diterbangkan ke negeri orang. Semua laki-laki itu bertampang garang dan bengis. Ternyata mereka itu para calo pencari perempuan-perempuan muda kampung semacam dirinya yang akan mau merubah garis kehidupannya. Tak lain untuk mendapatkan dan mendulang emas di negeri orang. Mungkin... 
 
“Kamu sudah siap belum, Sih!” lanjut salah satu dari mereka. Meyakinkan kebulatan hatinya untuk memastikan keluar dari halaman rumahnya itu.
 
Asih mematung. Membisu.
 
***
 
Asih, perempuan beranak satu itu terus membatu. Tak banyak suara. Hanya bahasa tubuhnya yang dapat diberikan kepada tiga lelaki yang sudah menunggu lama di halaman rumahnya itu. Bertampang mengerikan.
 
Akhirnya perempuan berusia 24 tahun itu melangkah gontai menuju mobil yang akan mengantarkan ia ke sebuah terminal. Tetapi ia harus menunggu mobil itu hingga penuh dari perempuan-perempuan muda yang akan diantar ke Jakarta, lalu diterbangkan ke negeri orang. Namun sebelum mobil itu mengantarkan ia ke belantara ibukota lagi-lagi kenangan indah bersama orang-orang yang ia cintai menari-nari di pelupuk matanya yang sembab karena banyak mengeluarkan airmata. 
 
“Biar bagaimana pun kita miskin asal Asih ada di sisi Abang itu cukup, Sih! Bukankah Asih memilih Abang karena itu. Bukan karena harta benda, bukan? Abang harap Asih bisa hidup bersama-sama selalu sama Abang dan Ujang, anak kita. Abang janji akan selalu setia menenami Asih.”
 
Begitulah kenangannya menari-nari di benak Asih. Dan ia tak mengetahui bahwa dari balik kaca mobil yang mengantarkan dirinya sudah tiba. Sebentar lagi mobil yang ia naiki itu akan sampai menginjak di kota pemberi kehidupan bagi para perantauan semacam dirinya. Begitu juga perempuan-perempuan muda seusianya. Sudah terkumpul di sebuah bangunan tinggi dan mewah hingga menjadi satu. Siap untuk dikumpulkan lalu di terbangkan ke negeri orang untuk mengais emas. Bekerja sebagai pekerja rumahan. Alias, pembantu untuk para saudagar kaya raya.
 
Majikan, begitu nanti mereka katakan seusai tiba pada masing-masing majikannya di negeri asal majikan—yang akan menjadi Tuannya nanti. 
 
***
 
Adalah Tuan Kirdun Al-Kaslani. Nama sang majikan Asih di negeri yang benar-benar asing baginya, Malaysia. Awalnya nama itu terdengar begitu indah di telinga Asih. Pastilah sang tuan benar-benar lelaki saleh, yang menjadi pemimpin dalam sebuah institusi terhormat serta rajin menjadi imam ketika bersembahyang bersama istri dan anak-anaknya.
 
Ternyata... perkiraan Asih salah sama sekali. Lelaki itu bukanlah lelaki terhormat, alih-alih lelaki bejat yang suka meraba-raba betisnya ketika sedang mengepel lantai, atau memandang wajah Asih seolah-olah ia ingin menelannyabulat-bulat. Menjijikkan sekali. Asih lupa sejak kapan keputusannya menjadi Tenaga Kerja Wanita di negeri Jiran itu berubah menjadi petaka. 
 
Mungkin pada suatu siang ketika Asih sedang beristirahat di kamar mungilnya sesuai mengerjakan tetek-bengek pekerjaan rumah tangga yang membuat badannya remuk. Karena tak pernah ada habisnya itu. 
 
Hingga di siang yang naas itu—dan diawali dengan sebuah gedoran yang terdengar memaksa dari balik pintu kamar Asih. Tak mungkin majikannya pulang secepat ini, batin Asih ditelikung gundah. Majikannya yang perempuan, Siti Khotimah itu sedang mengantar kedua anak mereka ke sekolah.
 
Dengan ragu Asih membuka pintu. Sejenak Asih mengira ia telah melihat sesosok jelmaan setan, demi menatap mata liar yang seolah menelanjanginya dari atas sampai ke bawah. Sosok yang bernama Tuan Kirdun Al-Kaslani itu meringsek masuk kamar sambil mendorong tubuh kecil Asih. Asih ingin berteriak namun mulutnya dibekap serta diancam dengan todongan pistol entah dari mana. 
 
Pada saat itulah Asih teringat suaminya Badar. Badar yang lembut dan tak pernah kasar. Badar yang telah ia tinggalkan bersama buah hatinya, Ujang. Badar yang miskin namun menjanjikannya istana. Badar yang selalu memeluknya ketika sedang resah dan mengatakan semua akan baik-baik saja. 
 
Sudahkah Badar membaca surat mohon pamit yang Asih tulis dulu?
 
Pastilah lelaki itu berontak. Entah. Sebersit penyesalan menyusup ke dalam sanubari Asih. Apa yang sebenarnya yang ia kejar di belantara negeri asing ini? 
 
Jika hanya uang, namun kehormatannya tergadai, maka ia tak lagi membutuhkannya. Asih rindu suaminya. Rindu Ujang, anak lanang semata wayangnya. Dam indu kebersamaan mereka. Akhirnya bayangan mereka menerbitkan air mata yang menggelinang, bersamaan dengan berakhirnya sang Tuan melampiaskan nafsu binatangnya. Sambil menyeringai puas dan meninggalkan Asih tak berdaya di kamarnya. Dengan sebongkah luka yang menganga. Asih mengutuk lelaki yang telah mengkoyak-koyak mimpinya itu. Yang tidak hanya satu atau dua kali, namun berkali-kali mendatangai kamarnya dengan hasrat meluap terutama ketika rumah sedang kosong melompong.
 
Rumah megah itu mendadak berubah menjadi neraka. Neraka yang ingin segera ia tinggalkan. Asih ingin lari, namun bagaimanalah caranya? 
Siti khotimah, majikan perempuannya ternyata setali tiga uang. Cemburu telah membutakan mata wanita itu. Terhitung sudah tiga bulan ini gaji Asih tak dibayarkan. Padahal Ujang sedang sangat membutuhkannya untuk membayar SPP di sekolahnya.
 
Perangai si majikan semakin merejalela pada minggu-minggu terakhir ini. Paling ringan adalah pukulan. Puncaknya adalah ketika sang nyonya menangkap basah suaminya sedang berada di atas tubuh Asih di kamarnya. Seketika itu juga wanita itu muntab. Diseretnya tubuh Asih ke luar lalu punggungnya disetrika. Asih menjerit-jerit kesakitan namun cengkeraman nyonyanya begitu kuat. 
 
Majikan laki-lakinya saat itu tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya berdiri menyaksikan penyiksaan Asih itu bagaikan pecundang tak tahu malu.
 
Asih menggelinjang hebat. Darah mengalir bagai anak sungai ke sekujur bajunya. Rasa sakit yang sangat itu rasanya seperti akan membunuhnya. Asih berpikir mungkin ini adalah akhir dari hidupnya yang malang. Andai bisa, ia ingin berdoa. 
 
***
 
Doa-doa yang bagaikan dengungan lebah itu memenuhi sebuah ruang kecil di sebuah rumah beratapkan bambu. Jenazah yang telah terbujur kaku berbaring tenang di tengah-tengahnya. Para takziah selain berdoa bergumam tidak jelas. Entah. Mungkin sedang membicarakan nasib tragis keluarga kecil itu. Sebuah keluarga yang awalnya terlihat bahagia lalu segalanya hancur sejak kepergian sang istri menjadi TKW ke negeri Jiran. 
 
Kisah sedih yang mungkin nantinya akan dituturkan secara berulang kepada anak cucu, berdampingan dengan kisah lain yang senada, kisah yang telah menjadi potret buram negeri ini. Asih berdoa.
 
Asih berdoa untuk Badar, suaminya yang telah mendahuluinya, yang telah nekad mengakhiri hidupnya di ujung tiang gantungan. Seorang tetangga yang baik hati, duduk mendampinginya, menabahkan hati Asih. Tetangga itu pula yang menceritakan perihal kenestapaan hidup suaminya, setelah ditinggalkan.
 
Setelah membaca surat perpisahan Asih, Badar menjerit menangis seperti anak kecil. Lolongannya yang menyayat hati, membuat para tetangga datang tergopoh-gopoh ingin mengetahui apa yang terjadi. Mereka menyaksikan Badar memukul-mukulkan kepalanya ke tembok seperti orang sakit jiwa. Semua orang di desa juga tahu, bahwa Badar mencintai istrinya dengan terlalu. 
 
Asih menyesal. ia menyesal... Lalu sebuah berita di televisi membuat jiwanya menjadi terganggu. Di layar segi empat itu ia menyaksikan wajah Asih yang hampir tidak ia kenali. Bibirnya yang jontor, matanya yang membengkak, dan pipinya yang tirus membuat Badar kembali menangis dengan lolongan yang lebih menyayat. 
 
Sejak itulah kata-kata tak pernah lagi mampir di bibir Badar. Ia hanya berdiam di kamar tanpa mau bertemu siapapun, termasuk anaknya, Ujang.
 
Lalu suatu pagi penduduk menemukan Badar telah gantung diri, tepat satu hari sebelum Asih kembali menginjakkan kakinya di rumah itu. Begitulah kesaksian tetangga yang baik hati itu.
 
Asih tidak tahu lagi apa yang harus ia rasakan. Nyaris segala yang ada dalam hidupnya telah hilang, kehormatan, kebahagiaan, dan juga kebebasan. Yang membuatnya tetap bertahan hanyalah buah hatinya, Ujang yang kini tengah menatap jenazah ayahnya dengan pandangan tak mengerti.
 
Asih pun tak mengerti, kenapa semua ini terjadi. Ia telah pulang, namun suaminya malah pergi. Dan doa-doa yang bagaikan dengungan lebah itu masih memenuhi sebuah ruang kecil di sebuah rumah beratapkan bambu.*
 
 
 
Kak Ian, bekerja sebagai pengajar Jurnalistik tingkat sekolah dan bergiat di komunitas RELI (Relawan Literasi) Jakarta. Sekarang berdomisili di Jakarta. Cerpen, cernak, puisi dan artikelnya telah dimuat di berbagai surat kabar lokal dan nasional. Beberapa kali memenangkan lomba menulis cerpen, cerita anak, artikel/opini dan puisi.
 

Terkini