Dituding Manipulasi Data Produksi Beras, Kementan Membantah

Dituding Manipulasi Data Produksi Beras, Kementan Membantah
Ilustrasi
JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) Indonesia membantah tudingan membesar-besarkan data produksi beras. Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Kementrian Pertanian, Suwandi, menjelaskan bahwa Kementerian Pertanian hanya menggunakan data resmi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
 
“Tidak berani orang pemerintah menggunakan data lain. Apalagi memanipulasi,” kata Suwandi sebagaimana dilansir BBC Indonesia, Senin (25/1/2016).
 
Sebelumnya, seorang pejabat pemerintah senior yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada kantor berita Reuters kalau pejabat Kementerian Pertanian membesar-besarkan data produksi beras demi memberikan gambaran bagus kepada pemerintah dan mendapatkan alokasi dana subsidi.
 
Suwandi menjelaskan Kementerian Pertanian memang membantu BPS dalam mengumpulkan data hasil panen di lapangan namun data-data tersebut 'diverifikasi dan divalidasi dengan data pendukung' oleh BPS.
 
BPS mengumumkan perkiraan angka produksi gabah kering 2015 mencapai 74,9 juta ton, yang setara dengan 43,61 juta ton beras atau naik 5,8% dari tahun sebelumnya. Dengan konsumsi beras nasional sekitar 33,35 juta ton, maka pemerintah mengumumkan surplus beras sebesar 10,25 juta ton.
 
Pemerintah menyebut kenaikan itu didorong oleh upaya perbaikan irigasi, paket bantuan benih, dan optimalisasi lahan pertanian.
 
Data pemerintah ini lebih besar sekitar 18% dari data yang dirilis oleh Kementrian Pertanian Amerika Serikat (USDA), yaitu 35,56 juta ton, yang artinya menurun 2% dari tahun sebelumnya.
 
Tidak Sesuai Kenyataan
 
Meski demikian, diperkirakan data yang dirilis pemerintah tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, seperti dijelaskan seorang guru besar Fakultas Pertanian, IPB Bogor, Dwi Andreas Santosa.
 
“Data pemerintah selalu lebih tinggi, dan trennya selalu naik. Padahal lahan pertanian kita menurun tiap tahun antara 60.000-100.000 hektar. Lalu terjadi kerusakan jaringan-jaringan irigasi. Apalagi tahun ini ada El-Nino,” tuturnya kepada BBC Indonesia.
 
Dwi melakukan penelitian independen di 61 Kabupaten/kota di pulau Jawa, Bali, serta Papua dan menurutnya, pada 67,9% daerah yang disurvei justru terdapat 20,42% penurunan produksi padi.
 
Klaim pemerintah juga dirasakan tidak sesuai dengan harga beras di pasaran karena berdasarkan data Kementrian Perdagangan, rata-rata harga beras di pasaran, Senin (25/01) mencapai Rp10.879 per kilogram padahal harga yang tinggi, menurut Dwi, juga merugikan petani.
 
“Jangan disangka harga beras yang tinggi menguntungkan petani kecil. Nonsense. Sama sekali tidak. Karena petani itu ketika panen langsung melepaskan sebagian besar gabahnya. Maka petani menjadi net consumer beras juga,” tuturnya.
 
Menjawab keluhan tersebut, Suwandi menjelaskan bahwa tidak ada korelasi (hubungan) antara pasokan beras dan harga eceran beras di pasar.
 
Kementerian Pertanian menyandingkan data pasokan beras setiap bulan selama lima tahun, yang berfluktuasi, dengan harga eceran dan berdasarkan uji statistik, tidak ditemukan hubungan antara kedua hal tersebut.
 
“Artinya ada faktor lain di luar pasokan beras; misalnya transportasi, aksesibilitas, sistem distribusi, sistem tata niaga, maupun perilaku pasar itu sendiri,” tutur Suwandi. (max/bbc)
 


Berita Lainnya

Index
Galeri