Cerpen Kak Ian

Perempuan yang Mencari Kayu Bakar di Tengah Kota

Perempuan yang Mencari Kayu Bakar di Tengah Kota
Ilustrasi. (Abend Gallery/pinterest.com)
PEREMPUAN itu selalu datang setiap lepas subuh. Saat warga kampung usai menunaikan shalat subuh di masjid. Ia selalu datang menjambangi kebun itu. Walau saat itu embun masih menggelambir di pucuk pepohonan dengan kabut putih masih jelas tergambar jika mata memandang. Pun dengan udara saat itu masih terasa dingin bila dirasakan. Dinginnya merasuki seluruh pori-pori tubuh hinggga ke tulang sum-sum jika dirasakan. Aroma pagi saat itu masih sangat terasa tercium.
 
Dan saat itulah perempuan bertubuh bungkuk itu mengendap-endap serupa maling, ingin mencuri sesuatu yang menjadi incarannya. Jika maling tentu ia akan berhati-hati memasuki areal kebun itu. Tanpa menginjak ranting-ranting  pohon yang telah rapuh. Karena jika terinjak akan menimbul suara. Tapi tidak dengannya jika ranting-ranting pohon itu sudah  terinjak namun tidak meninggalkan suara. Entah ilmu apa yang ia miliki setiap ranting-ranting kayu yang telah menua diinjaknya seakan-akan suara itu seperti dibawa angin lalu. Nyaris tak terdengar di gendang telinga.
 
Kebun luas itu masih berada di kampung kami. Empunya adalah Pak Yakub. Kebun itu dirimbuni segala macam pepohonan. Ada pohon nangka, pohon mangga, pohon durian, pohon rambutan dan juga pohon kecapi itu yang tumbuh liar dengan subur. Itu terlihat dari batang-batang pohonnya yang  tinggi menjulang. Ada juga dirambati pohon perdu emakin tidak diurusnya. Walaupun kebun itu milik perorangan, milik Pak Yakub setiap warga kampung yang ingin menikmati hasil kebunnya. Atau, untuk mencari kayu bakar dibebaskan masuk. Siapa pun diperbolehkan! Tanpa ada larangan. Asal jangan menebang maupun membakar daun-daun kering itu di dalam kebun. Itu saja yang menjadi pesan dari pemilik kebun.  Larangan bagi warga kampung yang memasuki kebun itu. Dilarang menebang maupun membakar daun-daun kering di areal kebun itu!
 
Kini berita tentang kebun milik Pak Yakub diperbolehkan dimasuki siapa saja, asal mematuhi larangan itu. Akhirnya sampai juga ke kuping tua perempuan itu. Dan itu membuat ia menjadi lebih leluasa memasuki kebun itu saban bakda subuh.
 
Aku yang selalu berpapasan dengan perempuan itu usai subuhan tak tahu siapa dirinya sesungguhnya. Darimana ia datang? Tinggal dimana ia? Warga kampung ini atau bukan? Tak terbersit pun hal itu menjadi sebuah pertanyaan di tempurung otakku. Apalagi karena aku sering melihat ia setiap bakda subuh masuk ke dalam kebun yang gelap itu—bila masih sangat pagi. Hal itu kubiarkan saja. Toh lagi pula ia tak menggangguku. Tidak seperti yang pernah kualami beberapa hari lalu usai menunaikan shalat subuh, di tengah jalan aku dicegat oleh orang gila yang sedang mengorek-ngorek, mencari makanan di tempat sampah karena kelaparan. Hingga hal itu membuatku terkejut tak kepalang.
 
Pernah suatu subuh ketika aku baru mengetahui keberadaan perempuan itu. Aku kira ia sebangsa makhluk halus. Penghuni kebun itu. Entah itu setan yang sedang kelayaban. Atau, hantu sedang kesasar menuju alamnya pagi itu. Namun karena aku penasaran akhirnya kusampari saja. Walau sebenarnya ada rasa takut yang tiba-tiba menyergapku saat itu. Tapi kuberanikan juga mengetahui siapa gerangan perempuan itu sebenarnya. Namun saat langkahku hampir sampai menuju ke arahnya. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku sambil bersuara.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri