Puisi-Puisi Abu Ma'mur MF

Sedemikian Berkaratkah Akar-Akar Cinta?, Fragmen Paradoksal, Sepucuk Asmarandana, Gelembung Ilusi

Sedemikian Berkaratkah Akar-Akar Cinta?, Fragmen Paradoksal, Sepucuk Asmarandana, Gelembung Ilusi
ilustrasi. (Leonid Afremov/www.vectoropenstock.com)

 

PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Sedemikian Berkaratkah Akar-Akar Cinta?
 
sebijih benih mestinya dirawat sepenuh utuh 
dan dibiarkan tumbuh
kelak ia bisa bermetamorfosa merupa cahaya 
bagi semesta, bagi sesama
 
anak-anak adalah keriangan yang tak terbelenggu oleh almanak
: tak sendu oleh debu masalalu, tak gemetar pada denyar masa depan 
larut hanya pada detik arloji yang tengah berdetak, menikmati 
tarian semesta sepenuh sukma. bagi mereka, tangis adalah semata
bermain-bermain dengan gericik airmata, selepasnya tak ada
genangan kepedihan yang layak dikenang. dan tertawa bagi 
mereka adalah hidup sepenuh gairah, membuncah renyah
begitu saja
 
adakalanya kita, orang-orang dewasa, perlu sesekali berguru
kepada anak-anak tentang kesederhanaan
yang memerdekakan
 
sayang, begitu banyak benih yang mulai tumbuh
justru dibonsai, dilukai, dibantai
sampai benar-benar lumpuh
 
entah terbuat dari apa hati orang-orang yang memperlakukan
anak-anak sebagai tanah liat, budak, sapi perah, binatang ternak
 
apakah negeri ini mulai dilanda gerhana?
betapa kerapnya koran-koran, tabung kaca, juga lembar-
lembar maya mengabarkan segala kengerian anak-anak
: ada yang dipaksa memanggul matahari
  ada yang diperkosa jiwa dan tubuhnya
  ada yang disayat-sayat masa depannya
 
bagaimana suatu kebun akan rimbun
jika benih-benih terlanjur sekarat
sebab akar-akar cinta sedemikian berkarat?
 
Ketanggungan, Brebes, 2016
 
 
 
Fragmen Paradoksal
 
adakah negeri ini tengah dilanda gerhana?
 
atas nama yang mahacinta, genta keriangan kau remukkan
atas nama yang mahakasih, bijih kebencian kau taburkan 
atas nama yang mahacahaya, kau redupkan kebersamaan
atas nama yang mahaindah, kau hanguskan lukisanlukisan
 
pemahamanku akan tuhan, barangkali tidak sama dengan 
pemahamanmu, caraku memujanya juga bisa jadi berbeda
tapi kita dicipta oleh tuhan yang sama dan kita berdenyut 
dalam satu semesta, bukan?
 
lalu untuk apa segala keriuhan didengung-dengungkan?
       untuk apa membakar sekam?
 
anak-anak berlompatan di dalam kepalaku
mereka heran: mengapa ada, demi kenikmatan surga
membabibuta? 
perjalanan menuju surga patutkah dilalui dengan menorehkan 
lukaluka bagi sesama?
 
adakah itu ajaran kitab yang konon suci?
apakah kitab itu terbuat dari petasan dan ayat-ayatnya tersusun dari 
peluru?
adakah itu perintah tuhannya?
lalu tuhan macam apa yang menyuruh para hambanya memproduksi 
api?
 
Tuhankah yang mereka sembah, atau
imajinasi mereka sendiri tentang tuhan?
 
adakah negeri ini tengah dilanda gerhana?
 
Ketanggungan, 2016
 
 
 
Sepucuk Asmarandana
 
aku menulis puisi pada selembar bulu angsa yang
kupungut di sela rerimbun bambu belakang rumah
sebagai hadiah atas kesetiaanmu merawat sepahat 
lingkaran bulan purnama pada keping tembaga yang
kutitipkan padamu selama aku berpetualang mencari
makna kesejatian, tertatih menafsirkan segala
semesta puisiNya
 
mari kekasihku, malam ini kita mendayung waktu
menyusuri cahaya demi cahaya melepas 
kegelisahankegelisahan
meremas kerinduan dan
merayakan 
getar percintaan apa adanya
 
Banda Aceh, 2016 
 
 
 
Gelembung Ilusi
 
sesaat lagi kereta berangkat mengangkut mimpimimpi
 
tapi dari balik jendela bilik, kau masih saja berjingkat 
mengintip matahari yang tak lebih besar dari piring nasi
rupanya kerinduanmu pada selingkar cahaya itu
tak pernah tergenapkan 
dan kau biarkan anak-anak di kepalamu memainkan
gelembung ilusi dan menerbangkan layanglayang
entah sampa kapan
 
sedang
sesaat lagi kereta berangkat mengangkut mimpimimpi
 
Brebes-Sabang, 2016
 
 
Abu Ma'mur MF, seorang petani puisi dan pecandu kopi serta buku. Lahir di Tegal dan bermukim di Brebes. Puisi-puisi dan tulisannya tersebar di Horison, Suara Merdeka, Wawasan, Muslimah, Sabili, Perkawinan dan Keluarga, Tren, Kabar Pesisir, dsb.


Berita Lainnya

Index
Galeri