PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Ignotum per Ignotius
Untuk mengenalmu, aku mesti asing
Untuk melupakanmu, aku mesti lebih mengingat
Untuk merindukanmu, aku mesti kehilangan
Untuk bahagiakanmu, aku mesti nelangsa
Untuk membawamu pulang, aku mesti pergi
Untuk membencimu, aku mesti mencintai
Untuk tidak lagi mencintaimu, aku mesti menjadi bukan Aku.
(Padang Bulan, 20 Agustus 2016)
Pikir
Aku memikirkan sesuatu lalu kupikirkan sebuah kupikirkan seonggok kupikirkan seutas
Aku diam…
Diam diam kupikirkan lagi sewujud kupikirkan sebongkah kemudian kupikirkan sesaat kembali kupikirkan sesuatu.
Sesuatu seperti ruas seperti rongga seperti saput seperti bentuk seperti Zat.
;Seperti Kaukah pikiran?
(Padang Bulan, Desember 2015)
Sandaran
:Padamu yang sedekat urat nadi, sedingin laut lepas, sehangat hembusan nafas...
Bagai guci ditebali debu, aku kehilangan arah menujuMu
secangkir teh pagi yang lupa diminum, sebab pemiliknya tergesa-gesa berangkat kerja
Bagai sepatu tua tak terpakai, aku terlupa sumpahku terlupa janjiMu
hidangan malam yang telah dingin kala ibu menunggu anaknya tak pulang-pulang sejak kemarin
Bagai lilin menipis, aku bebatuan dikikis dingin malam dilibas panas siang
sebab angin menjatuhkan daun lantaran rindunya pada tanah, rindu setara haluan doa
Bagai kembang gula bersemut, ilalang di padang gersang
mendamba embun
menunggu hujan
meminta sunyi
sandaran bagi aku dan nafasku yang merindukanMu
(Padang Bulan, Januari 2016)
Ada
Seperti baru kuselesaikan satu perjalanan.
Menembus kabut
Melewati hutan tulang-tulang rotan
Dalam tubuhku sendiri
:Kau ada di sana
Aku menyusup dalam lorong-lorong bambu
Setelah badai hujan di musim ganjil
Aku mencarimu…
Detik-detik adalah sulur akar yang sekejap mekar lalu layu
Waktu mengiris logika yang tak lagi lurus
:Ada cinta di mana kau tak mampu kusentuh
Kuharap kau masih di sana
Kendati aku tiba dengan kisah retak
Dari kepingan hasrat yang tidak diminta
Namun tak pula disangkal
:Kau pernah di sana.
(Padang Bulan, Oktober 2015)
Di Kamarku, Sebuah Radio Memutar Lagu Sedih
Sebelumnya puisi ini kutulis dengan judul namamu
Sejenak aku ragu, apakah kau akan suka?
Di kamarku, sebuah radio memutar lagu sedih
Aku pernah ingat kau katakan bahwa hatimu adalah laut yang tertutup kabut
Maka kutulis puisi ini dengan judul laut
Tapi aku kembali ragu, apakah kau akan tersinggung?
Di kamarku, sebuah radio memutar lagu sedih
Padahal di luar puisi ini kita sedang baik-baik saja
Seharusnya aku tak perlu begitu khawatir
Maka kutulis puisi ini dengan judul puisi
Barangkali bukan seperti yang kaumau
Tapi setidaknya aku sudah berusaha, berusaha terlihat baik-baik saja
Di kamarku, sebuah radio memutar lagu sedih
Sebab kehilanganmu adalah kepastian, tapi selalu kupinta
Laut yang berkabut….
Jangan hari ini.
(Padang Bulan, Juli 2016)
