Puisi-puisi Achmad Hidayat Alsair

Nabi Tanpa Wahyu, Untuk Yang Dirindukan, Menjadi Udara dalam Balon, Tahu Cinta, Jendela Kamarmu

Nabi Tanpa Wahyu, Untuk Yang Dirindukan, Menjadi Udara dalam Balon, Tahu Cinta, Jendela Kamarmu
Ilustrasi. (Nikhelbig/nikhelbig.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Nabi Tanpa Wahyu 
 
Buku-buku, dilenyapkan dalam bara api 
memaksa mereka cengkerama dengan jelaga 
Sobekan akan memenuhi ruang baca 
perilaku barbar pasukan tiran suruhan raja 
Dan seorang pengagumnya hanya sanggup meratapi 
menangisi tinta-tinta hitam 
menangisi lembar-lembar lusuh 
lunglainya pena-pena lelah 
Punggung beku oleh perenungan setiap malam 
sungai berubah menjadi hitam legam dawat 
padat kental oleh guru yang dilempar dari rak semayamnya 
Bisa jadi ini hanya sebuah jeda 
 
Seorang pengagum diam-diam memasukkan buku ke dalam jubahnya 
buku boleh dibara, namun tidak dengan ilmu 
sebab dia hanya perantara pikir, nabi tanpa wahyu 
Pelepas rasa penasaran dalam benak 
pengantar menuju alam khayal nan nyaman 
pengusir sepi agar mengurusi dirinya sendiri 
penyibak tirai ilmu yang selama ini menunggu 
Dia boleh dibara, tapi ilmunya lebih nyala 
 
Seorang pengagum tiba di rumahnya 
dikeluarkan pena dan tinta, lilin sekadarnya dinyalakan 
dikeluarkan pula papirus lusuh warna kemuning 
mulailah dia menyalin isi buku, digandakan agar tak benar hilang 
Dan lima ratus tahun kemudian, buku tersebut tetap ada di sebuah perpustakaan 
bersiap menumpah ilhamnya pada orang-orang haus ilmu 
dan sang pengagum bertambah jumlahnya jadi seribu 
 
Tak ada buku yang benar-benar tenggelam 
Tak ada buku yang benar-benar hangus 
Utusan Tuhan akan selalu selamat 
 
-Makassar, Mei 2016 
 
 
 
Untuk Yang Dirindukan 
 
Dalam redupnya lampu kamar,  aku mulai berpikir mengenai kemayumu yang sesekali muncul di kamar tidurku. 
Ada perasaan selalu lintas, perasaan tidak pernah lelah untuk susul-menyusul dengan rasa penat yang membeku. 
Wangi aroma rambutmu, semerbak percik rembulan yang menembus lubang-lubang kecil dinding besar kukuh. 
Wajah bening bila diterpa awan-awan yang berarak menuju birunya laut serta merahnya rona bibir tanpa lapis gincu. 
Dan sebuah obrolan menenangkan akan dimulai ketika suaramu mulai berayun di pekarangan penuh rumput palsu rumahku. 
Lalu kita akan merenungi setiap perbuatan bodoh yang kita lakukan secara rahasia dan tergesa di masa-masa lalu. 
Semilir angin yang gairah, menyematkan kata sepakat bahwa tempat singgah paling tepat adalah pundakmu. 
Semakin malam, semakin deras arus membawa kita berdua menuju ruang tamu berhias ratusan ribu cahaya bola lampu. 
Kita jelang pagi sembari saling mendekap, pelukan menjerat dalam rasa takut akan kehilangan. Aku cinta kepadamu. 
 
-Makassar, Maret 2016 
 
 
 
Menjadi Udara dalam Balon 
 
Kau tiupkan ruh nafasmu 
aku hidup, menggembung 
bersiap meliuk seperti naga 
namun kali ini tanpa bara api 
Kau tiupkan ruh nafasmu 
kulitku hanya embun tipis 
seikat tali menahannya di bumi 
batas antara bebas dan terikat 
Kau tiupkan ruh nafasmu 
aku begitu rapuh, mudah diculik 
angin malam membelai helai 
pelukan selaksa hidang 
Kau tiupkan ruh nafasmu 
biarkan bermain, seutas rekah 
ajarkan engkau lekuk pijak dari angkasa 
undang senja bertamu lebih awal 
Ada yang luput, aku tersesat di batas cakrawala 
 
-Makassar, Juni 2016 
 
 
 


Berita Lainnya

Index
Galeri