PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
SAJAK PENGANTAR KEPERGIANMU
Jum'at berkarat
Agustus meletus
Dalam dada
Hari-hari atau bahkan bulan-bulan selanjutnya
Almanak kusam membindam
Jerawat tumbuh subur lumuri wajah langit wajah laut
Dan wajah-wajah lain lindap kutatap
Rupanya Jakarta begitu piawai
Mengusik lelapmu di dekapku
Tanpa menamatkan mimpi-mimpi tersaji
Kamu bangun dari kedalaman puisi yang enggan kita telanjangi
Abai murung ini kampung
Kampung rindu mengungkung di palung jantung
Jum'at berkarat
Sabtu demi sabtu
sampai sabtu-sabtu tak tentu kepulanganmu
Aku harus lebih kurus menunggu
Sedang kamu semakin gemuk menyusu
Pada gemilang lampu-lampu hingga singsing gemintang ibu kota
Bayangku mungkin benderang sesekali di rumpang waktumu nan lengang
Barangkali cuma di lebam malam sunyi
Agustus meletus
September tak kan mampu merayu kapalmu memagut dermaga pulauku
Pulau tersusun dari batu-batu risau
Sebagaimana rajam kata-katamu semalaman
Dan kamu bergerutu agar aku jangan hanya menuntut acuhmu akan getirku
Mengertilah pula sesak-desakmu yang tetap terpaksa menyungaikan isak piluku
Apakah kamu mau berlama-lama di sana
Lengahkan lukaku berarus nanah?
Dalam dada
Serasa ada berontak
Merobek-robek segala kandungnya
Terderai perselisihan-perselisihan yang membenamkan surya cinta kita
Sesal terkesal saat sekarat begini
Betapa dungu aku menanam paku cemburu di lepuh hatimu
Alangkah goblok telah melelehkan sepasang kristal itu
Bila perpisahan digelar seperti pagi tadi
Derapmu mulai agak jauh
Tulang-tulang kenang luruh seluruh
Belaian malam kini
Sangat berbeda dengan gemulai malam yang larung sia-sia
Aroma peluh Madura menjadi asing di halaman kelahiran sendiri
Pohon pisang pohon jati mendesis penuh harap
Andai-andai jarum jam berputar surut ke kiri
Semua benda mendekam muram
Semua suara parau samar-samar
Memanggil namamu atau memandang fotomu bukan lagi hal biasa
Serupa dihunjam seratus siung alam
Anyir darah muncrat meriam
"Selamat jalan!
Rawat ketat manis kesetiaan"
Jum'at berkarat
Agustus meletus
Dalam dada
Sumenep, 2016.
BABAD KURBAN
Yaumut Tarwiyyah
Di bawah tangan sendiri
Dalam lelap sang kasih-sayang disembelih
Benak disulam masa silam
Menjuntai masai Mendadak bara tanya meledak
Berkali-kali menarik gumam
Seru Tuhan atau setankah debam semalam?
Yaumul Arofah
Mimpi yang sama kembali benderang di hening gemintang
Ia meyakininya pancaran Maha Mulia
Tentang kaul dahulu
Kan kurbankan buah hati manakala dikaruniai
Tepat ketika 1000 kambing 300 sapi 100 unta
Melompat-lompat girang dari teduh jiwanya nan lapang
Menuju keabadian paling diribang
Yaumun Nahr
Lagi-lagi itu mimpi hangat meruap
Dirayulah si tampan jalan-jalan
Angin meneguk wewangian dari pakaian dan rambutnya
Dandanan ibu tercinta
Tapak demi tapak ke tanah Mina kabuli ayah
Ditemani tali dan pedang gagah
Berbekal pasrah
Iblis memintal siasat
Ingin penyembelihan tak jadi riwayat
Dari Ibrahim ke Hajar
Dari Hajar ke Isma'il
Hingga Isma'il menghardiknya dengan batu-batu
Jauh pergilah jauh
Putus asa mengiring gerutu
Keridaan begitu perkasa di dada Ibrahim
Ketabahan betapa bening di mata Isma'il
Langit-bumi jua para malaikat menyaksi
Sujud akan Ilahi
Sekuat urat seorang ayah menyembelih anak sendiri
Namun tak setitikpun pedang mencecap darah
Atas larangan Pangeran semesta
Penuh hormat Jibril bertandang bawa domba
Bertakbir seraya
"Allaahu Akbar! Allaahu Akbar! Allaahu Akbar!"
Ibrahim membuntuti
"Laailaaha Illallaahu Wallaahu Akbar"
"Allaahu Akbar Walillaahil Hamd"
Sambung Isma'il
Sumenep, 2016.
MENGEPUNG MALAM
Mengepung malam
Menubruk lengang
Menunggangi jangkrik dan cicak
Kami usir angin dan malaikat di lorong-lorong
Kami jagal hantu-hantu tegal
Raga sisik hitam
Sukma lumut kelam
Mata nyalang sepasang
Mulut segarang musang
Mengintai lubang-lubang siluman uang
Pulaslah kalian dalam suam kasih-sayang
Mimpilah hujan rupiah meruah-ruah
Diam-diam kami gerogoti sisa belanja tadi siang
Demi beras-emas bini di rumah gundah
Tabungan baka bagi kefanaan yang lengah
Sumenep, 2016.
MUSIM PAWAI
Siang nan riang
Anak-anak sekolah menggetarkan jagat
Berarak bak sekeriap dewa-dewi keraton
Sinar mentari berpendar-pendar di jiwa penonton
Debur-debar musik moyang melipur lara kuda
Agungkan pelajar kelas pungkas
Gendang-angklung membelah dada
Goyang kepayang risau menumpas
Pun drumben berkobar gaduh
Lubuk kepala dan perut turut tertabuh
Melodi kasmaran mengalun teduh
Duh! Gitapati semerbak embun melati
Dari kayangan manakah ia menerjun?
Alangkah lapang taman nurani
Sumenep, 2016.
