PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Membaca Tubuh dalam Salat
aku ingin sujud dan ruku' dalam sebidang hening yang diterakan isi kepalamu. dan kau, tak kalah liarnya menakwil makna salat yang dituliskan kaum penalar waktu. beralas sajadah biru marun yang sealur dengan motif luka dedaun seturun. merunduk dengan khusu' dan tadharru'. setunduk matahari jelang senja di labuhan makna. berpindah antara intiqalku menuju intiqal-Ku. mengambil arah kiblat dari selasar bilik pusara yang kaurawat sedemikian sunyi. kau, tiga langkah tepat di belakangku. mengambil alih lagu perapian dunia yang singkat. untuk mempersiapkan kelana kita. persinggahan kita: akhirat.
aku mencintaimu, perempuanku, dengan bahasa yang hanya dapat dicecap dengan arif dan sebegitu khidmat.
Ciputat, 2016
Sebilangan Mata Sunyi
sebadik mata cuka berkata pada remah petala,
“aku yang datang mengusir naskah-naskahmu [pemiliknya]”
namun tempias hujan selalu saja lebih dulu menggelar caping
dalam setiap halu karang bunga serta satu-dua pementasan
sebadik mata cuka pulang ke dalam sumur yang dangkal
bahwa sunyi bertengkuk redam ialah keselisihan suara
ia ingin menjadi pertapa, di kejauhan hutan mata cuaca
pertapa yang tak lagi mengenal jarak beda ‘alif’ semesta
maka isak si mata cuka adalah matamu sebentuk mata
matamu dicipta segaris arah bagian dari mata-Nya
hingga kerontang dadamu coba menolak,
“mataku ialah mata-Nya. penutur mata pusaka.
tidak sahih kausebut-sebut mata cuka!”
2016