Terkait Perubahan UU Pilkada, KPU Merasa Dikekang DPR

Terkait Perubahan UU Pilkada, KPU Merasa Dikekang DPR
Ilustrasi.
JAKARTA - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay mengatakan, perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) membuatnya merasa diikat oleh DPR. Sebab, terdapat aturan yang mengharuskan KPU berkonsultasi dengan parlemen saat membuat peraturan.
 
Aturan itu termaktub dalam pasal 9 huruf a perubahan UU Pilkada yang menyebut KPU diharuskan berkonsultasi dengan DPR saat menyusun peraturan teknis tahapan pemilihan. Hasil konsultasi melalui forum rapat dengar pendapat (RDP) bersifat mengikat.
 
"Kalau sudah mengikat, padahal kami tidak setuju. Kami akan repot nantinya," kata Hadar di Kantor Sekretariat Bersama Kodifikasi Pemilu, Jakarta, Rabu (22/6/2016) seperti dilansir CNN Indonesia.
 
Padahal, menurutnya, KPU bersifat independen. Hal itu sesuai dengan pasal 22E ayat 5 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Karenanya Hadar menilai, seharusnya KPU tak perlu berkonsultasi dengan pihak manapun dalam membuat Peraturan KPU.
 
"Pasal 9 huruf a ini merupakan sebuah kemunduran. Dimana kemandirian KPU sudah dibangun pelan-pelan. Sekarang menjadi diikat seperti itu," ucapnya.
 
Hadar mencontohkan penjelasan pasal 73 ayat 1 perubahan UU Pilkada. Aturan itu menyebut calon atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan pemilih.
 
Namun, berdasarkan penjelasannya disebutkan, KPU diharuskan menentukan pemberian biaya makan minum peserta kampanye, biaya transport peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah.
 
Untuk menentukan biaya kampanye perserta, KPU kata Hadar harus berkonsultasi dengan DPR. Menurutnya, hal itu yang akan membuat KPU kehilangan independensinya. Padahal, KPU tak setuju ada pemberian uang kampanye. Menurutnya, hal itu bisa menjurus pada politik uang.
 
"Kami angggap pemberian biaya kampanye tidak boleh dengan uang tunai. Pemberian makan misalnya, langsung saja berikan makanannya. Tapi kami beda pendapat DPR inginnya uang tunai. Kalau konsultasinya meningkat, kami berarti harus ikut," tuturnya.
 
Karenanya, Hadar mengaku telah mantap melakukan uji materi terkait pasal 9 huruf a perubahan UU Pilkada. "Dari awal kami lihat aturan ini memang sudah berdiskusi dan telah mengambil kepastian cepat untuk judicial review," ucapnya.
 
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR Arteria Dahlan berpendapat, peraturan yang dibuat KPU sering bersebrangan dengan undang-undang. Hal itu yang melatarbelakangi hairnya pasal 9 huruf a dalam perubahan UU pilkada.
 
"Konsultasi itu penting. Karena pengalaman sebelumnya, PKPU banyak yang tidak cocok dengan undang-undang. Hasil rapatnya sudah disepakati namun bentuk PKPUnya berbeda," kata Arteria.
 
Dia meminta KPU tak perlu berlebihan dalam menghadapi aturan itu. Menurutnya, DPR tak pernah meminta KPU membuat peraturan yang menyimpang dari undang-undang.
 
"Apakah kami pernah menyuruh KPU membuat aturan yang melanggar demokrasi ? Masak DPR sekongkol? Kami ini ada sepuluh fraksi dan pendapat kami berbeda-beda," ucapnya.
 
Dia menjamin, konsultasi yang dilakukan DPR dan pemerintah akan terbuka untuk umum. Sehingga masyarakat bisa menilai dan memantau jika DPR mengintervensi KPU.
 
"Masyarakat bisa melihat, kami anggota DPR ini benar atau tidak. Kami tidak mau main-main dalam membuatan PKPU," tuturnya. (max/cnn)
 


Berita Lainnya

Index
Galeri