Puisi-puisi Eddy Pranata PNP

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP
Ilustrasi. (Susana Garza/keithgarrow.com)
DARI TAJAM DAN KILAU MATAMU
 
dari tajam dan kilau matamu 
tidak sedikit pun harus kuingkari
dalamnya dan luasnya laut hatimu
dan kukemas kerikil rindu yang tercecer
di pelabuhan tanjung intan
hingga kau pun terkenang segala duka-cintaku
 
padamu, auh, kukemas kerikil rindu!
 
dan asin laut apa lagi yang ingin kaucecap
laut mana lagi yang hendak kauarungi
bukankah sudah kuberikan seluruh gemuruh lautku
seluruh gelora dan gelombang
juga karang-karang, pasir-pasir, perahuku
lengkap dengan darah dan keringat
dan puisi yang menenggelamkan bulan dan matahari
dalam tarikan napas kasih yang panjang
yang sangat menggairahkan!
 
Cilacap, 17 Maret 2016
 
 
 
PANTURA DINIPAGI
 
pantura dinipagi; bis dan truk seperti berlomba 
memburu waktu ke tujuan yang berbeda
ke kesunyian masing-masing
ke keperihan dan ke kepahitan jalan hidup masing-masing
 
sedang apakah diri seorang kekasih?
mungkin tengah lelap tertidur
bermimpi tentang rindu yang pecah
dihantam dingin dinipagi
di keperihan dan pahit jalan hidup
yang harus ditempuh
yang harus direngkuh
o. pantura dinipagi, izinkan aku lewat 
menuju cirebah untuk kembali memeras keringat 
membanting tulang dan bercinta dengan puisi!
 
Cirebon, 16 Maret 2016
 
 
 
DI JEMBATAN SITI NURBAYA
 
di jembatan siti nurbaya
aku bukan datuk maringgih
aku hanya pengembara yang rindu kampung
dan ziarah ke makam ibu, di tunggul hitam
 
aku ingin menulis puisi sederhana untuk kekasih
puisi sederhana
untuk kekasih!
 
di jembatan siti nurbaya; lelahku
menjerat matahari, melayari muara
: kasih abadi!
dan
bertarung dengan kata-kata
sepanjang usia
menjadi penyair bukan tujuan
menjadi penyair adalah karunia Tuhan!
 
Padang, 15 Maret 2016
 
 
 
MENGEMAS KEBERANGKATAN SENJA
 
untuk mengemas keberangkatan senja 
kita punya desah masing-masing
punya rasa sakit dan senang yang tidak sama
punya kecemasan dan harapan yang berbeda
 
chin, sudah semesra dan sebenci apa 
engkau mengemas keberangkatan senja?
 
airmatamu bukankah sudah begitu kering
dan aku hanya punya tangan yang selalu saja 
gemetar setiap memelukmu
lalu hati senja serupa apa yang abadi pada hari-harimu?
aku selalu saja senang bila melihatmu tertawa
akan hal-hal unik atau lucu ketika kita perbincangkan
tertawa terpingkal lalu beberapa saat kemudian dirimu
serupa menjelma seorang guru spiritual
aku begitu tolol dan takjub di hadapanmu
: jangan kaulambungkan mimpi seseorang
  bila akhirnya kauhempaskan kaubiarkan
  
kembalilah ke ujung selat
lengkung pelangi jatuh ke karang hatimu.
 
Padang, 10 Maret 2016
 
 
 
DI BAWAH GERHANA MATAHARI
 
kota padang dengan pagi yang terasa lebih panjang
udara selalu terasa panas
sisa kantuk menggantung di beranda rumah
langit setengah mendung
dan sunyi membelukar!
 
di bawah gerhana matahari, di tunggul hitam 
pusara ibu dan nenekku
 
kubaca puisi paling indah—
 
ya Allah berilah kenyamanan dan kebahagiaan abadi
untuk ibuku, untuk nenekku
ya ibuku, ya nenekku, aku hanya punya puisi
hanya punya puisi!
 
Padang, 9 Maret 2016
 
 
 
STASIUN PURWOKERTO
 
di stasiun purwokerto, sunyi dalam gaduh
orang menunggu
orang berangkat
kereta singgah
kereta berangkat
: hidup serupa gerimis malam
  membasahi luka dan harapan
  serupa cerita usang di bangku sudut stasiun
  dingin dan membeku!
 
sudah kutinggalkan stasiun
orang-orang bergegas
dengan pikiran dan kepentingan masing-masing
aku berangkat ke bandara
lagi; sunyi dalam gaduh
jakarta begitu tidak mengenalku
: aku larut dalam kerinduan pada ibu
  pada ibu, pada ibu dan sanak saudaraku
  juga pada gulai kepala ikan
  dan pada sate padang!
 
Purwokerto/Jakarta, 7/8 Maret 2016
 
 
 
 
Eddy Pranata PNP, sekarang tinggal di Cirebah --sebuah dusun di pinggiran barat Banyumas, Jawa Tengah. Lahir 31 Agustus 1963 di Padang Panjang, Sumatera Barat.  Sehari-hari beraktivitas di Disnav Ditjenhubla di  Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016). Puisinya dipublikasikan di Horison, Aksara, Kanal, Jejak, Indo Pos, Suara Merdeka, Padang Ekspres, Riau Pos,  Kedaulatan Rakyat, Fajar Sumatera, Lombok Pos, Harian Rakyat Sumbar, Batam Pos, Sumut Pos, Singgalang, Haluan, Satelit Pos, Radar Banyuwangi, Solopos dan lain-lain. Puisinya juga terhimpun ke antologi: Rantak-8 (1991), Sahayun (1994), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Antologi Puisi Indonesia (1997), Puisi Sumatera Barat (1999), Pinangan (2012), Akulah Musi (2012), Negeri Langit (2014), Bersepeda ke Bulan (2014), Sang Peneroka (2014), Metamorfosis (2014), Patah Tumbuh Hilang Berganti (2015), Negeri Laut (2015), Palagan Sastra (2016) dan lain-lain.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri