Cerpen Ken Hanggara

Imo Menari dan Mati di Kolam Minyak

Imo Menari dan Mati di Kolam Minyak
Ilustrasi.
1/ Jaring Nelayan
 
Imo terjerat di jaring nelayan. Sebagai ikan muda, ia tidak berpengalaman dengan hal-hal semacam ini; ia kira, jaring itu petualangan. Ia memang tidak mengerti, tetapi ia bukan ikan bodoh.
 
Imo berusaha kabur, tetapi tidak bisa. Di pikirannya, sudah melintas hal-hal jelek. Ada ayahnya yang pemarah, ibunya yang lembut, dan tentu saja teman-teman yang suka menyebalkan. Di sekolah para ikan, Imo sering diledek sebagai ikan besar bodoh dan tidak bisa berhitung.
 
"Biarpun tidak bisa berhitung, tetapi aku kuat!" kata Imo pada mereka. Tetapi kini, walau ia kuat dan besar menurut ukuran para ikan, kenapa ia tidak bisa membongkar jaring nelayan?
 
Setengah hidup, setengah mati, Imo merasa dirinya diambil dari jaring. Si nelayan baik hati, karena ia dimasukkan ke semacam kolam berdinding putih. Hanya putih, tidak ada lainnya. Imo tidak bisa melihat apa pun di luar kotak tersebut, selain menengok ke atas dan sadar bahwa langit sedang mendung.
 
Nelayan yang jumlahnya tidak satu, melainkan dua, bicara dengan bahasa yang tak Imo pahami. Tak ada ikan tahu bahasa manusia, tapi mungkinkah mereka tahu bahasaku, Imo bertanya dalam hati. 
 
Tiga, empat, lima ekor ikan lain tahu-tahu digelontorkan ke kolam yang sama. Imo tahu. Sebentar lagi, ia jadi bulan-bulanan. Seperti biasanya di sekolahan. Imo sungguh benci hal ini. "Kenapa aku dilahirkan dengan tubuh yang lebih besar dari siapa pun?"
 
2/ Cangkang Raksasa
 
"Duluan mana; telur atau ikan?" Seekor ikan, salah satu dari lima ikan lain yang ada di sisi Imo, mendadak bersuara.
 
Tidak ada yang menyahut.
 
Imo ingin bilang, tentu saja duluan ikan. Kalau tidak ada ikan, mana mungkin telur ada? Tapi, ia takut diledek. Dari tadi, tidak ada yang meledeknya, karena mereka semua ketakutan. Dimasukkan ke kolam putih, kotak yang tidak cukup lapang bagi mereka. Tidak ada yang tidak takut. Sempat-sempatnya main tebak-tebakan!
 
Setelah semalaman berdiam di kolam aneh itu, Imo tahu langit yang hujan tidak akan membawanya pulang. Nelayan itu pergi ke tempat yang amat jauh dari rumahnya. Nelayan itu pasti menuju rumah kaum manusia di daratan, sebuah tempat yang tidak diketahui dengan pasti bentuknya oleh Imo, karena di sekolah ia sering tidak melihat penjelasan Bu Guru di depan.
 
Namun, pagi ini, baru Imo tahu daratan tempat kaum manusia itu tinggal. Ternyata tidak seindah yang ia bayangkan. Ada banyak sekali benda-benda besar hitam berasap. Mengapung di air. Imo tahu itu karena mereka berenam digelontorkan ke atas sebuah cawan untuk ditimbang. Bersama kelima ikan lain, Imo megap-megap. Tapi, Imo tidak bodoh, jadi dia terus saja memperhatikan suasana sekitar.
 
Selesai ditimbang, mereka dimasukkan ke cangkang besar. Kali ini berisi puluhan ember dengan ikan-ikan lain. Imo tentu saja masih ditempatkan di satu ember dengan ikan-ikan yang sejak semalam bersamanya. Sampai sejauh itu, mereka belum saling sapa. Betapa tidak? Mereka hanya berharap apa yang terjadi berikutnya tidak membuat mereka celaka.
 
Cangkang itu, bergetar kasar dan mungkin salah satu binatang darat; Imo tidak tahu. Pokoknya cangkang itu aneh dan berhawa panas setelah mereka dikurung oleh tutup besarnya. Beberapa manusia sempat keluar masuk ke cangkang tersebut, tapi kini ikan-ikan sendirian karena kaum manusia sudah tidak ada. Mereka benar-benar sendiri, dalam gelap dan panas.
 
3/ Meja Nasib
 
"Duluan ikan dong!" jawab Imo setelah beberapa lama. 
 
Kalau dipikir-pikir, lebih baik bicara saja, untuk melunturkan rasa cemas karena dibawa manusia ke tempat yang sangat jauh. Imo yakin ia tak mungkin kembali, bahkan ia tahu ikan tak mungkin bisa berlari. Benda-benda besar di tempat sebelumnya—Imo juga tidak tahu apa itu pelabuhan—tak mungkin bisa ia lewati.
 
Ikan yang melempar pertanyaan tadi menoleh dan tertawa. "Ya ampun, badanmu besar sekali, Om. Tapi, jawabanmu tidak tepat. Yang benar adalah telur. Karena kita semua menetas dari telur."
 
"Jangan panggil Om! Aku masih muda!"
 
Ikan-ikan lain menoleh. Imo merasakan kesan yang sama seperti ketika ia pertama kali masuk kelas dulu; semua siswa memandangnya, seakan bertanya, apa tidak salah tempat? Ia memang begitu besar untuk ukuran seekor ikan muda. Bahkan, ikan yang sudah dewasa pun, banyak yang kalah ukuran tubuhnya dari Imo.
 
Dari sini Imo tahu ia tidak mendapat tempat. Ikan-ikan lain memang tidak tertawa seperti si pelontar pertanyaan, tetapi mereka seperti tidak mau berteman dengan siapa pun. Pertemanan terkesan sia-sia di tempat ini.
 
Imo tidak tahu; ia kira, mungkin, manusia mengambil ikan sebanyak itu di laut untuk dipelihara atau dibuatkan rumah dalam akuarium sehingga ikan-ikan kawin dan berkembang biak. Inilah efek tidak rajin di sekolah, walau dia tidak bodoh. Imo baru tahu nasib mereka sesungguhnya setiba di atas sebuah meja.
 
Dari cangkang raksasa, seseorang menuang para ikan ke meja besar. Tidak hanya lima atau enam ekor per meja, tetapi bertumpuk ikan yang barangkali sekitar dua puluh atau tiga puluhan ekor—Imo tidak bisa menghitung dengan telaten. Dan tentu, di meja ini, para ikan tidak bisa bernapas. Air tidak lagi tersedia untuk mereka.
 
Tapi Imo tahu, tubuh besarnya menang di sini. Ia mencari celah ke bawah untuk ceruk di meja yang berisi sedikit genangan air kotor. Ia terus mendesak dan mendesak demi mencapai tempat itu. Paling tidak ia bisa bernapas di situ, menunda kematian.
 
Kematian?
 
Imo tahu beberapa ekor ikan mati di tempat ini, tertindih ikan-ikan lain. Dan ia bergidik melihat betapa para manusia tidak berubah wajahnya, tetap riang memungut seekor demi seekor untuk diwadahi kantung plastik dan dibawa pulang. Untuk apa? Imo tidak tahu. Tapi, ia tahu ikan-ikan tadi sebagian mati.
 
Menyadari ia juga akan mati—sudah pasti dan tidak bisa dihindari—Imo menyesal karena pergi mengejar petualangan. Mengejar jaring terkutuk! Ia menangis sesenggukan dan berpikir akan meminta maaf pada ibu dan ayahnya lewat mimpi kalau nanti ia sudah mati. Tapi, apa ikan yang mati bisa melakukannya? Bisakah ia masuk ke mimpi ikan tercinta dan berkata, "Maafkan aku, yang telah nakal selama ini, Ayah, Ibu"?
 
5/ Kantung Plastik
 
Memang benar Imo dibawa ke rumah manusia, dengan kantung plastik, tapi ia tidak mati—belum. Sebelumnya orang itu seperti suka dengan ukuran tubuh Imo yang berbeda. Tak seperti di sekolah, yang mana Imo selalu dikucilkan hanya karena ukuran tubuhnya lebih besar dari siapa pun. Sekarang di tempat ini, ia primadona. Wajah manusia berbinar. Semua orang yang melihatnya di meja sini tampak ingin memilikinya. Dan hanya satu yang bisa; satu yang membayar lebih besar. Segala sesuatu yang besar, pikir Imo, selalu disukai manusia. Dan ia tidak bisa berpikir lain selain betapa manusia adalah makhluk paling tamak.
 
Ia yakin akan pendapatnya setelah manusia yang membelinya—perempuan paruh baya—meletakkannya ke talenan. Benda pipih dari kayu itu seperti tempat tidur terakhir bagi Imo yang lemas. Ia masih sempat megap-megap dan mencoba memanggil Ayah dan Ibu, tetapi tidak bisa.
 
Si wanita paruh baya bernanyi selama dua menit sambil mengerjakan entah apa di dekat Imo. Ikan muda ini sudah tidak bisa berpikir jernih; kau pun tak akan sanggup berpikir jernih ketika sulit bernapas beberapa lama, bukan?
 
Ketika Imo merasa tiba di akhir hayatnya, mendadak tubuhnya bergoyang. Wanita itu mengambilnya melalui ekor dan mencelupkannya ke bak berisi air bening. Sekejap, Imo bangkit dan merasa segar. Memang masih lemas, tapi ia bisa bernapas. Beberapa lama wanita itu mencucinya. Imo mencoba menggelepar, tapi si wanita lebih gesit. Ia tarik ekor Imo dan memutarnya di udara sampai kepala ikan muda ini membentur benda kayu laknat tadi.
 
"Ya ampun, tubuh besarku sama sekali tidak kuat melawan semua ini!" Imo bicara, tetapi dalam hati. Dan agaknya, kali ini, cuma hatinya yang hidup. Lain-lain, menjelang kiamat.
 
Imo benar-benar merasakan bagaimana kiamat itu—yang di sekolah sering disebut dengan istilah 'jadi santapan'. Ia sungguh menyesal karena malas di sekolah. Ayah dulu suka membentaknya dan Imo membantah dengan cara mengabaikan semua pelajaran di sekolah (termasuk soal jaring), sehingga ia akhirnya sampai ke tempat ini. 
 
Ilmu 'Agar Tidak Jadi Santapan' memang sering ia hadiri, tetapi pada dasarnya Imo tidak peduli. Itulah kenapa dari tadi ia banyak tidak tahu. Dan kini, ia benar-benar akan menjadi santapan. Si wanita memasukkannya ke wajan berisi minyak panas. Imo menari untuk sesaat, sebelum akhirnya mati kaku di kolam minyak panas.
 
Sampai sejauh itu, Imo belum menyadari bahwa petualangan baru saja selesai. Ia tidak sempat berpikir soal itu, karena bahkan untuk memasuki alam mimpi orangtuanya pun ia tidak bisa. Ia hanya menguap ke udara dan tersesat di lubang upil wanita paruh baya tadi, sebagai aroma masakan yang kelak dibawa ke perut manusia dan menjadi gumpalan tinja dan dibuang entah ke mana. Mungkin ke septic tank, mungkin ke sungai, atau jangan-jangan ke laut? Barangkali, dengan demikian, kemungkinan ketiga bakal membawanya bertemu kembali dengan orangtua dan teman-teman. Hanya saja, ia tidak mungkin bisa bicara. [*]
 
Gempol, 13 Juni 2016 
 
 
 
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional. 
 


Berita Lainnya

Index
Galeri