Cerpen Jeli Manalu

Ular Pencemburu di Bukit Tiga Puluh

Ular Pencemburu di Bukit Tiga Puluh
Ilustrasi.
ELANG yang berpusar-pusar di atas air—yang kau kira mengintai ayam hutan atau ikan patin itu adalah cara halusku mengenalmu tanpa harus menyalamimu.
 
Aku langsung ke luar dari tempat persembunyian yang hitam dan menyelam ke arah air yang gemericik. Kuperintah tiga lintah mendekatimu.
 
Selamat datang, Tuan! 
 
Kau setengah menggigil menyaksikan binatang berlendir, menggelinjang-gelinjang memilih bagian kulit yang mengharuskan kau untuk bergerak gesit ke sebelah kanan. Tapi batu menghijau karena lumut itu menggelincirkanmu ke batu bergerigi. Lututmu robek dan tanganmu agak terkilir. 
 
Darah bercampur air yang mengalir ke hilir terasa harum membasuh tubuhku. Aku seperti Cleopatra yang sehabis mandi susu. Akan menjadi lebih girang, lebih sehat, penuh semangat dan tentu umurku akan makin panjang. Aku kawin, berketurunan, bukan seperti kau yang rela hidup sebatang kara, mengakhiri generasi ayahmu dengan cara bodoh yang paling tolol.
 
“Bagaimana lukanya, Pak Guru?”
 
O-o, rupanya kau sedang menyamar sehingga orang-orang kosong otak itu begitu perhatian padamu. Kau tahu, Lucifer dan Tuhan sama-sama punya misi terhadap manusia. Baik iblis baik manusia sama-sama memiliki keahlian mencipta wajah menjadi dua, tiga, empat dan seterusnya. Seperti kau yang menyamar jadi pengajar. Seperti aku yang menjelma ular. 
 
Kau memang cerdik tetapi aku sangat jenius. Meski seluruh hidup kau habiskan untuk membaca kitab serta mempelajari buku-buku suci, aku hanya dalam kerlingan mata bisa menjadi apa saja. Tak perlu sekolah, tak perlu pena, buku, kaca mata, kamus, telepon, komputer, internet, tivi, radio, koran, profesor, insinyur, dokter. Dalam sedetik aku bisa terbang ke mana saja. Dari air ke udara. Dari daratan ke pegunungan. Dari rimba ke keramaian. Dari satu kepala ke kepala yang lain. Di rumah, di kantor, di ranjang, di bank, di jalan raya bahkan di tempat yang kau anggap suci itu, kusuruh perempuan-perempuan menunjukkan dada, paha, bokong, jari-jari lentik dan bibir basah. 
 
“Bapak-ibu dan adik-adik sekalian, hari ini kita belajar tentang sejarah. Kita akan mengenal tokoh-tokoh pejuang, tokoh-tokoh suci dan yang pasti kegiatan ini akan sangat menyenangkan. Akan ada hiburan dan makan bersama. Sahabat-sahabatku akan mendapat satu buku baca, satu pena dan satu buku tulis.”
 
Aku akan ada dalam barisan yang kau tata rapi itu. Tuan tidak perlu cemas. Tuan tidak perlu ragu. Aku bersungguh-sungguh pada segala kata. Aku pasti akan membantu Anda dalam hal menyampaikan mata pelajaran yang tentu ada hubungannya dengan mata pelajaran yang kupunya.
 
Aku melihat Nunusan. Kudatangi pria dekil yang tampak sudah lama tidak beganti pakaian. Kubisiki telinganya, “Nus! Nus! Letakkan pena itu. Tutup buku itu! Benda-benda itu tak ada gunanya. Pulanglah. Pulang. Ajak keluargamu. Ajak kawan-kawanmu. Apa kau ingin padi-padi itu dihabisi oleh tikus? Ayam-ayammu mungkin saja sedang diintai musang ataupun elang. Sayur-mayur yang baru kau tanam tiga minggu itu akan dicongkeli banyak babi.” 
 
“Masih semangat?!” serumu, seolah di gurun, “sekarang tulislah nama tokoh-tokoh itu sesuai wajah masing-masing ke dalam kolom yang tersedia. Teman-teman tidak usah buru-buru. Tulislah yang benar, dan juga rapi.” 
 
“Ayo, Nus! Tunggu apa lagi? Gambar-gambar itu cuma benda mati. Coba kau pikir dengan santai, menurutmu, mana yang bisa dimakan antara gambar-gambar mati itu atau tanaman-tanaman di kebunmu. Kau tidak bisa membeli baju dengan gambar itu. Kau tidak bisa membeli pisau penyadap karet dengannya. Apa kau lupa jika pisau yang selama ini kau gunakan sudah sangat tipis, dan sebentar lagi pasti patah?”
 
“Guru!” 
 
“Kau tidak perlu permisi, Nus. Menyelinap saja. Kalau kau mengatakannya pada guru itu, kau pasti akan dihalang-halangi. Ia tidak akan membolehkanmu pergi saat ini. Ayolah, Nus. Sekarang, sekarang!” 
 
“Adakah yang memanggil saya?”
 
Dasar penjilat! Tidak ada yang memanggilmu. Semua orang tidak tertarik pada mata pelajaranmu. Sudahlah, Tuan. Akhiri saja pendidikan agamamu. Kau tidak akan bisa mengajari mereka cara berdoa. Kau tidak akan bisa membiasakan orang-orang itu menyembah Tuhan. Apa itu injil? Siapa Yesus? Itu tak penting. Mereka lebih tertarik dengan sabung ayam dan judi. Lebih menguntungkan, bukan?
 
“Oh, Pak Nunusan. Bapak ingin istirahat atau kita tunggu sebentar lagi?”
 
“Saya mau ke belakang sekejap, Guru.”
 
Bagus, Nus! Bagus. Kau hebat! Akan kuangkat kau jadi putraku. Setelah di belakang jalanlah ke kiri, melangkah, melangkah dan jangan lupa melangkah. 
 
Matahari akan ke barat dan kegiatan hari ini kau sudahi. Kau mengira-ngira ke mana perginya Nunusan, keluarganya dan beberapa orang yang duduk tak jauh darinya. Kau bertanya kepada orang-orang animisme itu, tetapi mereka tidak tahu sebab terlanjur lahap pada kata-kata manismu yang menurutku tak lebih dari sekedar muslihat murahan. Tak lebih dari siasat busuk untuk meloloskan hasratmu agar mendapat gelar kehormatan. Kau berkeinginan mendapatkan banyak bunga kelak di nisanmu. Kau juga ingin mencatatkan namamu di daftar buku surga. Surga? Bahkan kau sering curiga apa surga itu ada atau tidak.
 
Sebelum hari menjadi gelap, kau dan orang-orang itu mandi ke sungai. Tentu saja tempat mandi wanita tidak sama dengan pria walau arahnya sama tapi tidak saling dapat melihat. Sekalipun tidak tahu undang-undang, sekalipun penjara tidak ada dalam kamus mereka, dan sekalipun Tuhan tidak mereka percayai, orang-orang itu punya adat yang mengatur ketenteraman warganya. Tetapi aku selalu punya ide terbaik. Lihatlah, lihatlah keindahan tak terperi ini!
 
Help me, help me!” perempuan dermawan yang kau undang dari negara ginseng namun fasih berbahasa Inggris itu berteriak minta tolong.
 
Dowajuseyo!” ia ucapkan sekali lagi dalam bahasanya sendiri sebelum akhirnya menjadi pingsan. 
 
Kau yang mandi di seberang segera mengenakan pakaian tanpa memikirkan handuk. Kau berlari-lari kecil menjumpai pemandian wanita.
 
“Nona Kang digigit ular, Guru!”
 
Amboi! Carilah aku, kawan. Aku di sini. Di kulit batu hijau di belakangmu. Akan kubuat kau terpelotot melihat tubuh mulus wanita itu. Bahkan aku akan membuat ia tampak lebih cantik melebihi kecantikan artis Lee Da Hae si Jang Miri di drama Miss Ripley.
 
“Ularnya lari ke mana? Besar apa kecil? Ular sendok?” pertanyaanmu sangat buru-buru.
 
Wajahmu berantakan dan juga berkeringat dingin. Kau berlari menggendong tubuh pucat, seolah tak mau tahu semak duri yang berserakan. Napasmu patah-patah membayangkan racun ular yang menjalar ke betis, lalu paha, pinggang lalu akan menancap jantungnya. Lalu…, lalu? 
 
Kau melirik arloji, sudah sepuluh menit, pikirmu. Ketika ke sungai yang menuruni lekuk-lekuk tanah basah, kau menghabiskan waktu lima belas menit. Lalu di saat kembali yang membuatmu seperti naik gunung karena beban di punggung, bisa kubayangkan betapa risaunya hatimu saat ini. Kau teringat mati karena rasa penasaran. Ular semacam apakah yang sungguh berani memagut tamumu itu? Apakah ganas? Mungkinkah kobra? Bibirmu komat-kamit mendaraskan sesuatu dan itu membuatku kian berhasrat.
 
Kau meletakkan tubuh perempuan basah dibalut kain basah. Orang-orang langsung berdatangan. Seorang lelaki bersorban yang mereka sebut dengan Orang Tahu atau dukun mengoles-oles luka itu. Dari dalam mulutnya menyembur hal-hal yang sangat susah kau definisikan.
 
“Pergi kau, setan!” 
 
Ya. Racunnya memang tidak mendaruratkan. Aku tidak menyusup ke kakek kobra, nenek kobra, paman kobra, bibi kobra, ibu tiri kobra ataupun rajanya kobra. Aku sengaja memilih ular banci untuk memperalat wanita itu dan wanita itu tidak mengetahuinya sehingga segala kepanikan tidak menyempatkan orang-orang untuk berpikir. Wanita itu pingsan dan itu bukan tanggung jawabku. Tanggung jawabku adalah memperkeruh suasana.
 
Lihatlah wanita itu, bodoh! Lihat bibirnya, pipi empuk, kulit putih, badan ramping. Ia perawan. Ia tidak punya pacar. Kau bisa berkuasa atasnya. Kau bisa menikahinya. Keturunanmu, kujamin akan seindah dirinya.
 
Bibirmu bermantra-mantra, memegangi ornamen salib yang terikat kuat di depan hatimu. 
 
Dengarlah dulu saranku, Tuan. Kau, satu-satunya putra ayahmu. Kau bertanggung jawab meneruskan keturunannya. Kau tahu, beliau sangat sedih dengan keputusanmu ini tapi ia memendamnya sendiri karena kau anak kesayangan yang tak mungkin ditolak keinginannya. Kau bisa menjadi pastor sambil berkeluarga. Apa kau lupa kalau Tuhan memberkati Abraham agar memiliki banyak keturunan sebanyak bintang di langit dan sejumlah pasir di tepi laut?
 
Kau berkomat-kamit lagi dan menghitungi bulir-bulir dalam kalung.
 
“Kau sudah sadar?” tanyamu. Wanita itu mengangguk sambil menatap sekeliling.
 
Tiba-tiba suara bergemuruh muncul dari arah yang gelap, “usir orang ini! Usir mereka!” 
 
Kau gentar dan pucat pasi. Busur di tangan lelaki yang sejak siang kau pertanyakan ketidakmunculannya sewaktu permisi ke tempat pembuangan kencing, sudah siap dilandaskan. Nunusan. Kau tahu, ia tidak seorang diri. Tubuhmu akan menjadi daging remuk yang siap diasapi.
 
“Usir dia! Usir!”
 
Orang Tahu yang memang disegani di Kampung Tiga Puluh berupaya membujuk Nunusan, “katakanlah dulu sebabnya, mengapa kita harus mengusir pak Guru, bukankah kita telah bisa menulis, boleh membaca, mendapat biji buah-buahan, biji sayur-sayuran. Lalu apa yang salah dengan itu?”
 
“Tidak. Kita harus usir dia. Karena mengikuti pelajaran dongengnya, padi-padiku di makan burung. Ayamku hilang tiga. Babiku kabur dari kandang. Aku tidak terima. Pokoknya usir orang ini atau kupanah  kepalanya?”
 
“Tenanglah sekejap, Nus. Jangan gegabah. Mari kita duduk, bicarakan baik-baik.”
 
Aku bangga padamu, Nus! Ayo, ayo lakukan. Tarik busur itu. Bunuh penjajah itu!
 
“Maaf, pak. Besok pagi kami sudah kembali,” kau bermohon seperti tak bermartabat. Pada gelap-gelap begini kau tidak akan mungkin pulang. Kau pasti takut pada binatang ganjil yang ketika melihatnya akan merasakan betapa tulang-tulangmu tak mampu digerakkan. 
 
“Tidak bisa! Dengarlah, Datuk. Orang ini akan memecah belah kita. Anak-anak kita akan menyukainya hanya dengan sebiji permen. Datuk tidak tahu saja, tidak lama lagi ia akan melarang kita ini dan itu.”
 
Kau menjerit cengeng akhirnya. Sebatang anak panah menusuk lenganmu. 
 
Kau berkomat-kamit lagi yang membuatku semakin murka hingga ingin menarik jimat di lehermu dari pelepah pisang tempatku bersembunyi. Akan kucekik daging itu! Akan kugigit mulut itu hingga untuk terbatuk-batuk pun kau tak tahu lagi bagaimana caranya. 
 
“Ular! Ular!”
 
Sial! Aku ketahuan. Kunaiki daun pisang dan membuat ancang-ancang untuk terbang.
 
“Itu dia. Itu ularnya. Kejar!”
 
Biarkan aku pergi.
 
“Pukul! Pukul, remukkan kepalanya!”
 
Jangan!
 
“Campakkan ke api! Mampus kau, ular. Mampus!”
 
Panas!!!
 
“Mampus!!!”
 
***
 
Rengat, Januari 2016
 
 
 
Jeli Manalu, lahir di Padangsidempuan, 2 oktober 1983 dan saat ini berdomisili di Rengat-Riau. Penikmat sastra dan giat menulis cerpen sejak 2016. Beberapa cerpennya pernah tersiar di Media lokal. Jeli bisa dihubungi melalui email: [email protected] dan akun Facebook: Jeli Manalu
 


Berita Lainnya

Index
Galeri