Puisi-puisi Harko Transept

Puisi-puisi Harko Transept
Ilustrasi.
MUSE
 
Aku tak memiliki, tapi puisi 
menyiasati nama
menjelma kata demi kata. 
Seperti tarikan napas Aphrodite menyelebungi kebekuan eros. 
Seperti es krim yang meleleh di bibir bocah: 
sebuah sauh yang mengantar ke lembab dada yang lembah.
 
Kau memiliki petualangan. 
Puisi-puisi memuji di puncak gunung berkabut. 
Dedaunan merunduk saat suaramu tiba. 
Dingin melawan matahari. 
Tapi bulan tak mengubah dirinya menjadi merah jambu, 
takkan tampak di siang hari. 
Menyusup matamu, di lingkar sebuah kehilangan.
 
Puisi takkan pergi, takkan melukai. 
Dia hanya pengembara. 
Diagungkan air mata dan perjalanan ke samudra. 
Puisi selalu penuh deru misteri. 
Dan dia akan menuliskan dirinya dengan baik.
 
 
 
MINGGU
 
Saat tengah malam. Aku sering lapar.
 
Lalu kubayangkan menjadi pencuri, menyelinap jendela, memotong beberapa helai rambutnya, lalu pulang. 
Sampai di dapur aku mengiris bawang. Kata ibu, "hati-hati, Nak. Jangan terlalu tipis jika tak mau matamu perih dan memerah." 
 
Saat tengah malam. Aku sering lapar. 
Tapi di dapur kutemukan air mata menggelepar di mata pisau yang retak. 
 
(2016)
 
 
 
SENIN
 
Pagi yang utuh berhadapan dengan tubuh yang tidak utuh. Sebelum masuk ruang kerja, bagian tubuhku saling melepaskan diri. Kepala, tangan, kaki, mata, telinga, dada, dan ingatan yang bertahan seadanya.
 
Alangkah mencekamnya ruang. Komputer yang selalu minta disentuh. Seperti rambut yang selalu ingin dibelai. Layar komputer bagai matamu ketika ingin kubangunkan dari tidur dan mimpi entah tentang apa. Pelan-pelan menyala karena semalam banyak mengingat dan mengkhayal. Aku tak pernah melihat keresahanmu, semua bisa kauperlambat biar aku terpaku dan menunggu.
 
Satu per satu bagian tubuh mereka berpisah masuk ke ruang yang tak asing dan enggan. Yang satu menatap tajam layar komputer, yang satu mengusik barisan arsip yang rapi. Yang lainnya duduk di meja masing-masing sambil melempar kalimat api hingga menyulut meja lainnya biar bersuara. Tapi aku masih menunggu dan terpaku di hadapanmu, yang sebagian ingatannya kutitipkan.
 
Sampai terik, kadang kami tak pernah tahu letak matahari. Tak ada jendela, ventilasi kecil membuat napas tercekik ketika tengah bulan. Bising ruang terbuat dari mesin printer yang menjerit. Di ruang ini dinding atas, kanan, kiri selalu mendekat, kecuali lantai tempat kami berdiri dan ingat mati nanti. 
 
Sore hari kami melepas panel dan kabel, menghapus ingatan dari komputer, kertas, pulpen, mesin printer, dan menaruhnya di brangkas yang setiap bulan berganti bunga. Keluar dari ruangan yang pengap dan kopi yang tak pernah nikmat. Hanya sebagai bius dari rasa sesak yang akan menjamur di kulit sekitar kelopak mata dan dahi seperti sungai.
 
Aku melihat sore hari adalah tulang rusuk mereka yang lunak. Ingin menyusup di dada kekasihnya. Aku mengembalikan diriku pada matahari. Tenggelam dan kembali utuh.
 
 
 
JUM’AT
 
Mimpi buruk datang larut. Dini hari dan kesepian masih mencekam. Tersendat di dada, gemetar mataku melepas satu per satu air mata yang jatuh tanpa muara.
 
Kulihat ke kanan kosong, kiri juga kosong. Tubuh di bagian kiri depan ini berlubang. Berdarah karena tertusuk kata-kata selamat tinggal. Ketika lubangnya tertutup, ingatanku menjelma rambut.
 
Aku lupa cuaca Indonesia yang dingin seperti ini pernah ada sebelum kedatanganmu di puisi ini. 
 
Atau mungkin aku telah salah karena kemarin membakar diri di sebuah kedai kopi?
 
(2016)
 
 
 
KUTUKAN AEOLUS
 
Siapakah sunyi itu
Merah marun pucat
Sepanjang sungai berdegup
Kamboja gugur di mata
Tidak padam sumpahmu, Poe
Bermuara pula aku
Inikah sunyi itu
Kami bukan pewaris aeolus
Hidup telah serupa lagu-lagu Shiraz
Hanya dia; 
Eleonoraku, bukan milikmu
Tidak luput sumpahmu, Poe
Di jiwa poseidon
Bermuara pula aku
Inikah sunyi itu
Abad baru, darah baru
Di bangun kembali
Berlin di penjuru dunia
Di atlantis suaraku bernasib
Bermuara pula kita
 
(2015)
 
 
 
RITUS ALTAR SUCI
 
Sungguh aku ingin pulang
Di tubuhmu;
Altar paling suci
Bagi dosa-dosaku 
Luruh samprayoga
Menjelma agung
Di degup-degup dadamu
Menyatu suci
Di denyut-denyut rahim
Sungguh aku ingin pulang
Dan mati di tubuhmu;
Altar para dewa
Yang menyamar bara api
Diselubung kama jiwa-jiwa
Menyeluruh
Prajapati dalam dirimu
Di stupa moksa kita
Di altarmu;
Bumi yang dibakar surga
Aku pulang
Dan suci.
 
(2 April 2016)
 
 
 
UND
 
O Sein
Apa yang membelenggu
Ketika kau patah hati seketika itu
Rambu-rambu merah terpasang
Terpapas langkah waktu
Diombang-ambing maut
Yang juga tak menjemput
Busur-busur susut sebelum ke arahmu
Tak jauh dari sangkar kuda
Langit selalu tampak muda
O Zeit
Lepaskan belenggu
Dari wajah yang tak terurus
Berjanji sepanjang tahun angin
Membiarkan rindu bergelantung di wajah
Takkan terlihat ladang tandus 
Bulan yang bulat dan tajam menghunus
O Und
Aku ada 
Juga tiada
Di waktumu yang asing
 
(2016)
 
 
 
Harko Transept, lahir di Palembang 15 September 1984. Biasa dipanggil Arco. Berdarah Sunda dan Jawa. Buku pertamanya Protokol Hujan (Indie Book Corner/2016). Tulisannya pernah masuk di beberapa buku antologi; “Aku dan Hujan dan Kematian” (Aku dan Hujan/Linikala, 2011), “Runtuhnya Alexandria” (Koma, Bukan Titik! /Nulisbuku, 2011), “Hamparan Hijauku dan Senjamu” (Untukmu Pena Inspirasi/Nulisbuku, 2011), dan sajak-sajaknya di “Buku kumpulan @sajak_cinta” (Cinta, Kenangan, dan Hal-hal yang Tak Selesai/Gramedia, 201). Beberapa puisinya juga pernah dimuat di beberapa media cetak di Palembang seperti Sriwijaya Post (2015), Tribun Sumeks (2015), dan Sumatera Ekspres (2014). Sekarang aktif di “Malam Puisi Palembang”. Aktif bersosial media di twitter (@arcotransep) dan blognya arcotranseptra.tumblr.com.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri