Cerpen Nurdiansyah Oemar

Orang Asing

Orang Asing
Ilustrasi.
BARU satu minggu saya menempati rumah yang saya sewa ini, tiba-tiba saja seorang perempuan muda dengan santainya masuk ke dalam rumah saya. Seolah-olah sudah menjadi rutinitas yang kerap kali dilakukannya. Tanpa mengetuk pintu, tanpa permisi dan juga tanpa berkata apa-apa, ia langsung duduk di kursi, di ruang yang saya sebut sebagai ruang tamu ini. Satu set kursi yang sempat diceritakan oleh sang pemilik rumah sewa ini adalah kursi peninggalan—lebih tepatnya, sitaan—dari orang yang pernah menyewa rumah ini sebelum saya.
 
Perempuan itu tak juga mengatakan apa-apa, sementara saya masih disergap oleh kebingungan sesaat ini. Lalu saya pun mencoba untuk mengambil kontrol atas situasi ini—kebingungan—dan berusaha untuk menanyakan apa keperluannya datang ke tempat ini, sekaligus tentunya untuk menegurnya karena saya anggap telah lancang: masuk begitu saja ke rumah saya ini. Tetapi belum lagi saya mengeluarkan suara saya, tiba-tiba saja sorot matanya tajam menatap saya. Mirip sorot mata seorang detektif atau pun polisi ketika sedang berusaha mengintimidasi seorang terduga pelaku kejahatan agar mau mengakui kejahatannya.
 
“Siapa kau?” tanyanya penasaran. Tangannya terlihat begitu gemulai mengelus-elus kulit kursi yang sedang didudukinya itu, “Saya kenal betul, kursi yang sedang saya duduki ini. Saya kenal betul dengan rumah ini. Tetapi kau… Siapa kau?”
 
Loh kok, malah dia pula yang bertanya siapa saya? batin saya. Makin terkejut saya oleh keberaniannya berkata-kata itu. Kata-kata yang secara tidak sadar sedikit mengintimidasi saya dan membuat saya menjadi berpikir yang tidak-tidak. Wah, ndak nyata ini, batin saya lagi.
 
Dengan berkeras diri, saya berusaha lagi untuk mengambil kontrol atas situasi ini. Ini rumah saya, kenapa juga saya yang harus ditanya-tanyai seperti ini. Justru bukankah seharusnya saya yang lebih banyak bersuara? Bukankah saya yang seharusnya banyak bertanya? Maka dengan sorot mata yang saya usahakan lebih tajam darinya agar bisa mengintimidasi balik, saya pun akhirnya bisa bertanya kepadanya, “Kamu, tuh, siapa sebenarnya, Mbak? Dan apa tujuan kamu datang ke sini?” Tanya saya sesopan mungkin kepadanya. Agar hal ini—keabsurdan ini—secepatnya berakhir, karena sesungguhnya lelah rasanya tubuh saya sepulang bekerja hari ini, “Haaah… Kau tanya, aku ini siapa? Kau tanya, apa tujuanku ke sini?” balasnya semakin berani.
 
Alamak! semakin tenggelam saya dalam kekonyolan ini. Jadi mengernyitkan dahi saya dibuatnya. 
 
“Hmmm. Jangan berani-beraninya kau anggap aku perempuan gila, ya?!” ucapnya setelah sesaat meneliti raut wajah saya. Raut wajah yang entah bagaimana terlihat olehnya. Namun yang jelas, lagi-lagi saya dibuat terkejut olehnya. Kali ini, oleh ketepatannya membaca pikiran saya—yang mungkin juga terlihat olehnya di dahi saya.
 
Ah, sudahlah. Alamat tak akan selesai-selesai percakapan ini. Maka, cukup. Saya harus cepat memotong rangkaian absurditas yang menerpa saya kali ini. Saya mencoba, dengan cukup kikuk, agaknya, untuk menghindar dari tatapan matanya yang semakin lama membuat saya semakin kecil—barangkali agak membuat saya jadi semakin takut. Lalu saya bangkit dari tempat saya duduk, “Sebentar!” ucap saya, lalu bergegas masuk ke dalam kamar saya; bermaksud mengambil telepon genggam saya yang sedari tadi sedang diisi baterainya. Tak ada lagi yang bisa saya lakukan, selain menghubungi ibu pemilik rumah sewa ini dan menceritakan kejadian ini kepadanya. Siapa tahu ibu pemilik rumah ini, bisa menjawab rasa penasaran saya atau barangkali malahan ibu itu tahu tentang perempuan itu dan akhirnya bisa mengeluarkan saya dari situasi yang entahlah ini.
 
Saya meraih telepon genggam saya. Sebentar saja bagi saya untuk mencari nama ibu pemilik rumah ini, lalu secepatnya menghubunginya. Tetapi ternyata…
 
‘Nomor yang anda hubungi, sedang tidak aktif atau sedang berada di luar jangkauan’ 
 
Aduh, sial!
 
Demi sebuah kemungkinan. Satu, dua, tiga kali saya menghubungi nomor yang sama, tetapi hasilnya tetap sama. Baiklah. Barangkali ini saatnya bagi saya, untuk benar-benar bertindak seperti laiaknya seorang lelaki meskipun harus menghadapi perempuan yang gila itu. Mengusirnya adalah pilihan yang paling baik bagi saya, ketimbang terus-menerus saya dibuatnya seperti orang bodoh di rumah saya sendiri. Saya menarik napas dalam-dalam dan bergegas kembali ke tempat perempuan tadi. Sebentar saja saya sampai di tempat tadi, namun, perempuan itu sudah tidak ada lagi di tempatnya tadi berada. Alamak! Merinding bulu kuduk saya.
 
Satu bulan berselang. Tak ada lagi rasa penasaran kepada perempuan gila hari itu. Penasaran yang memanglah tiada guna bagi saya. Tetapi barangkali, sesekali masih saya rasakan, betapa tatapan mata perempuan gila itu benar-benar menghantui saya. Tatapan mata yang bahkan seingat saya mampu menutupi fakta betapa sesungguhnya perempuan itu memiliki paras wajah yang cantik kelihatannya. Namun, ya, yang berkesan bagi saya adalah tatapan matanya yang amat menakutkan. Bukanlah sebuah kesan yang baik pula.
 
Waktu pun terus berlalu dan saya masih tidak banyak melakukan interaksi dengan tetanggga ataupun warga sekitaran perumahan, di mana rumah ini saya sewa. Kecuali, hanya sedikit bertegur sapa ataupun hanya melemparkan senyum bila saya sedang berpapasan dengan seseorang. Itu pun terhitung jarang, hanya ketika saya hendak pergi ke warung yang terletak tak jauh dari rumah saya. Ah, betapa sombongnya saya, betapa tertutupnya saya—mungkin, itulah yang ada di dalam benak orang-orang di sekitar saya. Ah, biarlah. Biarlah mereka tetap dengan pikiran mereka, sedangkan saya tetap menjaga apa yang ada di dalam pikiran saya. Pikiran tentang betapa damainya hidup saya saat ini, saat perlahan-lahan saya berusaha menjauhi dunia.
 
***
 
Saya tak hendak memindahkan New York ke kota ini. New York yang katanya, kota di mana segalanya terasa asing. Ataupun mungkin membawa kebiasaan Jakarta ke kota ini. Tidak, saya tak bermaksud seperti itu. Hanya saja, saya jengah dengan riuhnya dunia saya sebelum ini. Janganlah dahulu kau bertanya, betapa banyak keriuhan yang ada setiap harinya. Hanya cobalah bayangkan saja; ketika hampir setiap pagi di rumahmu, kaulewatkan dengan mendengarkan musik yang entah apa, yang diputar dengan volume yang tak tanggung besarnya; ketika hampir setiap menjelang siang rumahmu kedatangan tamu yang entahlah maksudnya apa, lalu menggosip-gosip ria; ketika hampir setiap lepas Ashar rumahmu kedatangan ibu-ibu yang belajar membaca Al-Quran ataupun terkadang berlatih menabok-nabok rebana; dan lalu disambung lepas Maghrib rumahmu diriuhi oleh bocah-bocah tanggung dan mungkin juga menjelang dewasa yang juga rutin belajar mengaji.
 
Ah, dulu rumah saya adalah terminal bagi siapa saja yang mau belajar ilmu agama, bahkan mungkin juga ilmu dunia. Rumah saya adalah tempat singgah bagi sanak keluarga maupun teman sekampung yang hendak mencari peruntungan hidup di Jakarta. Tak terhitung berapa banyak yang pernah merasakan suka dukanya hidup di rumah sederhana saya (rumah orangtua saya). Beberapa di antara mereka telah bahagia, beberapa di antara mereka kurang beruntung dan memutuskan kembali ke asalnya. Aih, betapa dulu, saya tak pernah merasa terganggu dengan hal-hal seperti itu. 
 
Betapa dulu justru saya yang selalu berusaha mencari keramaian. Tetapi entahlah, kini, diri saya seperti ingin menyendiri. Diri saya sepertinya menolak keriuhan-keriuhan itu lagi. Dan ya, barangkali itulah alasan saya ada di sini: menyendiri dan berinteraksi seperlunya saja dengan warga sekitar saya. Ah, betapa seiring usia yang makin tua, rasanya justru membuat saya jengah dengan semua keriuhan yang (pernah) ada. Bukan. Bukan menolak untuk mensyukuri segala yang pernah saya lalui. Hanya saja, barangkali yang saya butuhkan saat ini, hanyalah menyendiri.
 
***
 
Pada suatu sore sepulang saya dari bekerja. Saya sengaja membiarkan pintu saya terbuka, barang beberapa lama agar udara di rumah saya berganti hawanya. Barusan tadi, udara terasa sangat pengap. Agaknya, panas yang terkurung di dalam rumah ini, harus segera saya keluarkan atau alamat tidak bisa tidur saya dibuatnya, sebab kepanasan tentunya. Tak selang beberapa lama, ketika sedang khidmat saya membersihkan piring-piring dan makanan sisa semalam yang baru sempat saya lakukan setiap sore hari. Saya dikejutkan oleh suara bocah. Dugaan saya usianya di bawah tiga tahun. Setengah berlari—tipikal bocah baru bisa berjalan—tergopoh-gopoh, bocah itu menghampiri saya. Sejenak, dia diam dan memperhatikan apa yang sedang saya lakukan, lalu bocah itu tiba-tiba bertanya kepada saya, 
 
"Ibu anna (Ibu mana)?"
 
"Haa, ibu?" Spontan saya berucap. Terkejut.
 
"Ibu anna (Ibu mana)?" Ulang bocah itu.
 
"Waduh. Om nggak tahu, Dek. Ibunya siapa?" Sebuah pertanyaan bodoh yang terucap sebab terkejut itu, membuat saya merasa konyol. Sudah barang tentu bocah kecil itu takkan bisa menjawab pertanyaan itu.
 
Saya menghentikan pekerjaan sejenak. Entahlah, tiba-tiba ada semacam pikiran-pikiran jelek dan juga ketakutan yang terlintas di dalam kepala saya. Maka itu, saya bimbing bocah itu—dengan sedikit memaksa—menuju pelataran depan rumah. Sementara itu, bocah itu masih terus bertanya di mana ibunya. Dan saya masih tak tahu harus menjawab apa dan harus berbuat apa selanjutnya. 
 
Entah nasib baik atau apalah namanya, belum lama saya dan bocah itu ada di pelataran, seorang lelaki muda—seusia saya, agaknya—datang dan langsung meraih bocah itu dan menggendongnya. Dengan nada sedikit ketus, lelaki muda itu mengatakan kepada bocah itu bahwa ibunya ada di rumah dan juga menasehati bocah itu agar tidak sembarangan masuk ke rumah orang. Nasehat yang tentu saja percuma untuk dikatakan kepada bocah seusianya itu. Dan seperti tak ingin membuang waktu lama di rumah saya, lelaki itupun bergegas pergi dari tempat saya ini. Tanpa basa-basi, tanpa permisi, ia langsung berembus begitu saja, seperti angin. Ya, seperti angin.
 
Mesti sebenarnya saya agak kurang berkenan dengan sikap lelaki itu yang saya rasa tidak sopan. Tetapi jika dipikir, itu lebih baik rasanya, daripada saya harus lebih lama berhadapan dengan bocah itu. Ya, toh, saya juga mempunyai pekerjaan yang harus segera saya selesaikan. Ya, ya.
 
Namun, baru beberapa langkah lelaki itu melangkah. Tiba-tiba ia menolehkan wajahnya ke arah saya. Sesungguhnya saya menduga akan mendapat senyuman dari lelaki muda itu makanya saya pun sudah bersiap menyambutnya dengan senyuman yang bersahabat. Namun, nyatanya yang saya dapatkan justru sebuah tatapan tajam. Tatapan yang asing. Tatapan yang seolah berkata, ‘siapakah kau?’ kepada saya. Tatapan yang anehnya, tiba-tiba langsung mengingatkan saya dengan perempuan yang tempo itu datang ke tempat saya ini. Aduh sial…
 
***
 
Saya bergegas menyelesaikan pekerjaan yang tadi sempat terganggu. Saya harus menyelesaikan pekerjaan itu sebelum azan Maghrib berkumandang. Selepas Maghrib ada yang harus saya lakukan. Beberapa kejadian yang lalu, memaksa saya harus berbuat sesuatu. Dan agaknya semua itu bisa dimulai dari mengunjungi rumah Pak RT lagi. Ya, saya rasa, Pak RT pasti bisa membantu saya; mengundang beberapa orang agar mau datang ke tempat saya. Jika tak ada halangan, besok atau lusa saya bisa memperkenalkan diri saya—secara resmi—kepada orang-orang itu, terutama perempuan ‘gila’ dan lelaki muda yang tadi datang ke rumah saya. Dan mungkin, itu bisa menghilangkan tatapan-tatapan tajam yang kerap saya dapatkan selama ini. ***
 
Pekanbaru, 2016
 
 
Nurdiansyah Oemar. Lahir di Jakarta. Tinggal dan bekerja di Pekanbaru, Riau. Giat di Komunitas Malam Puisi Pekanbaru dan Komunitas Paragraf Pekanbaru.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri