Puisi-puisi Riki Utomi

Puisi-puisi Riki Utomi
Ilustrasi
Wangi Lautmu
 
aku ingin menceburkan diri ke lautmu.
dan berenang melupakan masa lalu.
traktat itu yang memisahkan melayu.
membuat retak dan dusta di antara kita.
meluluhkan tubuh dan ringkih tulang
dimana tak ada lagi saling pandang.
 
barangkali kita egois diantara marwah
yang tak tegak. apapun runtuh tanpa 
tahu untuk membangunnya. semenanjung
terkikis peradabannya oleh laknat tangan
kaum barat. semenanjung terbiar luka 
oleh sengatnya meracuni getir mata.
 
wangi lautmu yang kuharapkan.
wangi yang akan membuat kita dapat
menyulam waktu. semenanjung melayu itu
adalah sebuah puisi paling gemulai. 
melaka, tumasik, johor, pahang, lingga,
adalah jalur yang dapat membiakkan kita
ke arus mana saja. di lautmu, kami 
mengulum rindu sampai detik berujung
kepada ceruk-ceruk redam kampung.
 
(selatpanjang, 2015)
 
 
Batu Ampar
 
kami mencampakkan apa saja ke pantai itu.
percikan mimpi, sehelai hati, selembar pikir,
dan segumpal letih. apapun akan basah 
disapu gelombang. membuih sisanya ke 
hati kita. lalu tanpa sekat akan kita ceritakan
ke segenap telinga.
 
kau menemukan jasad kata terhimpit karang.
tubuhnya lemah karena telah kehilangan 
kata amuk. bibirnya pucat akibat terkontaminasi
zaman. kau memungutnya seraya yakin
untuk memulihkan.
 
kau menyantuni pikir kata. menimbang paling
rinci tiap dengus maknanya. di dalamnya 
ada ruh yang bahaya bila diucap. sebab dapat
menggulung apa saja di laut. menelan apa pun
di tanah. menghilang apa pun di langit.
 
(selatpanjang, 2015)
 
 
Di Sebuah Jendela
 
kita seolah-olah sedang membicarakan masa depan. 
pandangan kita luaskan sejauh hamparan bumi. 
lihatlah, kota begitu kemaruk oleh hatinya. mobil,
manusia, perumahan, aliran sungai dangkal, sampah,
ruko, lampu merah, kericik pengamen, tangis bayi
yang terbuang sia-sia adalah sebuah gelitik kefanaan.
 
barangkali ketiadaan yang kita pikirkan. 
terus saja melintas. bersalip kilat, cepat dan lesap,
kemanapun ruang yang kau tembuskan akan berbicara
untuk mengatakan gigir dan getir. lalu kau dengan
seribu daya menahan lisan juga hati yang biasa saja
terlampau berat untuk di luapkan dan kau tak 
tahan lagi.
 
intinya, hanya nuansa. hanya tontonan belaka. 
kau menahan diri dan tak rela masuk ke dalamnya. 
hanya di sebuah jendela dari sebuah tempat menjulang
di cakar langit itu. mungkin harus kita tertawakan
dengan nada sedih atau juga sambil menahan 
air yang memberat di kantung mata.
 
diam-diam kita takut. kau memejamkan mata
rapat-rapat. dan di dalam gedung itu—di sisi 
jendela itu—barangkali kita akan siap dengan 
apapun.
 
(selatpanjang, 2015)
 
 
Sketsa Jebat
 
ia akan menyulap pepohonan menjadi batang pinsil.
dan mengalirkan laut menjadi tinta. akan dirangkainya
cerita tentang jebat. adakah kenyataan amuk selain
darinya? getar batin menyeruak di tubuhnya, 
meninggalkan gusar dada yang bergema di lautan.
 
ia akan mengukir besi menjadi sebilah keris. 
di ujungnya tercerlang sinar putih. menyilau mata.
akan dihunusnya kekuasaan. meniru jebat yang
tak gentar memijak singgasana kuasa raja di hari
naas baginya, yang menggambarkan titah
yang tak lagi dianggap luar biasa.
 
(selatpanjang, 2015)
 
 
Percakapan Rahasia
 
kau lihat, angin membisik burung itu.
segera oleng sayapnya ke barat. memungut 
mimpi yang masih tersisa di atas daun 
pohon jati. ia memecahkan mimpi sebelum
sirna oleh matahari. mematuk-matuknya,
mempreteli satu-persatu untuk 
membuka tabir luas.
 
padanya, larut kehidupan. angin yang usang
memeluk tebal bulu burung. padanya 
maksud membiar mengabar tiap jengkal
petunjuk jalan terang. kelak, akan ada
suatu kisah dimana rahasia menjadi biasa
dan tujuan fana yang sedap menjadi hampa.
 
(selatpanjang, 2015)
 
 
Sajak Diam, 1
 
diam perlambang kaku. kayu berselimut lembut
jauh di hulu. sepadan jengkal yang kita ukur
tak mampu menepis gempar hatimu. 
 
itulah dari yang kita tangkap. sejenak menuju 
pikir tapi buntu ketika hadir. setumpuk ragu
memelintir setelah tepat di hulu takdir.
 
(selatpanjang, 2015)
 
 
Sajak Diam, 2
 
tak penting benar diammu itu. 
ucaplah dengan khusuk semampumu.
“perkenankan jalan yang akan kami
lalui dari ceruk paling sunyi.”
 
masih galau untuk lancar diammu itu.
kata-kata melipat ke dalam saku. 
kalimat merujuk mengikuti sepi.
“tak ada yang dapat kita keruk
dari sisa-sisa hari ini.”
 
(selatpanjang, 2015)
 
 
Dalam Mata
 
aku akan masuk ke dalam matamu.
meraba demi inci lanskap pandang
ketika diammu memandangku.
 
akan kugali hatimu sampai percikan
kata itu keluar dari celah bibir.
mengulang frasa yang tak sempat
berbohong hingga berujung pada
gegap jantung atau hati yang limbung.
 
aku akan keluar dari telingamu.
setelah keluar ruhku dari ragamu.
bahwa—ketahuilah—kita berpadu.
 
(selatpanjang, 2015)
 
 
Riki Utomi alumnus FKIP Universitas Islam Riau Prodi. Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia. Karyanya pernah dimuat dalam Koran Tempo, Indopos, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Lampung Post, Banjarmasin Post, Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, Inilah Koran, Majalah Sabili, Serambi Indonesia, Sumut Pos, Kendari Pos, Babel Pos, Riau Pos, Batam Pos, Halaun Kepri, Koran Riau, Haluan Riau, Metro Riau, Majalah Sagang, Buletin Jejak. Buku fiksinya Mata Empat (2013) dan Sebuah Wajah di Roti Panggang (2015). Menerima penghargaan Anugerah ACARYA SASTRA  dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DKI Jakarta. Juga pernah diundang dalam helat baca sajak Penyair Jemputan Serumpun (Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam) oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Riau. Kini tinggal di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti.
 
 


Berita Lainnya

Index
Galeri