Cerpen Jeni Fitriasha

Imajinasi Palung

Imajinasi Palung
Ilustrasi.
PALUNG kehilangan imajinasinya tadi pagi. Ia panik dan berteriak saat baru saja bangun tidur lalu menyadarinya. Di dalam kamar ia berjalan mondar-mandir sambil berpikir bagaimana caranya untuk menemukan kembali imajinasinya. Tapi ia tidak juga menemukannya. Kini ia mendatangi kantor polisi, membuat laporan bahwa imajinasinya telah dicuri tadi malam. Polisi yang mengurus masalahnya bingung dan bertanya-tanya apa yang dimaksud imajinasi menurut Palung. Pemuda itu hanya mampu menjelaskan bahwa imajinasinya hilang saat ia bangun tadi pagi. Ia tidak bisa berkhayal lagi, mereka-reka cerita apa yang akan ia tulis lagi atau sekedar mengarang-ngarang alasan untuk mengelabui kekasihnya dan mendongeng di panti asuhan.
 
Palung yakin ada yang mencuri imajinasinya. Sebelum ia berangkat tidur, ia masih merasa bisa berkhayal. Masih bisa menggambarkan dan mengarang-ngarang satu cerita walau hanya untuk sekadar mengibuli kekasihnya yang selalu saja bertanya kabarnya lewat telepon. Dan ia bertambah yakin lagi setelah secarik kertas tergeletak di atas bantal di sebelah tempat ia tidur.
 
“Selamat menikmati kekosongan!”
 
Begitulah bunyi kalimat dalam secarik kertas itu yang ia ucapkan berulang-ulang di hadapan polisi. Wajah Palung terlihat sangat gusar. Keningnya berkerut dengan binar mata yang seperti hampir mau menangis. Setiap ia tidak bisa menahan rasa kesalnya, ia hentak-hentakkan kakinya atau ia pukul-pukul meja petugas yang sedang bekerja menanganinya.
 
“Saya jadi tidak bisa bekerja kalau begini!” kata polisi yang di seragamnya tersemat nama, Marlokot.
 
Petugas polisi yang bernama Marlokot itu mengernyit melihat tingkah Palung. Dengan malas-malasan ia mengambil alat tulisnya dan mencatat laporan Palung mengenai ada yang mencuri imajinasinya. Sesekali ketika berpura-pura serius mencatat laporan yang dibuat Palung, Marlokot melirik dengan hati-hati ke wajah Palung. Polisi yang masih muda itu seakan-akan sedang menelaah karakter Palung. Karena setelah puas dan yakin dengan persepsinya sendiri, polisi itu tertawa kecil sambil kembali menulis laporan Palung.
 
“Jadi kira-kira kapan kejadiannya, Pak?” Marlokot meletakkan pena dan mengambil segelas kopi yang sudah dingin di atas meja kerja.
 
“Mungkin tengah malam ketika saya tidur. Ah, bukan! Saya rasa ketika subuh-subuh hari saat saya sedang benar-benar terlelap. Tunggu, atau ketika saya hendak bangun sekitar pukul tujuh!”
 
“Bagaimana ini? Yang mana yang benar?”
 
“Sebentar, coba saya pikir-pikir dulu.”
 
Barang kali ada sekitar tujuh menit Palung menyia-nyiakan waktu hanya untuk mengingat kapan kejadian pencurian imajinasi itu. Polisi yang berbadan kurus dan tinggi itu mulai gelisah. Mungkin ia hendak ingin menyudahi percakapannya dengan Palung, tapi ia tidak bisa melakukannya karena ini adalah tugas.
 
“Pokoknya waktu saya bangun, jendela sudah terbuka dan saya menemukan ini di samping saya tidur.” Palung memamerkan secarik kertas yang ia temukan.
 
“Kalau bukan pencuri siapa lagi yang mengendap-endap masuk dari jendela dan keluar dari jendela pula!” bentak Palung.
 
Polisi itu bergidik mendengar suara Palung yang sudah mulai tinggi. Laki-laki tinggi kurus itu langsung menutup catatannya dan melipat kedua tangannya di atas meja kemudian mencondongkan badannya ke depan, lebih dekat dengan wajah Palung. Palung kaget, lalu membenarkan kembali posisi duduknya. Mencoba menahan emosi dengan cara menepuk-nepuk dadanya sendiri.
 
“Dari mana Anda tahu itu benar-benar pencuri?” tanya polisi muda itu dengan mata melotot.
 
Palung menggaruk-garuk kepalanya sekali lagi. Lalu ia melihat ke sekeliling seolah-olah sedang berusaha mencari sesuatu.
 
“Perasaan saya mengatakan demikian, Pak!” cetus Palung dengan raut muka penuh keyakinan.
 
“Ya, sudah. Nanti akan saya beritahu jika ada perubahan. Tunggu satu atau dua hari lagi. Silahkan Anda pulang dulu. Dan tinggalkan alamat serta nomor telepon.”
 
Polisi itu lalu mengambil alat tulisnya kembali dan mencatat dengan malas-malasan alamat serta nomor telepon yang dijabarkan Palung. Setelah itu Palung ke luar dari kantor polisi dan pergi ke panti asuhan, tempat biasa ia mendongeng.
 
***
 
“Om, kali ini cerita apa?”  tanya Aksa, bocah ingusan yang suka sekali pakai baju kuning. Kakaknya waktu itu, berkata padanya bahwa warna kuning berlambang keberuntungan. Maka, setelah kakaknya pergi dan menitipkannya di panti asuhan ini ia selalu memakai baju warna kuning. Padahal kakaknya tidak pernah kembali lagi, sudah dua  tahun lamanya.
 
Palung terdiam menatap mata Aksa yang berbinar-binar. Bocah itu sudah duduk rapi di bangku kecilnya dengan tangan terlipat di atas meja. Senyumnya mengembang, menampakkan sebagian gigi yang beberapa diantaranya hilang. Anak-anak yang lain mengikutinya. Mereka duduk diam sambil menunggu Palung bercerita. Palung menelan ludahnya, ia mencoba tenang sambil mencari-cari cerita yang bagus untuk didongengkan. Tapi sudah hampir lima belas menit ia tidak menemukan ide untuk bercerita. Ia benar-benar kehilangan imajinasinya. Tidak ada apa-apa di dalam pikirannya. Ia bahkan lupa bagaimana cara merangkai kata untuk memulai cerita. Segalanya hanyalah kekosongan.
 
Anak-anak di depannya mulai gelisah dan rusuh. Aksa menggerak-gerakkan kursinya dan yang  lain mulai melempar-lempar makanan dari donatur.  Palung terdiam sendiri, dengan wajah termangu dan mulut yang terbuka. Matanya mendelik ke atas langit-langit, seperti sedang mencari-cari sesuatu di atas sana. Ia sedang berpikir keras, sangat keras. Beberapa menit setelah itu ia terduduk di atas lantai dan menangis. Anak-anak terdiam memandanginya. Makanan yang dilempar-lempar tadi menumpuk di bawah kaki Palung. Aksa masih menggoyang-goyangkan kursi kecilnya.
 
Hari itu Palung pulang diantar  penjaga panti bernama Ruminah. Sepanjang perjalanan Palung hanya terdiam dengan air mata yang terus mengalir. Ruminah hanya dapat melihat dan menenangkannya. Gadis berumur 16 tahun itu tidak mengerti dengan permasalahan Palung. Padahal Palung sudah menjelaskannya bahwa ia kehilangan imajinasinya. Ruminah hanya terdiam saat mendengarkan penjelasan Palung. Gadis itu hanya memperhatikan Palung seperti ia memperhatikan orang yang sedang tidak waras.
 
Ketika Palung sampai di rumahnya, Ruminah langsung minta ijin kembali ke panti. Di teras, Palung melihat Rinjani tengah duduk di kursi memakai gaun pendek warna biru dongker. Rambut panjangnya tergerai agak basah. Ia membawa sebuah buku.
 
“Sudah lama aku menunggu dan kamu datang dengan seorang gadis, Palung.”
 
“Maaf, Sayang. Aku habis dari panti dan gadis itu penjaga panti. Ia mengantar aku pulang.”
 
“Mengapa kamu harus diantar pulang, Palung?”
 
“Karena…”
 
“Karena apa? Katakan pada kekasih tercintamu ini!”
 
“Karena aku sedikit kurang enak badan, Sayang.”
 
“Oh… kalau begitu kau harus minum obat agar tidak benar-benar jadi sakit.”
 
“Ya, aku akan meminumnya. Ayo masuk, Rinjani.”
 
“Ah, maaf… aku sampai di sini saja. Aku hanya ingin memberimu ini. Nanti kamu harus isi dengan cerita, ya. Akan aku ketikkan dan aku kirim ke penerbit,” kata Rinjani sambil memberikan sebuah buku warna biru dongker kepada Palung.
 
“Apa?”
 
“Kenapa?”
 
“Ah, tidak! Tidak! Tidak apa-apa. Hanya saja akhir-akhir ini aku sulit bercerita, Sayang.”
 
“Kamu harus bercerita karena kamu penulis dan pendongeng! Kalau kamu tidak mau bercerita, aku berhenti jadi kekasihmu!”
 
Rinjani melangkah pergi dengan kesal. Rambutnya yang panjang dan hitam legam bergerak bercahaya dibias terik matahari. Palung menatap punggung Rinjani sambil memegang buku yang baru saja diberikan perempuan itu. Setelah hari itu Palung hanya bisa diam saja. Tidak mau bicara bahkan melakukan hal yang berarti. Ia hanya diam saja di dalam kamarnya, di meja kerjanya. Duduk dengan memegang pena. Buku yang diberikan Rinjani terbuka dan masih kosong di hadapannya. Ia benar-benar tidak tahu harus bercerita apa. Bahkan ia tidak bisa mengawali satu kata pun di buku itu.
 
Malam-malam terus berganti. Palung merasa benar-benar kosong. Ia ingat pesan yang ditinggalkan pencuri imajinasinya waktu itu, “Selamat menikmati kekosongan!” Mengingat itu, Palung menenggelamkan kepalanya ke dalam lipatan tangannya di atas meja. Ia kembali menangis.
 
***
 
“Sudah empat hari kenapa pencurinya belum juga tertangkap, Pak!”
 
Palung di kantor polisi lagi. Ia menggertak Marlokot, polisi yang menangani laporannya. Marlokot hanya duduk santai sambil meneguk kopinya sesekali.
 
“Bagaimana kami bisa menangkapnya kalau ciri-cirinya saja tidak ada,” kata Marlokot sembari mengedipkan sebelah matanya ke arah polisi yang duduk tidak jauh dari Palung.
 
Palung terdiam, ia baru sadar bahwa ia tidak mengetahui bagaimana rupa pencuri itu. Ia mencoba memikirkan sesuatu tapi ia benar-benar tidak bisa mereka-reka. Mengimajinasikan satu sosok di dalam kepalanya. Ia tidak bisa lagi karena kesusahan memikirkan itu, Palung menjambak-jambak rambutnya sendiri. Ia berharap dengan melakukan itu ia bisa mengimajinasikan satu sosok di dalam kepalanya.
 
Polisi-polisi yang melihatnya, terkejut. Dalam pandangan mereka, Palung seperti sedang mengamuk. Marlokot langsung beranjak dari meja dan tempat duduknya. Menyelamatkan cangkir berisi kopi dan beberapa surat-surat penting.
Semua polisi yang sedang berada di dalam kantor bersiap-siap memegang senjata mereka. Palung sudah melompat-lompat sambil menjambak rambutnya sendiri. Ia mulai berteriak tidak jelas. Air matanya sudah mengalir. Mengalir sangat deras sehingga kerah bajunya basah.
 
Udara siang itu sedang dingin. Di luar kantor polisi yang kecil itu, gerimis turun bersama angin kencang. Dari luar, kantor polisi itu tampak tenang-tenang saja. Padahal, ada tujuh orang polisi tengah bersiap-siap memegang senjata mereka sambil memperhatikan gerak-gerik seorang laki-laki yang berumur 28 tahun. Polisi-polisi itu sedang ketakutan. Mereka takut, Palung akan merusak sarana kantor dan melukai mereka. Mereka ingin membawa Palung keluar secepatnya dari kantor mereka yang kecil itu.
 
“Imajinasi… imajinasi!” Teriak Palung berkali-kali.
 
***
 
Beberapa minggu setelah kejadian di kantor polisi itu,  Palung ditemukan mengapung di bendungan dengan tangan kanan memegang sebuah buku berwarna biru dongker, buku yang diberikan oleh Rinjani. Ya, Rinjani kekasihnya yang kini sedang menikmati bulan madu dengan laki-laki lain. Di lembaran buku yang terbuka itu tertulis jelas sebuah kalimat, Kiat Menciptakan Imajinasi. Sebuah tips yang ia catat dari artikel di internet. 
 
Di dalam tips itu dituliskan bahwa jika ingin menciptakan suatu imajinasi haruslah dalam keadaan rileks. Cobalah pejamkan matamu dan bayangkan kamu sedang berada di suatu tempat. Di sana, di salah satu contoh tipsnya di tulis, bayangkan kamu sedang berada di atas jurang yang tinggi, cobalah untuk merentangkan tangan dan hiruplah udara yang datang dengan perlahan-lahan. Rasakan sejuk dan damainya. Lalu kepakkan kedua tanganmu seolah-olah itu adalah sayap. Kemudian melompat dan terbanglah!
 
Beberapa polisi berenang dan berusaha mengangkat tubuh Palung. Terlihat salah satu di antara polisi itu adalah Marlokot, polisi muda yang menangani kasus pencurian imajinasinya Palung. Marlokot terlihat murung, ada mimik kedukaan terpancar di wajahnya. Ia pasti ingat jasad siapa yang sedang ia angkat.
Di wajah Palung yang sudah seputih bengkoang, hinggap senyum. Dari atas bendungan di pinggir jembatan, ada seseorang yang sedang tersenyum bahagia. Ia merasa mendapatkan lagi imajinasi yang lebih tinggi. Kembali ia memejamkan mata, berimajinasi seolah-olah sedang mati.
 
***
 
Bukittinggi, Desember 2012
 
 
 
Jeni Fitriasha, lahir di Padang  tanggal 3 Juni 1989. Alumni Psikologi UNP. Pernah aktif berkegiatan di Komunitas Paragraf (Sekolah Menulis Paragraf), Pekanbaru. Beberapa cerpennya terbit di Riau Pos, majalah Sagang dan Padang Ekspres. Pemilik aktif sunyiberdialog.tumblr.com
 
 
 
 
 
 


Berita Lainnya

Index
Galeri