Jendela Kesekian, Teman Cerita, Tidak Sebagai Puisi, Kepada Penyair, Wisata Lumpur

Sabtu, 17 September 2016 | 05:55:17 WIB
Ilustrasi. (Pat Katz/fineartamerica.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Jendela Kesekian
 
Kaca itu gemetar disentuh sebuah nama dan bibirmu. Hendak ditumpahkannya kisah silam yang pernah ada, benar-benar pernah ada: kau kerap menggambar tanda cinta, memasang wajah lugu, menempelkan senyum paling tulus dan sederhana di dalamnya. Kebahagiaan yang kelak kau sebut tak ada putusnya, tak ada ujungnya. Tak ada putusnya: kau bisiki kaca itu bahwa pada saatnya kau cita-citakan sebuah rumah tangga dengan suami seorang polisi atau tentara, anak-anak yang juga sebagai abdi negara. Tak ada ujungnya: kau kecup kaca itu dan berharap semoga di akhirat kau, suamimu, anak-anakmu selamat dari lubuk neraka dan terusir ke surga yang sama.
 
Kaca itu gemetar disentuh sebuah nama dan bibirmu. Ingin diserakkannya cerita lama yang tak akan terlupa, sungguh-sungguh tak akan terlupa: kau tersentak ketika geluduk dan petir meledak. Hujan dan angin membius rumah, pohonan, tiang listrik, kabel-kabel putus dan nestapa, dinding retak dan penuh dahak. Kau berdoa agar luput dari marabahaya. Doa yang kau maksudkan belum siap mati karena masih terlipat janji dan dosa.
 
Kaca itu gemetar disentuh sebuah nama dan bibirmu, berulangkali, dan selesai ketika sebait bom meletus dan menghapus segala niat baikmu.
 
Kombung Barat, 2016.
 
 
 
Teman Cerita
 
Tersebab apa kita bertabrakan? Saban malam, kau dan aku ditilang telepon genggam, berjam-jam. Alpa kepada hujan yang bersamrah dan menaiki teras rumah, kepada suara cicak yang membikin gelap jadi serangkaian perayaan tahun baru: bunyi terompet, kembang api, dan lagu-lagu yang cinta melulu.
 
Kita berkisah banyak hal, terlebih kau bercerita tentang seorang gadis 14 tahun yang kerap mual-mual. “Ia memiliki tak kurang dari 7 pacar,” katamu. “Dan di sekolahnya, 2 video mesumnya sempat beredar.” Tersebab apa kita bertabrakan? “Tersebab cinta yang melewati batas alkohol dan tali kutang. Hahaha.”
 
Dan tersebab apa kita bertabrakan? Aku mengulang-ulang itu pertanyaan, dau kau tak sungguh-sungguh bosan. “Kau mau kita bertabrakan? Hahaha.”
 
Kelam larut. Suara kita putus-putus, dan putus. Kau mampus? Aku melihat sepasang sepi berayun-ayun di kedua mata.
 
Kombung Barat, 2016.
 
 
 
Tidak Sebagai Puisi
 
*
Dan jalan di depan berkelok,
kepadaku kau melulu besok.
*
Selembar daun menolak angin,
kau dan aku tidak sedaging.
*
Kereta dan kau berangkat,
hatiku telah kiamat.
*
Jika tiba kematian itu,
hendak kau jadi kuburku?
 
Jember, 2016.
 
 
 
Kepada Penyair
 
Akan tiba hari esok dan setelahnya
Akan lahir bayi mungil dan selanjutnya
Akan datang kematian dan seterusnya
Dan, apa yang kau miliki hari ini?
 
Puisi? Kata-kata hanya berlaku bagi si gila
Orang yang menolak mandi meski satu kali sehari
Orang yang acuh kepada baju dan rambut rapi
Orang yang menghamba kepada rokok dan kopi
Orang yang terus jatuh cinta tanpa harus berbini
 
Tuhan? Tuhan tidak ada di masasilam atau di masadatang
Tidak juga di dalam harapan dan doa yang panjang
Harapan hanyalah omong kosong belaka
Tanpa ikhtiar yang sungguh dan nyata
Harapan adalah pengalihan terdalam
Sebelum tanah mensesap daging dan tulang
Doa yang panjang tidak akan ada artinya
Jika ingatan masih merayap di tubuh wanita
 
Tuhan ada di mata dan telinga
Tuhan ada di tangan dan kaki
Tuhan ada ketika kau mengenali
Untuk apa dirimu tercipta
 
Dan, apa yang kau miliki hari ini?
Kau tidak akan mengerti mengapa Tuhan menciptakan puisi
Kau tidak akan mengerti mengapa puisi kerap menjauhkan Tuhan
Kau hanya akan mengerti bahwa dirimu berayun-ayun antara Tuhan dan puisi
 
Jember, 2016.
 
 
 
Wisata Lumpur
 
Matahari pagi melompatimu
Bunga-bunga hancur lebih dini dari mekarnya
 
Hujan tak berani menyentuhmu
Segala bahasa larut dalam genang Tiada
 
Sebuah puisi lahir prematur, di lubukmu
Genaplah rahasia sebagai prasangka
 
Sidoarjo, 2016.
 
 
 
Rusydi Zamzami. Lahir dan besar di Sumenep, dari pasangan Misnal (alm) dan Mu’ienti. Alumni Yayasan AL-AMIN Ellak Daya Lenteng Sumenep Madura, Pondok Pesantren BUSTANUL ULUM Ellak Daya Lenteng Sumenep Madura, dan Pondok Pesantren ANNUQAYAH Guluk-guluk Sumenep Madura. Belajar sastra di komunitas Bengkel Puisi Annuqayah (BPA) dan Rumah Sastra Bersama (RSB) Guluk-guluk Sumenep Madura. Antologi bersama: Rumah Seribu Pintu (RSB, 2008), Annuqayah dalam Puisi 2008 (BPA, 2008), Manuskrip Pertama 2009 (BPA, 2009), Tinta Kehidupan (Tirta, 2010), Risalah yang Membumi (Cotot, 2011), Safar (RSB, 2011), Getir Maut yang Memburu (Rumah Kata Press, 2011), Suara-suara Rakyat Kecil—dengan nama Dendi R. Haryadi (Rayakultura, 2011), Di Sebuah Surau, Ada Mahar UntukMu (Gawangnya Berkarya, 2012), Menyirat Cinta Haqiqi (Insandi-Malaysia, 2012), Sinar Siddiq (Bahasa-Malaysia, 2012), Requiem bagi Rocker (Taman Budaya Jawa Tengah, 2012), Renjana (Lesehan Sastra Annuqayah [LSA], 2013), Aquarium & Delusi (Bebuku Publisher, 2016), Baju Baru untuk Puisi & Hal-hal yang Belum Kita Mengerti (Bebuku Publisher, 2016), Pasie Karam (Dewan Kesenian Aceh Barat, 2016), Klungkung dalam Puisi (Nyoman Gunarsa Museum, 2016). Beralamat: Jl. Brawijaya 1/22 (samping kanan Janur Card) Mangli Jember 68136. Email: rusydizamzami@gmail.com
 

Terkini