Puan dan Wajah-wajah yang Menghilang

Ahad, 07 Agustus 2016 | 14:58:50 WIB
Ilustrasi. (saatchiart.com)
•1•
 
Pada kenyataannya, Puan sedang tidak mengada-ada ketika bertanya tentang orang-orang tanpa wajah yang lalu-lalang di hadapannya. Bocah itu merasa, sesuatu mungkin tengah mempermainkan dirinya sejak beberapa hari lalu, saat ia menemukan seorang lelaki tua di dalam sebuah mobil. Ia merasa semakin bodoh memikirkan itu semua. Ia masih belajar tentang perkalian dan pembagian di sekolahnya, hingga suatu siang ibunya berkata: lupakan sekolahmu, Nak, bantu Ibu cari duit.
 
Semenjak bapaknya meninggal akibat radang paru-paru—lelaki itu terlalu sering muntah darah tetapi tidak pernah mampu membeli obat untuk membunuh penderitaannya—di suatu malam yang menghirukkan segalanya, ibunya menjadi penjual rempeyek keliling, sambil menggendong bocah di ketiak, sedangkan Puan menjadi pengemis kecil yang lincah. Kawan-kawan menyukai Puan yang ceria. Puan yang tidak pernah mengeluh. Puan yang mau membagi recehnya pada pengemis kecil lain yang hari itu tidak seberuntung dirinya. Tapi sejak bocah sepuluh tahun itu bertemu dengan lelaki tua di dalam sebuah mobil, ia menjadi seorang pemurung yang handal. 
 
Lelaki tua itu tidak memiliki wajah. Dia duduk di kursi penumpang, mengenakan kemeja biru dan jas hitam yang terlihat mahal. Dia sedang menekuni sosok Puan, yang berdiri mengulurkan tangan dari balik kaca. Ketika itu, Puan tidak sedikit pun berteriak ketakutan (walaupun wajahnya pucat dan mata membelalang). Ia hanya memekik sebentar—suaranya lirih dan tercekat di tenggorokan—lalu mundur perlahan dengan kaki-kaki gemetaran. 
 
Awalnya, Puan hanya melihat seorang itu saja. Bocah itu tidak menemukan lagi kejadian serupa. Ia pikir semua hanyalah lelucon, atau sedang salah lihat karena rasa lapar. Tapi dirinya telah salah.
 
Suatu siang yang menyengat, saat matahari pecah di jalanan aspal, Puan bertemu dengan orang serupa lelaki tua di dalam mobil itu. Tapi kali ini Puan tidak terkejut lagi. Ia memandanginya lekat-lekat. Tidak berkedip. Berharap menemukan sesuatu.
 
Perempuan itu masih muda. Mungkin seumuran dengan dua kakak cantik yang datang setiap akhir pekan ke perkampungan Puan yang melesak semerawut di pinggiran ibukota. Mereka  datang untuk mengajar anak-anak perkampungan membaca dan menulis, dan membawa serta buku-buku dongeng yang menggembirakan semuanya. Tapi perempuan di dalam mobil yang dilihatnya itu tidak berjilbab seperti kedua kakak cantik tersebut. Dia berbaju ketat berwarna merah dengan sekumpulan motif mawar yang tumpang tindih. Dia duduk di bangku sopir, tapi tidak memandang Puan. 
 
Setelah bertemu dengan perempuan itulah Puan mulai sering mendapati orang-orang tanpa wajah di sekitarnya. Semakin bertambah dan bertambah. Mereka hidup, berjalan, kentut, berbicara, membaca, bersendawa, dan menghirupi udara. Mereka juga bergandengan tangan, berkelakar di halte bus, menelepon seseorang di seberang dengan penuh kerinduan, dan diam bersedekap di bawah lampu jalan. 
 
Ia pikir, mungkin dirinya sudah gila. Tapi ia tidak ingin menjadi gila seorang diri. Bocah itu akhirnya memutuskan untuk memberanikan diri bertanya pada kawan jalanannya. Satu dari yang paling ia percayai.  
 
•2•
 
Bocah lelaki itu dipanggil Pedro. Itu bukan nama yang sebenarnya. Bukan yang diberikan oleh ibu-bapak kandungnya. Puan tidak tahu siapa nama asli Pedro. Kawannya itu juga tidak tahu siapa nama dirinya yang sebenar-benarnya. Dia hanya tahu orang-orang menyebut dirinya Pedro sejak bertahun-tahun lalu. Sejak seorang lelaki tua kesepian menemukannya tergeletak dalam sebuah kardus mie instan di atas tumpukan sampah, dan dia mengoek-oek sepanjang pagi.  
 
Pedro lebih muda dua tahun dari Puan, tapi dia lebih pandai bernyanyi dan bermain ukulele. Gitar kecil berwarna cokelat itu dibelikan ayah angkatnya, lelaki tua yang menemukannya. Bukan barang baru, tapi masih bisa dipetik dalam keadaan baik-baik saja. Dan saat ayah angkatnya sekarat seperti sekarang ini, ukulele itu mampu membuatnya bertahan hidup. 
 
Pedro senang menginap di rumah Puan. Mereka layaknya adik-kakak yang saling menjaga di jalanan ibukota yang terkenal kejam pada semua penghuninya. Jalanan yang terkadang bisa menjadi tempat terakhir bagi seorang bocah pengemis dan pengamen, sebelum pada keesokan harinya tubuh mereka diketemukan tanpa nyawa—terpotong-potong atau salah satu organnya menghilang—di dalam selokan, atau ditenggelamkan di mana saja.
 
Saat Puan berjalan mendekat, di siang yang sedikit mendung itu, Pedro tengah menghitung recehnya di bawah sebuah pohon yang dahan-dahannya sudah digundul paksa. Sebentar lagi, Pemilu akan tiba. Dan pohon-pohon di jalanan harus merelakan dirinya dipangkas, lalu papan-papan besar dengan gambar wajah orang tersenyum dan slogan-slogan pasaran dan bendera-bendera partai akan berdiri gagah di samping mereka.  
 
Puan duduk di samping Pedro, menepuk bahu bocah dekil itu dan bertanya: apa kamu lihat itu? Pedro mengangkat kepala, memandang takjub pada Puan yang menampakkan wajah gelisah. Hal yang belum pernah diketemui Pedro pada diri Puan.
 
“Lihat apa?” 
 
“Itu, mbak-mbak baju merah di depan warungnya Mpok Darmi.”
 
Pedro melempar pandangannya ke arah perempuan yang dimaksud Puan. Dia mengedikkan bahu. Tidak paham akan perkataan Puan.
 
“Lihat mukanya, dong. Dia nggak punya wajah. Nggak ada mata, hidung, mulut, dan bahkan alis!” Puan memekik tajam, tapi Pedro hanya berkesip. “Bukan cuman dia, Ped. Lihat itu, mas-mas yang ngerokok di halte. Juga itu, tuh, nenek-nenek yang sedang kipas-kipas, dan anak-anak sekolahan yang berjalan di sana. Masa’ kamu nggak bisa ngelihat mereka, sih?”
 
Pedro keheranan. Tidak ada yang aneh pada mereka, orang-orang yang ditunjuk Puan itu. Mereka semua sedang baik-baik saja. Pedro membalas tatapan gelisah kawannya itu dengan sebuah gelengan, membuat Puan makin gelisah. Ia yakin, ia sudah digilakan oleh sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh dirinya saja. 
 
“Mungkin kamu itu sedang dikutuk sama Tuhan.” Pedro tertawa. Tawa yang melengking seperti tiupan terompet tahun baru. Bocah itu mencoba berkelakar, tapi bagi Puan, ia tidak sedang membutuhkan sebuah candaan.
 
•3•
 
Sebelum Puan bertemu seekor anjing kudisan yang menggondol selembar kulit wajah di moncongnya, ia menjadi seperti orang gila. Ia meracau sendiri. Ketakutan sendiri. Menangis-nangis seorang diri. Seperti ada yang menatapnya tanpa ampun. Menusuk-nusuk matanya, punggungnya, juga kepalanya. Membuat semua tubuhnya berdenyut-denyut. 
 
Ia tidak berani membuka matanya lagi. Orang-orang tanpa wajah itu semakin banyak. Bergerombol layaknya kecebong-kecebong dalam kolam terlantar yang berebut makanan. Dan orang-orang itu selalu saja mengarahkan kepalanya ke arah Puan. Seolah marah. Seolah berkata: jangan berkata apa-apa, atau kamu akan mati!
 
Dan Puan tidak ingin mati.
 
Suatu kali, ia pernah berteriak-teriak, “Selamatkan aku! Selamatkan aku!” Ia lari berkeliling. Menjambaki rambutnya. Tertawa-tawa. Mereka yang ada di perempatan lampu merah tempat Puan biasa mangkal itu, menyebut Puan telah gila. Tepatnya: Puan telah diperkosa sampai ia gila. Tetapi Pedro dengan tegas berkata, “Puan dikutuk Tuhan!” Kali ini, dia sedang tidak berkelakar.
 
Pada malam setelah Pedro mengatakan jika dirinya dikutuk oleh Tuhan, Puan tidak bisa memejam mata. Ia duduk tercenung. Menanyai Tuhan, apakah benar Dia sudah mengutuknya. Jika itu benar, apa dosa yang telah diperbuat dirinya selama ini? Puan memikirkan itu. Mencoba mengingat-ingat. 
 
Ia memang pernah mencuri dua buah cokelat di sebuah minimarket. Adiknya menginginkan sebatang cokelat, seperti yang dilihatnya di layar televisi milik tetangga mereka. Puan mengajak Pedro hari itu. Melakukan sebuah persengkongkolan layaknya maling profesional. Itu hari yang paling menegangkan baginya. Juga bagi Pedro. Tapi mereka menyesal. Mencuri bukan jalan yang nyaman untuk dilakoni anak-anak seusia mereka, dan keduanya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Jadi tidak mungkin Tuhan marah karena itu, pikirnya.
 
Ia berusaha lagi mengingat-ingat dosa dan kesalahan-kesalahannya yang lain. Hingga kepalanya lelah dan matanya terasa berat. Mengantuk. Malam itu, sebelum tidur, ia berdoa mohon pengampunan pada Tuhan. Tapi ternyata, Tuhan tidak memaafkannya. Itu membuatnya sedih, dan ketakutan. Ia menyalahkan dirinya sendiri hingga menjadi gila. 
 
•4•
 
Hujan baru saja berhenti. Puan mulai merasa lapar. Ia sudah lupa kapan terakhir kali ia makan. Tiba-tiba dirinya merindukan masakan ibunya. Sepotong tempe goreng dan sambal kecap di atas sepiring nasi. 
 
Senja itu, setelah hujan tak lagi turun, Puan memutuskan untuk pulang. Ia berjalan gontai di antara genangan-genangan air. Kakinya tak lagi beralas. Sendalnya telah lama menghilang, namun ia tidak peduli dengan sendal. Tanpa itu, ia masih bisa berjalan.
 
Ketika itulah anjing kudisan itu melintas, tepat saat Puan memasuki sebuah gang sempit yang sepi. Moncong anjing kudisan itu menggigit lembaran daging yang bergelambir. Puan melihatnya, dengan penerangan lampu jalan yang sangat cukup. Itu selembar kulit wajah. Ada bola mata yang masih melekat, berkedip-kedip. Juga bibir dan hidung. Puan memekik ngeri. 
 
Anjing kudisan itu terbirit-birit. Lalu sekonyong-konyong seorang lelaki gempal mengejarnya dengan mengangkat sebatang kayu tinggi-tinggi. Seorang lelaki lain—lebih tinggi dan kurus—mencoba menghentikan lelaki gempal yang sedang murka. “Biarkan saja anjing keparat itu,” ujar lelaki tinggi dan kurus. Lelaki gempal bersungut-sungut. 
 
“Tapi itu wajah yang jujur, Kang. Ini musim Pemilu. Mereka butuh wajah jujur saat kampanye, tapi stok kita sangat sedikit. Kamu kan tahu, Kang, orang jujur zaman sekarang itu hampir punah. Susah didapat.”
 
“Biarkan. Paling wajah itu sudah koyak. Rusak, nggak bisa dijual lagi.” Lelaki gempal menatap kawannya dengan kecewa. “Kamu tenang saja. Kita cari di tempat lain. Masih banyak orang miskin yang jujur,” ujar lelaki kurus dan tinggi lagi. Lalu lelaki gempal mengumpat. Membuat Puan takjub, sekaligus takut.
 
Kedua lelaki itu sudah memutuskan untuk pergi, ketika pada akhirnya mereka menyadari keberadaan Puan. Mereka saling memandang. Lelaki gempal mengangguk, sementara lelaki kurus dan tinggi berjalan menghampiri Puan. Bocah itu mundur beberapa langkah.
 
“Hei, Bocah. Wajahmu yang memelas itu cukup bagus. Berapa harganya?”
 
Puan mengerutkan dahi. Merasa aneh. Ia bertanya, “Buat apa dijual, Bang?”
 
Lelaki tinggi dan jangkung menghela napas sebentar, kemudian berkata-kata kembali, “Ada seorang dewan yang terjerat kasus korupsi. Kamu tahu kan korupsi itu apaan?” Puan mengangguk. “Nah, dia butuh wajah memelas seperti wajahmu itu, agar orang-orang mengira bahwa dirinya adalah korban ketidakadilan. Ngerti, tidak?”
 
Bocah perempuan itu terhenyak. Hampir tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya, tapi ini sebuah kenyataan. Ia lalu jadi tertawa terbahak-bahak. Merasa terbebaskan. “Tuhan tidak mengutuk aku! Tuhan tidak mengutuk aku!” Ia berteriak teramat kencang. Melompat-lompat kecil dan menari. Membuat air-air hujan yang menggenang di jalanan berkecipak.  
 
Kedua lelaki itu saling berpandangan. “Bocah edan!” gerutu lelaki gempal. Lalu tanpa basa-basi, mereka meninggalkan Puan yang pelan-pelan juga berjalan riang menuju rumahnya.
 
Sesampainya di rumah, hati bocah itu sudah tertenangkan. Ada sepeda Pedro yang bersandar tanpa syarat di tembok teras. Puan senang ada Pedro di rumahnya. Ia ingin menceritakan segalanya, bahwa Pedro telah salah. Ia tidak sedang dikutuk Tuhan. Saat kawannya itu mendengar ceritanya nanti, dia pasti akan terkejut. Pedro selalu bertingkah lucu saat terkejut. Puan suka itu.
 
“Ibu, aku pulang!” 
 
Pintu depan perlahan terbuka. Puan bersorak dalam hati. Cuping hidungnya membaui aroma masakan ibunya. Ada bau seperti ayam yang digoreng. Gurih dan harum. Telah lama ia tidak makan sepotong ayam, dan perutnya benar-benar lapar. Lesat ia berjalan menuju pintu. Sesosok perempuan dengan bocah di gendongannya, menyambut Puan dengan tersenyum. Lalu seorang bocah dekil dengan ukulele di punggungnya.  “Ayo, cepet masuk. Ibu masak enak hari ini,” ucap ibunya bersemangat. Tapi Puan bergeming dan menggigil. Matanya terbelalak, menatap bocah berukulele di samping ibunya. Itu Pedro. Pedro yang sama, tapi tanpa wajah. Juga adik di dalam gendongan ibunya. (*)
 
Sidoarjo, Mei 2016
 
 
 
Ajeng Maharani, seorang ibu rumah tangga dan penikmat sastra yang lahir di Surabaya. Email:  ajengmaharani1980@gmail.com
 

Terkini