Ketua DPRD Pekanbaru Ikuti Sosialisasi Pengendalian Gratifikasi Bersama KPK RI

PEKANBARU- Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru menyelenggarakan Sosialisasi Pengendalian Gratifikasi yang diikuti oleh pegawai di lingkungan Pemko Pekanbaru, Forkopimda dan Pimpinan DPRD Pekanbaru, Senin (25/9).

Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka mewujudkan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) bersama KPK RI.

Ketua DPRD Kota Pekanbaru Muhammad Sabarudi mengingatkan bahwa kegiatan ini sangat positif untuk diselenggarakan sebagai bentuk memberikan pemahaman kepada pegawai hingga pejabat untuk tidak terlibat dengan praktik rasuah.

"Kita harus menjunjung tinggi integritas sebagai upaya terhindar dari praktik yang merugikan diri maupun merugikan masyarakat hingga negara," kata Muhammad Sabarudi usai kegiatan berlangsung.

Sementara itu, Pj Wali Kota Pekanbaru Muflihun menyampaikan ASN Pemko Pekanbaru harus menjunjung integritas. Provinsi Riau tentunya menjadi atensi KPK RI, hal ini berbanding lurus karena seringnya para pejabat di Provinsi Riau maupun anggota DPRD tersandung dalam masalah gratifikasi maupun korupsi.

"Untuk itu kami meminta para ASN, Forkopimda Pekanbaru dan Angggota DPRD Pekanbaru untuk serius mendengarkan arahan dari Analis KPK RiI" ujar Muflihun.

Dijelaskannya, untuk mengambil sebuah kebijakan, Ia selaku Penjabat Wali Kota Pekanbaru senantiasa berkonsultasi dengan Forkopimda Pekanbaru. Dengan adanya sosialisasi ini, ia tentu berharap tindak salah langkah dalam mengambil sebuah keputsan untuk membangun Pekanbaru.

Sementara itu Analisis Pengendalian Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Anjas Prasetyo,  menyebutkan, Gratifikasi yang wajib lapor adalah gratifikasi menjadi sesuatu yang terlarang ketika pihak penerima seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara, penerimaan berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban penerima.

Kemudian, gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat memicu konflik kepentingan yang memengaruhi kerja dan keputusannya dalam kebijakan serta pelayanan publik.

"Sedangkan gratifikasi yang tidak wajib lapor (Negative List), contohnya pemberian dalam keluarga seperti pemberian kepada kakek, nenek, bapak, ibu, mertua, suami, menantu, keponakan, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan," jelasnya.

Terciptanya budaya anti gratifikasi sambung dia, tentunya tercermin dari tingkat pemahaman dan kepatuhan pejabat dan pegawai suatu instansi terhadap aturan gratifikasi, menolak menerima gratifikasi yang dapat menyebabkan terjadinya konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan dan pelaksana tugas serta melaporkan penerima gratifikasi itu sendiri.(GALERI)


Galeri