Esai

Ramadan sebagai Lahan Konstruksi Batin

Ramadan sebagai Lahan Konstruksi Batin
Ilustrasi. (Yvette Sfuhainart/saatchiart.com)

Oleh: Muhammad Irsyad Al-djaelani

Zainuddin, lelaki kelahiran Makassar itu, harus merelakan Hayati dipersunting Aziz; seorang lelaki yang konon memiliki  kejelasan adat dan karir pekerjaan yang lebih mumpuni. Zainuddin dihempaskan dalam penampakan dualisme wajah orang yang dicintainya; Hayati yang dilema antara perasaan bersalah karena telah mengingkari janji, dengan Hayati yang pada akhirnya berpikiran bahwa hidup haruslah mempunyai kejelasan dalam hal memenuhi kebutuhan secara materi.

Dalam kesedihan yang semakin dalam, Zainuddin memutuskan pergi dari Ranah Minang menuju Batavia. Menumpahkan suaranya, kesedihannya, di sela-sela derik mesin tik itu. Ia bahkan tak tahu, tulisan-tulisan itu yang nantinya akan mengantarkan perjumpaannya dengan Hayati unutk kedua kalinya.

Perbalutan drama tendens – romantika sepasang kekasih itu digubah oleh Buya Hamka dengan asam keperihan yang tertampung di dada seorang Zainuddin. Meski di situ, Hamka tetap menyelipkan sedikit kearifan di tubuh lelaki berketurunan Bugis dan Minang itu. Zainuddin, yang telah kaya raya di perantauannya, tetap memiliki budi baik dan sifat rendah hati. Meski pada saat itu Hayati kembali menampakkan diri, Zainuddin tak serta merta bersikap radikal dengan keberlebihan harta yang dia miliki. Zainuddin merelakan Hayati demi kebahagiaan orang lain. Zainuddin berpuasa, menahan kebahagiaan lahir batinnya, demi kebahagiaan seorang Aziz, niniak mamak, pamangku adat, dan kebahagiaan ranah Minang Kabau nun jauh di Sumatera Barat pada masa itu.

Lain hal dengan drama percintaan yang datang dari Benua Biru di bawah komando Shakespeare; Romeo dan Juliet. Shakespeare mengedepankan bahwa cinta sejati sepasang kekasih haruslah bersatu hingga jantung masing-masing ditembus peluru maut. Buya Hamka, yang kita tahu, juga adalah seorang ulama Islam, tahu betul mengemas cerita percintaan yang bisa dikatakan utopis, namun selalu memunculkan pesan batin tentang sulitnya memerangi diri sendiri; merelakan (berpuasa) kebahagiaan diri sendiri demi kebahagiaan yang lain.

***

Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar, haus, dan nafsu ragawi. Ramadan adalah lahan sepetak, di mana di dalamnya Allah turunkan Al-quran, Lailatul Qadar, dan hal-hal lainnnya yang membawa kita tidak hanya pergi barang sejenak melihat saudara-saudara kita yang jauh tertinggal dari segi ekonomi, pendidikan, budaya, tetapi juga ikut menyelam ke dalam apa yang mereka hinggapi selama ini.

Perintah berpuasa di bulan Ramadan, abad ini, milenial ini, seharusnya tidak lagi kita ributkan di wilayah perihal menahan lapar-haus, buka-tutup warung makan di siang hari, atau hal-hal lainnya yang membawa kita begitu rela tonjok-tonjokkan demi sebuah simbol: identitas, dan entitas. Dan kita lupa akan esensi, nilai, sublime, atau sesuatu yang hening, khusyuk, atau nominous seperti Goenawan Mohammad katakan di dalam kitab Tuhan dan hal-hal yang tak selesai. Sehingga, yang ada, hanya seperti di tahun-tahun sebelumnya, puasa kita berhenti di euforia bedug lebaran. Padahal sangat jelas Allah katakan “berpuasalah agar engkau menjadi orang yang bertaqwa.”

Kita dihadapkan pada sebuah era di mana di bawah arakan awan yang sama, dua kelompok saling berperang unjuk masa tentang identitas siapa yang benar, sejatinya. Ada baiknya dalam menyikapi hal ini, Ramadan datang sebagai juru selamat, nilai hirarki, atau sebuah perintah yang di satu sisinya bersifat keterpaksaan, namun ditujukan dalam rangka membentuk ruang batin yang bijaksana. Yang mengangkat kita dari polemik perang saudara untuk sejenak berpuasa akan hak. Berpuasa memakai hak untuk melawan, melegitimasi, merasa benar sendiri tanpa adanya pertimbangan dan pemahaman yang realistis. Kamu berpuasa dari pemakaian hakmu, berpuasa egor diri demi menghormati kebebesan yang lain. Begitu nilai-nilai berpuasa bekerja. Segala sesuatu hal yang seharusnya bisa kamu lebihkan, dengan pertimbangan akan sesuatu yang lebih baik, bisa kamu sederhanakan. Atau, segala sesuatu hal yang seharusnya bisa kamu minimalkan, kamu lebihkan dan mengurangi bagianmu demi kebaikan untuk orang banyak.  

Boy Riza Utama, dalam sebuah kolom yang diasuhnya di laman Riau Realita, minggu lalu, menuliskan bahwa berbahayanya generasi milenial yang terkurung tabiat “Pacaran Serasa Nikah”. Sesuatu yang dilakukan di luar kadarnya. Boy mengisahkan secara zahir tentang kejadian sepasang kekasih yang berbuat mesum di Masjid Raya Sumatera Barat (Sumbar). Namun, yang paling dicemaskan dari kejadian tersebut, juga peradaban percintaan generasi milenial sekarang ini adalah pola pikir mereka yang berada di titik harapan bahwa konstelasi-konstelasi yang terbangun megah bertuliskan paham merasa saling memiliki, kepastian yang lebih awal tentang menikah, berujung pada sikap posesif yang berlebihan, sudah bertelur di dalam kepala masing-masing sepasang kekasih itu. Atau, nahasnya, dalam percintaan, sudah benarkah engkau betul-betul mencintai kekasihmu, sudah benarkah engkau memang mencari atau menunggu seseorang yang mampu membahagiakanmu. Jangan-jangan, engkau secara tidak sadar, hanya sedang mencoba mengkalkulasikan, me-matematika-kan, isi kantong seseorang yang kautuju demi kehidupanmu yang lebih layak ke depannya. Kadar cintamu sudah kelewat batas hingga merusak nilai-nilai lainnya.

Ramadan dihadirkan, sebagai lahan untuk membangun batiniah yang lebih baik dengan meguasai dan mengendalikan diri dari keinginan-keinginan yang bersifat lahiriah. Berangkat dari Zainuddin, tokoh fiksi karangan Buya Hamka itu, kisah-kisah dan peradaban percintaan generasi milenial, sesungguhnya nilai-nilai puasa sudah seharusnya kita sebar luas jauh meninggalkan Ramadan itu sendiri. Frontalnya, kita rubuhkan dinding Ramadan untuk menerapkan nilai berpuasa di sebelas bulan berikutnya. Hingga kita mampu menerapkan segala sesuatu sesuai kadarnya. Bahkan, pada akhirnya yang kita pahami adalah bahwa Ramadan adalah tempat latihan, semacam ruang, yang di dalamnya berlaku hak prerogatif Allah berwujud kewajiban demi kebaikan di sebelas bulan berikutnya. 

***

Bertahun, berbulan, berhari, Zainuddin memenjarakan perasaan cinta di dalam dadanya. Hingga kesempatan itu tiba, Zainuddin masih sanggup memuasakan keinginan untuk memiliki yang timbul dari rasa cinta yang ia pendam. Zainuddin menggapai apa yang dimaksud dengan Idulfitri dengan memenangkan pertarungan melawan dirinya sendiri. Zainuddin menang dengan tenang. Sebab ia tahu betul, Hayati tak pernah berhenti mencintainya. Sejak dulu.*


Muhammad Irsyad Al-djaelani. Mantan santri yang menekuni dunia menulis. Saat ini bergiat di Komunitas Paragraf dan Malam Puisi di Pekanbaru. 


Berita Lainnya

Index
Galeri