Terlebih dahulu kujelaskan kepada kalian, bahwa dalam kisah ini, aku tidak menjadi peran utama.
***
Hwang Jin menatap kasihan tubuh istrinya yang setiap hari semakin kurus. Wajah istrinya itu, nampak semakin keriput dan tua dari usia yang sebenarnya—pucat pasi. Ia melihat nafas istrinya agak berat, semacam ada sesuatu yang menyumpal hidungnya dan membuat sebak di dadanya. Beberapa orang mengira, Chen Li telah minggat dari rumah. Ada pula yang mengira bahwa ia telah diceraikan, sebab istri Hwang Jin itu kini tidak pernah terlihat ikut sibuk di toko souvenir milik suaminya. Ada juga selentingan beredar, Hwang Jin menikahi seorang pegawainya yang jauh lebih cantik dari Chen Li.
Setiap hari, Hwang Jin dengan tabah merawat Chen Li. Sebelum berangkat ke toko, ia menyempatkan membasuh sekujur tubuh istrinya dengan air hangat yang telah dicampur semacam ramuan berwarna putih kental yang ia dapatkan dari seorang tabib terpercaya. Setelahnya, ia mengganti lilin aroma jeruk yang dinyalakan tak jauh dari ranjang istrinya.
Belum pernah aku melihat, Chen Li membuatkan sarapan atau santapan malam untuk suaminya. Setiap hari, Hwang Jin-lah yang membuatkan semangkok bubur, tiga kali sehari. Belum pernah terjadi lagi sebuah pertemuan di meja makan antara keduanya. Serta percakapan yang asik dan menarik dari sisa malam hingga menjelang pagi.
Tidak pernah lagi terdengar kata-kata menenangkan dari bibir Chen Li, saat Hwang Jin mendadak gusar sebab sesuatu terjadi di tokonya. Entah ketika ada pembeli yang marah-marah karena pesanannya terlambat dikirim atau segala jenis keluhan-keluhan pelanggannya yang lain. Jangankan begitu, menanyakan kabar setiap pagi-pun, tidak. Sejak sakit, Chen Li tidak banyak bicara. Ia seperti sukar untuk mengeluarkan suara. Entah apa yang menahannya. Sepanjang hari, ia hanya terkulai lemas dan hanya beberapa kali tubuhnya bergerak. Kecuali jika Hwang Jin yang membopong dan membantunya untuk berdiri.
Segala yang ada di ruangan kamar Chen Li menjadi mati. Buku-buku yang diletakkan berjajar di rak meja, menjadi jarang disentuh. Tirai jendela yang biasanya diganti seminggu sekali, kini sebulan mungkin akan masih terlihat sama warna dan coraknya. Figora berisi foto-foto pernikahannya-pun menjadi dihinggapi debu. Tidak pernah terdengar lagu-lagu terputar dari sebuah tape kuno miliknya.
Sebetulnya, Hwang Jin amat merindukan aroma wonton *1 berkuah olahan istrinya, yang kemudian diletakkan pada mangkok dan dinikmati berdua. Ia juga hanya bisa mengingat-ingat sambutan hangat istrinya sepulang ia bekerja; menikmati secangkir teh di beranda; menonton komedi berdua; menemani Chen Li menulis hanji; menyiapkan pernak-pernik menjelang Imlek; berdua memadati kota untuk menonton barongsai dan leang-leong; ataupun hal-hal yang tidak bisa tersebutkan satu persatu.
Ah segala kenangan itu teramat erat memeluk Hwang Jin.
Aku hanya berani memandang keduanya dari kejauhan.
***