Puisi-puisi Pusvi Defi

Lukisan Terakhir untuk Millan, dan 2 Puisi Lainnya

Lukisan Terakhir untuk Millan, dan 2 Puisi Lainnya
Ilustrasi. (Angelo Segarra /fineartamerica.com)
Lukisan Terakhir untuk Millan
Bruce Allender
 
Di matamu kota Honolulu serasa kebakar, seperti ladang yang disiram percikan api
Debu-debu itu hinggap di etalase ingatanmu, juga celana dalam yang kau pakai sewaktu
melepas lambai pada kekasih mayamu
 
"terkadang Tuhan itu lebih suka menatapku seorang diri, meraya sepi, lalu dengan lembut
membunuh cinta yang tidak semestinya kukecup," ucapmu lirih sebelum kereta mengantar
detak jam yang terasa tua menuju Melbourne. Kota tua yang mengeram kenangan
 
//
 
Di pantai Waimanalo, sore itu, udara gigil terlalu asing untuk  dinikmati, ombak begitu
garang, burung merak mengepak sayap di jingga yang hampir terbenam, perlahan dingin
dalam dadamu menyeruak pitam, dan sebentuk kenangan yang menyerupai
daun-daun maple jatuh tepat di keningmu. 
 
//
 
Tiga tahun berangsur lalu
di sudut ruang yang penuh redup dan sunyi
kepalamu terasa nyeri, matamu berkunang-kunang
bagai dihantam sebuah bongkahan batu besar
kau menatap ke luar jendela, angin berdesir lambat
kecamuk dalam batin semakin teriris
ketika lekat  tatap lukisan di atas dinding itu membentur kembali ingatanmu
"aku tidak ingin  terpukau pada bibirmu yang terlalu rapuh, dan binar matamu yang
memukau, sayang."  
sebab di sini telah kumakamkan jasadmu dalam genting jeruji waktu 
juga semburat air mata yang kian layu
dihantam cemburu, ihwal kerahasiaan cinta
yang kau tusuk tepat di punggung hatiku
 
jangan menangis atau pun merintih, 
sebab kisah putri tidur dan dongeng lainya adalah sebuah cerita  yang paling kubenci
dan aku tak betah sewaktu mencium bibirmu lalu dengan tergesa meracuni lambungmu
maafkan aku, Millan
terlarutlah kau dalam eraman ujung kuas dan halaman kanvas yang kupersembahkan
untukmu terakhir kali
kecammu dengan serinai kelopak mata yang
berkaca-kaca dan luapan emosi membabi buta.
 
Pelalawan, 14:54 Wib
 
 
 
Mantera Parakang
 
lelaki penganut Parakang
itu telah menanam dendam di atas pusara
Eyangnya yang telah mampus disabit 
oleh kaum Bangsawan, gumpalan darah hitam 
berkunang-kunang di atas batinya meradang
menumpas liang dendam, 
Barangkali bagai cambuk api membakar hati
 
Di malam jumat kliwon
di rentan bulan sabit 
Sebuah ritual disajikan
Rangka, sehari menjelang pernikahan
Puteri bangsawan dengan Tutu, kekasihnya.
dua tetes darah perawan 
telah ia sungguhkan
menyuruh mambang bertandang
menyilaukan taring  
melumat gadis kampung  yang terbungkus perawan
teramat rawan
 
//
 
Seraya kabut pagi menjelang,
ilmu guna-guna itu telah melekat 
di atas pangkal rambut Puteri Natisha
hingga kokok ayam melengking,
Rangka berhasil mencuri Natisha dari istana 
 
//
 
Di lereng gunung, 
Lelaki berbudak setan itu mentabiat 
sesembah yang akan ia tumbalkan 
untuk menambal ilmu gaibnya
dan Natisha yang lincah bakal ditumbal
untuk persembahan terakhir 
dengan mantra yang ia ritualkan 
 
“Manusia yang beralih rupa menjadi Serigala, 
yang menyanyikan kidung-kidung purba, 
telah menyambut tetes-tetes darah perawan Natisha!”
 
Akan tetapi, Dewa jagat batera bertakdir lain. 
sebelum semua itu terjadi, secarik pesan rahasia
di temukan Tutu di loteng Rumah Rangka,
lalu ia memecah kode-kode  Rerahasia
dalam kitab kuno ilmu Parakang,
hingga akhirnya Tutu pun berhasil menumpas
darah bejat Rangka, sebelum perawan  Natisha tumpah
 
Pangkalan Kerinci, 2016
 
 
 
Perempuan yang Menanam Api di Dadanya
 
Perempuan itu berkecak
matanya bagai bara yang meluap-luap
barangkali, seliang luka telah mengubun
menancap di lubuknya paling purba
 
Pukul dua dini hari
di patung yang tergantung
bewarna merah—serekah darah
perempuan itu telah ditawan
oleh sekumpulan buaya putih berkepala manusia
tubuhnya dicabik, di rampas kesuciannya
 
orang-orang berdoa menghilangkan kepala
dan hatinya
sepasang burung ruak mengepak
membiar tubuh perempuan itu dilahap derita.
 
Di luar—senja terbenam
langit pitam, malam bertandang
angin datang
menghantam bagai tajam belati
kendati perawan dirampas habis
namun desir dendam tetap menyala
di lubuk—perempuan yang membara api 
di dadanya
 
Pangkalan Kerinci, 29/09/16
 
 
 
 
Pusvi Defi. Wanita kembar Kelahiran Medan, 23 Juni 1994, menyukai seni Teater dan Sastra Beberapa Puisinya dimuat di laman: Rakyat Sumbar, Sumut Pos, Basabasi.co, koran Harian Cakrawala Makassar, Batam Pos, RiauKepri, Detakpekanbaru, Tetas Kata, Banjarmasin Post, Rakyat Sultra. Penyair juga memenangkan beberapa Lomba Baca puisi diantaranya: Juara 1 Baca puisi Se-Riau, Juara 1 Baca puisi Bulan Bahasa UNRI,  Juara 1 Baca puisi UR, Juara 1 Baca Puisi Gelora Puisi UKM-Batra. Karya-karyanya pun termaktub dalam Himpunan Puisi dan antologi Cerpen, Bergabung di Komunitas Pena Terbang (Competer), Kenduri Puisi Pekanbaru. Penyair berdomisili di Riau- Pekanbaru.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri