Cerpen Kei Ra

Panti Asuhan yang Tidak Pernah Terbayangkan

Panti Asuhan yang Tidak Pernah Terbayangkan
Ilustrasi. (artclassinsingapore.wordpress.com)
WAKTU menari lambat, dua jam dengan kondisi yang sama. Terus mengutuk Tera dan sekelumit benang kusut di dalam kepala. Perempuan berambut hitam itu--sebenarnya--ingin berteriak, mengutuk semua omong kosong yang tidak pernah dia sangkakan. Delima memang sudah mencium bumi, menari tanpa mencipta gerak, tengah menunggu sang petani untuk memungut dan mengajaknya bertamasya. Sayang, Tera bukanlah delima yang hanya sanggup menanti.
 
“Ayah kan sudah bilang, kamu tidak punya kewajiban apa pun. Tinggalkan dia, hiduplah seperti orang normal seusiamu!” tekanan suara lelaki berkepala lima di depan Tera meninggi.
 
Kini hening mendominasi. Gadis berambut hitam tidak mampu menyuarakan banyak sanggahan dari kepalanya. Dalam posisi seperti ini memang serba salah; menyatakan pendapat disangka menjawab perintah orangtua, tidak menjawab pun juga dianggap tidak benar. Lelaki itu pasti mengira kalau Tera tak mempedulikan ucapannya. Padahal, ada sembilan macam cara yang tengah gadis itu upayakan menjadi bahasa terhalus, bagi lelaki separuh baya di depannya.
 
“Kamu tidak mendengar Ayah?”
 
Tepat sasaran, kan? Maksud hati tidak ingin menjadi anak durhaka  justru mendapat hadiah tambahan. Manis sekali terik matahari siang ini.
 
“Aku dengar, Yah.”
 
“Bagus. Jadi, kapan kamu akan membawanya ke panti asuhan?”
 
“Dia tidak akan pergi ke mana pun,” Tera berucap mantap.
 
***


Berita Lainnya

Index
Galeri