Hydra
Belum sempat kata berkata
Laut menjadi asalku
Senja yang terbenam di sudut sendu
Memecah buih ombak waktu
Dalam gelombang yang mabuk
Rindu mengendap di dasar
Laut, sungai, pasir, atau
Yang melumut pada dinding mulut gua
Pekat-gelap ini berharga
Tebing curam samarkan duka
Walau, tercipta sebuah sekat rindu
Kuterima segala rupa waktu
Aku menyusuri garis takdir
Berkelana, dan diriku yang lain
mengendap
dalam senyap
sebuah doa
bukan maksudku menyalah takdir
umpat serapah sungguh kutelan
kehangatan itu yang hadir
mendekap bagian tubuh paling rentan
kelak,
pada sendu yang bercabang
dan waktu yang membeku
biarkan aku terkubur di laut
garis pantai, menderu temu
lepaskan, hawa itu
panas rindu
atau, dingin menjadi bagian dariku
mungkin, ada yang tinggal
dan tanggal
dan engkau yang melambai
tepat di bibir labuh
meski aku berdiri kembali memandang semu
padamu yang pergi, aku nyata berselimut ragu
sekarang, dingin yang tersekap
segala rindu dan pilu yang tersekap
padaku, sesak haru memaksa tumbuh
runtuhkan tegap-asa tubuh
kini, dunia luas dan jelas di antara desir pantai
tapi, hidupku yang fana dan terkutuk
nadiku, diendap darah para dewa
tak mati juga, segala luka!
Pekanbaru, 2017
Phoenix
Dari air mataku engkau membasuh luka
Sebelum sempat tanganku menyentuhmu;
Angin yang tak sampai, desir lara
Dengan cahaya merah yang ragu
Air mataku ialah sumur tua
Dengan katrol aus dan tali yang hampir putus
Begitu rapuh, untuk pengelana yang dahaga
: resah yang enggan menjadi asmara
Berenanglah, atau teguklah walau sebentar
Rasakan tawar akar yang menjalar
Terendap dalam sepi segala bayang
Dalam timbunan tanah gersang
Dari air mataku engkau membasuh luka
Sebelum sempat waktu memburu
Sebelum resah menjadi asmara
Meski, aku yang telah jadi abu
Pekanbaru, 2017
Randai
Hepta! Menarilah di antara malam dan dingin
Hingga peluh mengalir di sekitar kulit
Dan bias lampu menuntunmu, ke alam lain
: tempat rindu yang menderu, rindu yang semu
Berikan ruang pada luka
Hingga kembali semula
Hepta! Kembalilah,
Luka terus ada, dalam putaran waktu
Hepta! Menarilah di antara asing dan sepi
Hentakkan kakimu pada nada terakhir
Hingga getarnya, menuntunmu kembali
: tempat segala luka malam berakhir
Di balik bayang waktu, semu
Pekanbaru, 2017
Pada Sebuah Kafe
Di sekat waktu, pada sebuah kafe
Detik terus laju
Padahal baru bertemu
Hari terpenggal, pergi
Hanya kenangan tertinggal, di sini
: rimbun rindu disiram cahaya matahari
Kita sama menuju senja
Berdiri, di antara kepungan bising
Dan kecupan dingin waktu
Matahari patah di ujung nadi kota
Sinarnya dari ufuk jalan
Pecahannya mengudara
Dan sedikit menempel
Di sepasang bola mata indahmu
Meski, kita berbeda pada sebuah simpang
Mungkin rindu, digenggamnya aku oleh waktu
Hari ini, walau tanpa sendu
Hari lalu, masih menyusu
Pada pagi yang diam-diam endapkan sepi
Dan malam yang menyulam riuh rindu tanpa tepi
Di sekat waktu, pada sebuah kafe
Kita masih tak saling kenal
Pekanbaru, 2017
Syair Laut Bimbang
Karang telah memecah air
Yang berupaya menjangkau pantai
Dan menggores sepiku ketika sampai
Ada ombak, bagai asmara
Lembut menyentuh, tapi mengandung
Kecipak pilu, dan sepi
Yang berusaha melukai
Membuih rindu di jiwa
Dan asmara terus mendesir
Luka itu, mengendap di pasir
Lalu, menyerpih menuju laut.
Pekanbaru, 2017
Eko Prasetyo lahir di Pekanbaru, Riau, 21 September 1993. Mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Riau Pekanbaru. Bergiat di Malam Puisi Pekanbaru.