Resensi Buku Perempuan yang Dihapus Namanya

Rekonstruksi Gender dalam Sejarah Kitab Suci

Rekonstruksi Gender dalam Sejarah Kitab Suci
Buku Perempuan yang Dihapus Namanya karya Avianti Armand.
Judul: Perempuan yang Dihapus Namanya
Penulis: Avianti Armand
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Cetakan Pertama Januari 2017
ISBN: 978-602-0337-135
 
Rekonstruksi Gender dalam Sejarah Kitab Suci
Oleh: Ferry Fansuri
 
“...Perempuan tanpa kata-kata karena Tuhan telah menghapus bahasa dari bibirnya...” hal 19
 
Sepenggalan kata dalam bab Perempuan yang dihapus namanya kumpulan puisi Avianti Armand, pemenang Kasula Sastra Khatulistiwa 2011 ini menandakan bahwa Tuhan menjadi  seorang yang pencemburu, iri dan marah hingga menghapus nama perempuan itu dalam kitab.
 
Ada nama Hawa, Tamar, Batsyeba dan Jezebel yang berusaha dihilangkan dalam kitab perjanjian lama. Membaca kumpulan puisi Avianti yang juga seorang arsitek ini membuat kita masuk dalam labiran mini fiksi dengan puisi naratif. Avianti berusaha untuk menafsirkan dan merekontruksi sendiri dalam kata-katanya.
 
“...Mereka menggosok lembar-lembar papirus tua untuk menghapus perempuan itu dari Kitab...” hal 18 
 
Nama-nama berusaha dihapus keberadaan dalam kitab tapi Avianti berusaha menjabarkan dalam sebuah prosa puisi. Terdapat 5 chapter antara lain perempuan yang dihapus namanya, Hawa, Tamar, Batsyeba dan Jezebel. Kesemua nama perempuan diibaratkan penggoda dan sundal yang tak perlu diketahui keberadaannya. Avianti bermain-main dengan diksi vulgar agak sedikit nakal.
 
“Seorang lelaki sudah menunggu untuk menunggangimu” hal 37
 
“Lelaki itu pun menunduk, menjulurkan lidah dan melingkari puting dengan ujungnya yang runcing”
 
“Lalu seperti bayi mengulumnya” hal 40
 
Dalam Tamar menantu Yehuda, istri dari Er terlihat menjadi obyek yang diperlakukan sesuai keinginan pria. Er dibunuh Tuhan karena jahat, sebagai penggantinya Onan saudara Er. Tapi Onan enggan memberikan keturunan pada Tamir hingga setiap kali bersetubuh selalu membuah maninya diluar. Yehuda sang ayah merasa bahwa Tamar ini pembawa sial membunuh 2 putra, maka diusir Tamar kembali orangtuanya.
 
Perasaan sakit benci Tamar membuat siasat agar dapat keturunan dari Yehuda jika tidak dapat dari putra-putranya, menyamar sebagai pelacur Tamar memperdaya Yehuda
 
“Tak ada yang salah, ini bukan zinah. Cuman seorang laki-laki dan sundal di sebuah ruang sempit yang menolak sinar” hal 47
 
Tamar mengandung, Yehuda menuduh menantunya berzina tapi tak sadar dialah yang berzinah dan mau membakar Tamar. 
 
Tak berbeda dalam chapter Batsyeba, nama perempuan satu menjadi merusak kemasyhuran Daud. Godaan wajah molek Batsyeba, membuat Daud rela “membunuh” Uria orang het itu dengan menempatkan di garis terdepan perang agar bisa menikmati Batsyebar 
 
“Menjelang pagi, ia pergi. Orang-orang tahu, Uria telah mati sejak ia terbang, keluar dari gerbang Jerusalem” hal 60
 
Dalam puisi Jezebel, ratu Israel pemuja berhala Baal membuat Tuhan marah akan tidak kepatuhan. Bahkan Tuhan menjatuhkan wabah kelaparan dan membunuh ribuan hanya karena ulah seorang perempuan yang tak mau bertekuk lutut pada-Nya. Sebuah pertarungan tak imbang membuat Jezebel terbunuh tragis
 
“Dicincang anjing daging Jezebel tinggal kepala dan kedua kaki untuk santapan malam nanti” hal 70
 
Nasib dan nama Jezebel dikaburkan sebagai perempuan sesat menembar fitnah dan khianat, mati tragis dengan tubuhnya menjadi pupuk di kebun luar Yizreel   
Ada yang unik dari puisi Avianti ini, ada satu nama perempuan ataupun itu disebut hantu malam. Ditemukan dalam gulungan laut mati, perempuan sudah ada sebelum Hawa diciptakan bersamaan Adam dari debu di hari ke-enam. Tapi nama ini terlarang
 
“Nama rahasia, nama-nama serupa Tuhan yang melekat pada lidah laki-laki yang mabuk  : lilith,abitu, abizu, hakash, avers hikpodu, ayalu, matrata”
 
“-nama-nama terlarang, yang pantang diucap, nama-nama yang akan hilang, hanya tinggal bayangnya di belakang kepala tempat sembunyi
Yang berhala dan percaya” hal 20
 
Pembacaan ulang Avianti dalam menguak peran gender di buku kumpulan puisi dalam sejarah kitab suci akan berbanding terbalik di negeri ini. Kuatnya fundamentalisme agama dan politik indentitas akan jadi bumerang, tapi jika dipandang sebagai sebuah karya sastra akan menajdi penyegaran khasanah sastra kita. Karya Avianti ini cukup untuk dinikmati tanpa melakukan penggeseran sosial-budaya-agama-politik didalamnya. *
 
 
 
Ferry Fansuri kelahiran Surabaya adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair dan ikut dalam pendirian majalah kampus Situs dan cerpen pertamanya "Roman Picisan" (2000) termuat. Puisi-puisinya masuk dalam antalogi puisi festival puisi Bangkalan 2 (2017) dan cerpen "pria dengan rasa jeruk" masuk antalogi cerpen senja perahu litera (2017). Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional. Dalam waktu dekat menyiapkan buku antalogi cerpen dan puisi tunggal.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri