Cerpen Ken Hanggara

Bertamu ke Rumah Maria

Bertamu ke Rumah Maria
Ilustrasi. (Willem de Kooning/tate.org.uk)
TUBUHKU berdarah-darah dan aku tidak mau membuat masalah lagi. Tadi pagi aku mungkin masih bisa bersombong, tetapi barusan nyawaku nyaris melayang, dan suatu perasaan takut segera menyergapku. Anak-anakku masih sangat kecil, dan aku pun juga masih menyayangi istriku. Jadi, kuputuskan menyudahi semua ini. Kesombongan hanya untuk orang-orang yang ingin mati cepat. Aku tidak ingin mati cepat.
 
Aku mungkin masih bisa mencari sedikit peruntungan di kampung sepi ini. Untung saja, setelah berlari begitu lama, dengan mengerahkan segenap tenaga, dapat kuhindari serbuan massa yang marah gara-gara kucuri sepeda motor bagus di depan warung nasi. Aku tidak hafal kawasan situ, karena memang cukup jauh dari rumahku. Sengaja kucari target di titik yang tidak memungkinkan istriku tahu aku sampai mencuri hanya untuk menutupi ketidaksanggupanku membiayai kebutuhan dapur.
 
Aku dipecat sebulan lalu, dan istriku masih mengira aku bekerja sebagai satpam di sebuah pabrik benang. Pabrik itu seharusnya sudah sejak lama gulung tikar, dan ketika kenyataan ini terjadi, terpaksa aku kehilangan satu-satunya sumber kehidupan keluarga kecilku. Aku pontang-panting ke sana kemari mencari kerja, tetapi tidak ada kabar baik kudapat.
 
Karena tidak sabar, suatu hari kucoba mencuri benda berharga di pasar. Level yang terendah, sejenis makanan tertentu yang dapat dibeli oleh bocah kelas enam SD, seumur sulungku. Sekali dua kali berhasil, pada mulanya aku merasa berdosa, tetapi setelahnya tidak sama sekali. Lalu kucoba mencuri barang yang sedikit lebih mahal, dan aku bisa. Aku memang bisa mencuri. Kulakukan itu lagi dan lagi, sambil terus menaikkan level barang curianku. Hasilnya lumayan juga. Sementara menunggu panggilan kerja di luar kota, aku masih bisa mencuri untuk menambal kebutuhan kami.
 
Tentu saja istriku tidak harus tahu soal ini, apalagi anak-anak. Jadi, setiap hari aku masih berangkat kerja dengan kostum satpam. Betapa munafik. Seragam satpam yang kukenakan seakan memberiku rasa gerah dan gatal gaib, padahal seragam itu bersih dan baru disetrika. Barangkali ia menolak berbuat munafik, tetapi aku tidak bisa bila tidak munafik. Itu memang harus kulakukan, meski terpaksa, agar anak istriku tidak kecewa.
 
Aku sendiri berjanji, setelah semua itu selesai, maksudku setelah mendapat kerja di mana pun, aku akan berhenti mencuri. Itu memang sudah jadi semacam kesepakatan di antara aku dan sisi baik dalam diriku. Aku berjanji mengganti seluruh dosa mencuri ini dengan memberikan sebagian rezekiku kepada orang-orang tidak mampu. Itu pasti akan kulakukan jika kelak aku mendapat pekerjaan. Aku tidak tahu apa kata ulama di desaku, tetapi aku akan tetap melakukan sesuai tekadku ini.
 
Sayangnya, belum sampai tujuanku tercapai, aku tertangkap basah dan dihajar oleh sekelompok pria. Aku ditendang dan dilempari balok kayu sampai kepalaku bocor dan pandanganku agak berkunang. Sejenak aku yakin aku mati, tetapi aku masih hidup. Aku masih dapat merasakan sakit di badan dan kepalaku. Aku tidak tahu bagaimana akhirnya aku bisa lari dengan sisa tenagaku, menerabas hutan gelap dan hilang dari sasaran amuk warga.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri