Perkembangan Seni di Lombok Timur (Bagian 2)

Perkembangan Seni di Lombok Timur (Bagian 2)
YS. Memeth
Oleh: YS. Memeth
 
INI adalah bagian kedua dari artikel sebelumnya berjudul Seniman di Kampung Siluman. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang Pengaderan dan Apresiasi
 
Pengaderan dan Dokumentasi
 
ka•der n 1 perwira atau bintara dl ketentaraan; 2 orang yg diharapkan akan memegang peran yg penting dl pemerintahan, partai, dsb;
 
pe•nga•der•an n proses, cara, perbuatan mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader: untuk pengembangan kesenian perlu adanya ~ (KBBI off line)
 
Pengaderan dan dokumentasi bagi penulis adalah sebagian kecil dari apresiasi atau upaya menceritakan kepada generasi selanjutnya baik melalui tutur ataupun tulis sebagai sebuah pengetahuan, bahwa NTB sempitnya Lombok Timur memiliki dramawan, sineas, aktor dan apapun nama sebutan bagi para pelaku seni dan penulis.
 
Hilangnya generasi sebagaimana disebut dalam tulisan awal pada setiap tahunnya serupa hujan musiman, datang pelan kemudian deras dan hilang begitu saja “tanpa jejak”—sangat langka dari kalangan masyarakat ataupun pejabat berkompeten melihat kaki-kaki hujan yang tertinggal di bumi dan memberi kehidupan bagi semua mahluk—serupa itulah seniman bagi penulis, memberi pencerahan, kehidupan, pendidikan melalui kecerdasan berbuat dan atau tulisan-tulisannya.
 
Tentang apresiasi
 
 “apresiasi/ aprésiasi/ n 1 kesadaran terhadap nilai seni dan budaya; 2 penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu” (KBBI offline)
 
“Tuhan itu indah dan menyukai ke indahan” (hadits)
 
Penghargaan bukan berarti harus “membangun” gedung kesenian dan menjadikan seniman sebagai pegawai negeri. Penghargaan bukan berarti dekat dengan uang.
 
Sewaktu saya SMA dan belajar tentang puisi, kami diajak membicarakan tentang puisi “Aku” (Chairil Anwar) dan guru saya menganggap, bahwa apa yang dipahami tentang puisi tersebut adalah sebuah kebenaran.
 
Setelah sempat berlangganan dengan Majalah Sastra Horison (sekarang sudah hilang) kemudian aktif dengan beberapa diskusi pinggiran tentang sastra barulah kemudian saya mengerti, pemahaman saya semasa SMA menjadi samar. Bahwa sastra adalah sebuah ruang bebas interpretasi dengan sudut pandangnya dan tentu dengan teorinya “Jangan hanya membicara karya tanpa tahu sosiologi dan segala hal kemungkinan penyebab sebuah karya lahir” (alm. Hamid Jabar) sewaktu diskusi lepas di Lombok Timur bersama kawan-kawan Teater Bening Lombok Timur.
 
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri jika ruang apresiasi sangat dibutuhkan. Jika kita belajar dari wilayah tetangga terdekat hingga terjauh, semisal Bali, Jogja, Riau dan beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki ruang apresiasi sangat luas sehingga mampu menjadi bagian aset kekayaan warisan budaya.
 
Perjalanan kesenian dan kesusastraan beberapa wilayah dapat dilacak dari terbitan leksikon dan beberapa buku karya anak-anak daerah yang menjadi bahan bacaan wajib bagi masyarakat terutama peserta didiknya, hingga tercipta harmonisasi antara pengetahuan tentang budaya ataupun teori ruang apresiasi dan pengetahuan tentang penulis lokal mutlak terjadi.
 
Maka pertanyaan dari semua ini adalah, di manakah ruang apresiasi bagi kesenian di Lombok Timur? Adakah ruang tersebut? Tanpa embel-embel tender proyek—
Salah satu yang saya tahu memberikan ruang apresiasi walaupun “masih kecil” adalah semisal Suara NTB dengan kolom sastra, kemudian Arena Budaya, Tama Budaya, Warjek dan entah apa lagi nama-nama tempat sebagai ruang apresiasi—dan untuk Lombok Timur: Majalah Sastra Kapass (yang harus tergerus waktu karena masalah donatur) kemudian media ataupun komunitas-komunitas kecil yang terpinggirkan dan terkesan “Tidak” pernah mendapatkan perhatian pemerintah. 
 
Jika hal ini terus dibiarkan, maka saya menjamin “mati”nya kesenian di Lombok Timur tercinta sudah sangat dekat karena terkena penyakit sindrom “malas” menulis, malas berkarya. Sebab budaya membaca yang terbilang sangat rendah, imbas dari semua ini kehancuran sebuah budaya, bahkan sebuah wilayah. Disebabkan penggenerasian yang tidak jelas dan dokumentasi paling “kacau” serta apresiasi se-ujung jari, kita bisa membuktikannya dengan mengunjungi perpustakaan-perpustakaan dan bertanya, berapakah buku hasil karya anak bangsa khususnya Sasak? Lebih sempit lagi buku karya anak Lombok Timur? Mengapa pemerintah lebih menjejal perpustakaan dengan buku-buku luar? (bukan Orang Sasak).
 
Pola pikir dari masyarakat Lombok Timur sebagian besar bahwa apresiasi hanya sebatas memberikan modal untuk cetak, sedangkan untuk apresiasi semisal bedah buku atau semacam promo ke sekolah-sekolah daerah sangat langka terjadi. Pun, jika hal tersebut harus terjadi, harus melalui sistem birokrasi yang super rumit bin demit bin kerudit—pengalaman saya selaku orang yang pernah memasuki dunia pendidikan, salah satu alasan mengapa bedah buku sulit dilakukan adalah karena dikhawatirkan mengganggu proses pembelajaran, bahkan ada yang lebih ekstrim adalah pertanyaan yang mengatakan, “apa pentingnya, bukankah siswa tidak mampu untuk melakukan itu?”.
 
Ihwal pertanyaan ini, bagi penulis tidak lain disebabkan karena pihak sekolah tidak dapat “cipratan” dari biaya cetak atau bedah buku. Sekali lagi ini masalah pola pikir yang sudah mendarah daging di kepala para pendidik bahwa segala kegiatan sama seperti rapat dewan. Datang, Dengar, Diam dan Duit.
 
Untuk melakukan pembuktian yang kongkrit, kita bisa bertanya kepada orang-orang yang mengaku berpendidikan, siapakah penulis? Siapakah Pelaku Drama? Siapakah di Lombok Timur yang masih eksis dan tetap bergerak mempertahankan bukan selaku “Pembina”—budaya mereka tanpa indikasi dan kepentingan finansial—hanya sebuah ketulusan atas nama membanggakan daerah melalui kesenian dan tulisan. Lalu pertanyaan selanjutnya, berapa judul buku yang mereka tahu hasil karya anak-anak Sasak?
 
Pertanyaan ini bisa jadi akan terjawab, bisa jadi tidak terjawab. Bahkan yang lebih buruknya adalah mereka “tidak” tahu sama sekali—sebuah daftar yang akan memperpanjang catatan buruk pendidikan terutama apresiasi. ***
 
 
YS. Memeth. Aktif di Komunitas Jalan Hening, komunitas yang bergerak dalam seni menulis dan akting.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri