Seniman di Kampung Siluman (Bagian 1)

Seniman di Kampung Siluman (Bagian 1)
YS. Memeth
Oleh: YS. Memeth
 
ENTAH kapan Lombok Timur akan memiliki Dewan Kesenian dan bisa dikatakan kesenian adalah hasil orang-orang terpinggirkan walaupun pada kenyataannya seni sering menjadi bahan "buangan". Seni sering dianggap sebagai barang "rongsokan", tak sedikit dari para seniman Lombok Timur harus menggantungkan mimpi dan harapan mereka.
 
Jika di beberapa daerah bisa menjadi aset yang begitu mahal bagi para turis luar maupun dalam yang akan menjadi bahan hiburan, namun lain dengan daerah ini, di setiap ujung jalan para seniman berkreasi, berbuat, bertindak namun ahirnya kandas pada sebuah kenyataan bahwa mereka tidak bisa hidup dari sekadar berkesenian. Mungkinkah Lombok Timur senimannya akan mati ataukah memang seni di lombok timur tak mendapatkan ruang sebagaimana seniman di kota-kota lain yang bisa hidup melalui kesenian
 
Entah kapan ada orang-orang yang memiliki kepedulian yang besar terhadap dunia seni dan seniman. Lombok Timur sangat kaya dengan seni, semisalnya saja Cilokak, Gendang Beleq, Rudat, Wayang, sanggar tari, sanggar sastra, sanggar drama dan lainnya yang pada ahirnya mereka harus tergerus. Tak bisa dinafikan kalau pandangan orang dengan kesenian ini adalah
milik para pemabuk, milik 'gelandangan'. Lantas, kapan mereka bisa menjadi pekerja kalau lahan mereka saja tidak dipedulikan.
 
Lombok Timur sebagai bagian dari wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah wilayah yang masih berusaha untuk berkembang dan berdiri dalam segala lini, termasuk kesenian. Lebih sempit adalah sastra dan drama. Jika ada orang yang berpendapat bahwa Lombok Timur tidak memiliki sastrawan atau penulis, sesungguhnya adalah pendapat yang keliru.
 
Nama yang paling akrab saya dengar sejak kecil adalah Tuan Guru Kiyai Haji Zainul Abdul Majid (alm “pendiri NW”) dengan karya semisal: Nadzom Batu Ngompal, Wasiat Renungan Masa 1 dan 2 dan lainnya berkisar tahun 1960-an, kemudian melompat pada era sekitar lebih  kurang 1980-an ada nama: L. Tamrin (alm), H. Umarul Faruk, kemudian 1990-an Bq. Hikmah Widia Wati, Gazali, ARR Sayaf Ali, dengan karya naskah teater dan puisi, kemudian melompat 2000-an lahir generasi baru dengan beberapa karya puisi, cerpen dan esainya, semisal: Fatih Kudus Jaelani, Rifat Khan, Ahmad Suja’i, dan lainnya. 
 
Dalam tulisan ini, penulis tidak berani meninggalkan kata “an” pada setiap tahunnya karena memang, sampai saat ini belum ada data kongkrit yang penulis temukan sejak kapan nama-nama tersebut mulai mencuat menimbulkan diri ke publik bahwa mereka adalah sebagian dari orang-orang yang bergiat dalam kesenian juga sastra, yang ada hanyalah bahwa setiap melahirkan karya tidak ada upaya pengarsipan ketat.
 
Tidak cukup sampai di sana, bahwa beberapa kegiatan sebagai pembuktian pergerakan kesenian dan sastra di Lombok Timur dengan para seniman luar biasa sangat serius untuk memajukan serta menjadikan kesenian sebagai bagian terpenting dalam hidup, mereka melakukan banyak kegiatan baik dengan penyair, seniman, budayawan luar daerah, kegiatan tersebut semisal saja Sastrawan Berbicara, Mahasiswa Bertanya (SBMB) oleh Majalah Horison oleh kawan-kawan sanggar Bening Lombok Timur 1996 bentukan Dr Fauzan Fuad, FK Master “Forum Komunikasi Masyarakat Teater” 2000-an bentukan H. Umarul Faruk (yang ahirnya mati karena digerus waktu) dengan puluhan kegiatan tanpa dokumentasi rapi.
 
Tidak hanya terbatas pada kegiatan tersebut, sudah banyak dari beberapa generasi yang mewakili Lombok Timur dalam beberapa kegiatan, semisal: Temu Teater Kawasan Timur Indonesia (Katimuri), Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) Jambi, temu sastrawan Nusantara Melayu Raya (NUMERA). Yang artinya bahwa, para pelaku seni di Lombok Timur memang serius ingin memperkenalkan kesenian dan sastra yang tentu akan berimbas kepada pengenalan budaya Lombok Timur di luar daerah. Ini hanyalah sepenggal nama pelaku dan kegiatan yang penulis ketahui sampai saat ini.
 
Maka, yang menjadi pertanyaan penting adalah, mengapa terjadi lompatan terhadap setiap generasi? Apakah tidak ada usaha pengkaderan? Ataukah memang tidak ada dokumentasi yang jelas?. ***
 
 
Istilah Lompatan:
 
lompatan n 1 hasil melompat: ~ yang kedua mencapai ketinggian 1,90 m; 2 perbuatan (hal, cara, dsb) melompat: ~ nya sangat indah; 3 tempat melompat; sesuatu yg dilompati: rintangan-rintangan itu untuk ~ kuda;
 
ter·lom·pat v 1 tiba-tiba atau tidak sengaja melompat; meloncat: mendengar berita tt kelahiran anaknya yg pertama, ~ lah ia dr tempat duduknya krn gembira; 2 ki terlanjur terucapkan (dengan tidak sengaja atau di luar kesadarannya): kata-kata itu ~ begitu saja dr mulutnya; (KBBI off line)
 
Jika dilihat lebih teliti, antara tahun 1960, 1980, 1990 dan 2000 berarti tahun 1961 hingga 1979 kemudian 1981 hingga 1989 kemudian 1991-1999 terjadi “lompatan” atau kekosongan generasi untuk melanjutkan dan mempertahankan eksistensi keberadaan kesusastraan Lombok Timur karena memang tidak ada dokumentasi yang kuat dan jelas tentang perjalanan kesusastraan tersebut. Selain masalah tersebut, memang pada masa-masa kekosongan itu tidak ada lagi nama-nama yang muncul ke permukaan sebagai seorang generasi yang tertarik dengan kesenian dan kesastraan.
 
 
YS. Memeth. Aktif di Komunitas Jalan Hening, komunitas yang bergerak dalam seni menulis dan akting.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri