NAMANYA Reina. Lebih akrab dengan sebutan Rein. Pindahan dari Jakarta. Resmi jadi siswi di sekolah ini sejak Agustus lalu, karena orangtuanya dipindahtugaskan ke kota ini. Ia berdandan sama seperti anak SMA pada umumnya. Lebih sering menguncir rambutnya—kuncir kuda. Menurutku, kadang-kadang ia bisa berdandan ala perempuan feminim, bisa juga berdandan sedikit maskulin hanya karena sering kutahu dia gabung main basket pas jam istirahat terakhir.
Tentang Rein, nggak sedikitpun terendus gelagat anak nakal. Tapi ia agak cuek. Awalnya, aku berpikiran kalau dia sedikit angkuh, sombong. Beberapa kali saat terlibat obrolan denganku, ia hanya menanggapi seperlunya. Kupikir ngobrol dengannya harus dengan gaya khas anak ibukota. Lo gue, begitu. Ternyata enggak. Aku sungkan mengajaknya bergurau. Kadang-kadang, aku jadi kikuk kalau pas kukeluarkan jurus-jurus joke saat di forum dan cukup Rein yang nggak ketawa. Ya meskipun, aku nggak se-piawai seorang pelawak. Kadang dia cuma senyum, dan buatku itu tanggapan yang terlalu datar.
Rein selalu banyak bicara saat diberikan kesempatan untuk memberikan usulan saat rapat. Akan segera menyanggah kalau misal ada usulan teman yang kurang pas. Sayangnya, memang aku nggak sekelas dengannya. Rein di kelas XI Bahasa 1. Sedangkan aku di XI Bahasa 3.
Aku hapal, setiap Jumat Sabtu dia datang terlambat. Datang diantar oleh seorang perempuan seumuran penjaga perpustakaan sekolah. Pulang sekolah dengan naik angkot. Tapi, setiap Selasa dan Kamis ia berjalan kaki sambil menenteng kresek hitam ke arah terminal.