Oleh: Nuraz Aji
Dari judul sudah nampak usaha memperindah bunyi akhir, Jakarta/ Jalan/ Jalan/ Jakarta//
Begitulah Puisi Putu Fajar Arcana atau yang biasa dipanggil Can oleh teman-temannya, pada halaman ke sembilanpuluh tiga pada buku puisinya yang berjudul Manusia Gilimanuk bagian dua Jalanan Tokyo(1998-2010). Bagian pertama adalah Bilik Cahaya yang merupakan puisi-puisinya pada 1991-1997.
Berpikirlah tentang Jakarta/ yang berpendar/ pendar/
di silau kaca apartemen// Kau akan temukan kota terkapar/
di bawah semprotan knalpot bus-bus tua// Kau akan kenangkan/
kota yang meringkuk seperti gelandangan rumah-rumah kardus//
Apa yang bisa kita rayakan/ kawan?// Genangan air sehabis hujan membayangkan banjir/
yang tak pernah usai?//
Kendaraan-kendaraan seperti kalimu yang macet/ hitam pekat/
---menghamburkan karbondioksida//
Pada bait pertama, nampak kerja keras Can dalam membentuk sebuah tipografi yang cukup dibilang bebas-kontemporer dengan tanpa melupakan upaya penyisipan konstelasi yang tidak terengah-engah. Buatlah pemikiran tentang Kota Jakarta yang ketika malam banyak cahaya lampu berulang kali, sampai pagi masih berpendar, pada silau kaca sebuah apartemen, kau akan menemukan Jakarta terkapar—terbaring lemah tak berdaya di bawah gelap nun pahitnya semprotan knalpot bus-bus yang tidak lagi berusia muda. Kau akan memberikan kenangan pada Jakarta yang pasrah seperti orang gelandangan yang tinggal di rumah-rumah kardus. Apa bisa kau menjadikannya sebuah pesta perayaan macam upacara, teman? Air yang menggenang setelah hujan reda, menimbulkan sebuah tanda-tanda banjir yang tidak akan pernah surut? Motor, mobil, bus, truk dll seperti sungai kecilmu yang alirannya macet—tersendat-sendat sampah, dengan warna air yang hitam dan pekat –kental keruh membuang-buang karbondioksida—zat kimia berbahaya bagi pernapasan.
Kau ada di bagian mana saat kotamu ricuh/
saat jalan/ jalan dipadati demonstran dan para penjarah/
yang dengan santai menguras seluruh inti dari kemanusiaan kita//
Atau kau sedang meratapi nasib/
di antara derap ribuan serdadu/
yang letih lalu kalap selepas senja//
Di bait kedua Can mencurahkan sepenuhnya pergolakan batin yang ada di dalam dirinya. Dengan bertanya kepada kau tanpa menyebut nama. Kau ada di belahan Jakarta bagian mana ketika jalanan ramai oleh para pendemo dan para pencuri yang tanpa hati mengambil semua dari jiwa manusia kita? Apa kau lagi berdiam seorang diri menatap wajah nasib atau takdir di tengah-tengah ribuan serdadu yang kelelahan sampai kalap gugur di medan? Pertanyaan-pertanyaan ini seperti membangun sebuah relasi tersendiri dengan pembaca.
Jakarta/ panggilkan aku satu pengemis tua yang tertidur/
seusai berebut sampah di bawah jam kota// Berilah ia/
pengharapan tentang esok dengan matahari/
yang tiba-tiba tinggi/
melintasi puncak menara/ Sementara saat purnama udara mampat/
sebab bulan tak sempat memanjat dahan/ terhalang/
bayangmu yang angkuh//