Cerpen Teenlit Sulistiyo Suparno

Sunset Itu Untukmu

Sunset Itu Untukmu
ilustrasi. (Leonid Afremov)

 

RUMAH di lahan bekas rawa?
 
Lusi sebal karena papa membeli rumah di real estate yang tak jauh dari pantai itu. Apa enaknya tinggal di kawasan yang semula rawa-rawa? Bagaimana kalau tiba-tiba rumah mereka amblas atau dihantam Tsunami?
 
“Jangan remehkan daerah ini. Papa sudah lihat master plan-nya. Sepuluh tahun lagi tempat ini akan jadi kawasan elite,” kata papa.
 
Sepuluh tahun lagi? Sehari saja sudah bikin Lusi stres. Kawasan ini masih sepi, rumah juga baru ada beberapa, di sekeliling masih banyak lahan kosong. Bahkan masih ada lahan yang berupa rawa, belum ditimbun tanah.
 
Bila malam tiba, suara kodok bikin Lusi tak bisa tidur. Di antara kodok itu pasti ada ular yang siap menerkam. Bisa jadi, suatu saat ular itu akan mampir ke kamar Lusi melalui jendela. Hiiii...
 
Ini bukan real estate! Ini pedalaman Amazon!
 
Ini pasti karena Om Hansen. Mantan teman kuliah papa yang arsitek dan developer itu pasti telah memengaruhi papa untuk tinggal di real estate menyeramkan ini.
 
Memang sih Om Hansen juga punya rumah di sini, tapi hanya disinggahi setiap akhir pekan saja. Seperti villa. Selebihnya, Om Hansen tinggal di rumahnya di selatan kota, dekat bukit hijau, damai, nyaman.
 
Papa sudah dikibuli Om Hansen. Tapi papa tenang-tenang saja. Sudah begitu, dapat dukungan dari mama dan Kak Aldo lagi. Huh!
 
“Asyik, kok. Kita bisa lihat sunset dari jendela kamar atau teras. Mau ke pantai kapan saja juga dekat, cuma sejengkal,” kata Kak Aldo.
 
“Makan tuh sunset! Kak Aldo sekongkol sama papa-mama, kan? Awas! Kak Aldo nggak boleh lagi pinjam komik Lusi,” sahut Lusi.
 
“Biar saja. Kak Aldo mau beli sendiri, weeekk!” Kak Aldo menjulurkan lidah.
 
***
 
Senja menjelang. Dari jendela kamar tampak langit barat berselimut pendar merah. Matahari bulat kilau keemasan menakjubkan, menyentuh cakrawala. Lusi terpana. 
 
Perlahan Lusi bangkit dari spring bed pink bergambar Barbie, lalu mendekat ke jendela. Sepasang mata indahnya tak lepas memandang matahari yang mulai tergelincir di ufuk barat itu. Lusi seperti melihat lukisan di kanvas kelabu yang begitu menggetarkan.
 
“Wow, indah sekali,” Lusi berdecak kagum.
 
Selama ini Lusi tidak peduli dengan sunset. Baginya, itu peristiwa biasa yang terjadi tiap sore, bila tidak ada awan menghalang. Tapi sekarang, dia begitu terpesona pada keajaiban alam itu.
 
“Indah sekali. Sungguh indah,” senyum Lusi mengembang.
 
***
 
Lusi di sini. Senja menjelang. Pantai cukup ramai. Anak-anak kecil berlarian, berkejaran, tertawa ceria. Lusi tersenyum melihatnya. 
 
“Bagus, ya?” tiba-tiba seorang cowok berdiri di dekat Lusi. 
Lusi menoleh. Ia melihat cowok bertubuh jangkung, berjaket merah marun, sedang memandang ke laut lepas.
 
“Ya, bagus,” sahut Lusi.
 
“Namaku Rudy. Pakai y, bukan i,” cowok itu mengulurkan tangan.
 
Lusi terdiam sejenak. Tapi melihat cowok itu tersenyum dengan tangan masih terulur, Lusi pun mengulurkan tangan.
 
“Aku Lusi. Pakai i, bukan y,” katanya tersenyum.
 
“Sering ke sini?” tanya Rudy, cowok itu.
 
“Beberapa kali.”
 
“Aku pertama kali ke sini. Ini hari pertama aku di kota ini.”
 
“Baru pindah?”
 
“Ya,” Rudy mengangguk. “Aku akan kuliah di kota ini. Aku tinggal di rumah paman. Kamu sudah kuliah, Lusi?” Rudy menatap Lusi.
 
“Aku masih SMA, kelas XII.”
 
“Kamu suka sunset, Lusi?” tanya Rudy kemudian.
Lusi mengalihkan pandangan. Ia tak kuasa menangkap terlalu lama tatapan Rudy yang teduh. Lusi merasakan dadanya berdesir halus.
 
“Ya, aku suka,” kata Lusi.
 
“Kalau kamu suka, sunset itu untukmu.”
 
“Apa?” Lusi menahan tawa.
 
“Sunset itu untukmu,” kata Rudy mengulang.
Lusi tersenyum, walau sebenarnya ingin tertawa.
 
“Thanks. Tapi bagaimana aku membawanya pulang?”
Rudy tersenyum, menatap lekat mata Lusi.
 
“Simpan saja di hatimu,” kata Rudy.
 
Desiran di dada Lusi makin kencang. Sungguh, ia belum pernah menerima kalimat-kalimat romantis sebelumnya. Lusi tak tahu harus berkata apa. Ia sibuk mengendalikan desiran dadanya yang makin kencang. 
 
“Matahari sudah tenggelam. Aku harus pulang. Senang bertemu denganmu, Lusi,” Rudy mengulurkan tangan.
 
Lusi ragu.
 
“Sampai jumpa lagi,” Rudy masih mengulurkan tangan.
 
“Sampai jumpa lagi,” akhirnya Lusi mengulurkan tangan pula.
 
Rudy membalikkan badan, lalu pergi.
 
Tunggu! Ingin Lusi berteriak memanggil Rudy, tapi tidak kesampaian. 
Teriakannya berhenti di tenggorokan. Ah, mengapa perjumpaan itu berlalu begitu cepat? Lusi ingin mengenal cowok itu lebih jauh, tinggal di mana, berapa nomor hape, akun Facebook, Twitter, dan segudang data lainnya.
 
Lusi mendengus, melempar kecewa ke udara.
 
***
 
Sore ini Lusi sudah bersiap-siap.
 
“Ke pantai lagi?” tanya Kak Aldo di teras.
 
“Ya.”
 
“Untuk apa ke pantai tiap sore?”
 
“Melihat sunset.”
 
***SELESAI***
 
Sulistiyo Suparno, kelahiran Batang 9 Mei 1974. Cerpen-cerpennya tersiar di berbagai media lokal dan nasional. Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri