Puisi-puisi Hasyim As’ari

Kenangan, Sajak Ulang Tahun, Aku Bukanlah Aku di Hatimu

Kenangan, Sajak Ulang Tahun, Aku Bukanlah Aku di Hatimu
Ilustrasi. (Red Memory/saleoilpaintings.com)
Kenangan
 
Tuhan, di mataku gelisahnya tertanam.
Seperti benalu yang hendak berpaku.
Di setiap langkah kita tertuju.
Tuhan, airmatanya ialah kesakitan. 
Resahnya bak cambukan.
Mendera di tiap asa.
Menusuk ulu jiwa.
Bukankah aroma melati, tidaklah abadi.
Bukahkah serpihan kamboja akhirnya melekat.
Seperti mengiringi perjalan panjang.
Dan bermuara pada sebentuk nyata.
Namun, sebelum mata ini tak lagi dapat terbuka.
Ingin kusandarkan gelisah, pada tiap angin yang rebah.
Ingin kubenamkan luka sampai nanti tak terlihat.
Ingin kuresahkan duka pada hambarnya aroma kenanga.
Ingin kuseduh sekali lagi anyelir, hingga nanti kudapat kembali lagi mulai berpikir.
Tentang hari-hari kita bersama.
Tentang kenangan di mana kita terlelap dalam satu atap.
 
 
 
Sajak Ulang Tahun
 
Di tiap lipatan hari pergantian usiamu.
Aku ingin menapakan purnama pada wajahmu.
Biar terang tak pernah bosan berdiam, meski malam acap kali datang.
Aku ingin menumpahkan gugusan bintang di tiap langkahmu mengadu.
Sebab kutahu, darinya tak akan pernah ada hitungan lelah yang kan terjamah.
Ketahuilah, yang kuharap nafasmu ibarat angin pagi.
Sejuk mendalam di atas angan.
Menyiratkan kolibri untuk saling berpesan.
Tanpa pandangi dingin sebagai pijakan.
Ingatlah teman, segala rintang di depanmu masih berpaku.
Namun bukankah langkahmu ialah karang, yang siap menghadang di kala ombak menerjang.
Jangan kau takut, tuhan selalu di sisi.
Ia akan menyertaimu di tiap sudut ragamu berjibaku.
Sertakanlah doa pada-Nya.
Agar segala pintamu tertuju.
Dan sibaklah api-api penghancur segala mimpi.
Seperti ujung lilin yang kan kau tiup nanti.
 
 
 
Aku Bukanlah Aku di Hatimu
 
Gelap memenjarakan nafas malam.
Meniupkan dahaga di bibir sepi.
Sepi ia itu dalam mimpi.
Terlelap dalam nyanyian puisi malam rindu.
Haruskah aku kehujanan di musim hatimu.
Adakah kuharus memelas di ujung bayangmu.
Kini pungguk mulai merindukan bulan.
Dan berharap kan menyatu dengannya.
Di sini cinta mulai tertanam.
Namun pantaskah kusebut itu cinta.
Saat sayap-sayapku mulai patah.
Dan engkau malah terbang tinggi melambung nirwana.
Mungkin kini aku harus tersadar, bahwa aku bukanlah aku di hatimu.
 
 
 
 
Hasyim As’ari. Mahasiswa jurusan Filsafat Agama UIN Sunan Kalijaga yang hobi menulis. Bertempat tinggal di Sleman, Yogyakarta. Bisa dihubungi melalui email: [email protected] 
 


Berita Lainnya

Index
Galeri