DIA kini berumur 18 tahun. Waktu kecil, setahuku dia normal. Meski kami tidak satu sekolahan, tetapi aku masih ingat benar dulu dia sekolah di SD Negeri 2, sedangkan aku sekolah di SD Negeri 3. Setelah beberapa bulan aku tidak bertemu dengannya, tiba-tiba kudengar dia pindah sekolah di SLB yang berada di kota kabupaten. Pada saat itulah aku baru mengerti ternyata dia idiot. Satu hal lagi yang kuingat, dulu dia pernah mengalami demam tinggi yang tidak kunjung sembuh, ditambah lagi dalam perjalanan hidupnya sering ia mengalami sakit, hingga mengkonsumsi banyak jenis obat. Entah mengapa, lambat laun hal itu seperti mempengaruhi kondisi tubuhnya. Sejak saat itu tubuhnya sering kejang-kejang. Dokter memvonis dia menderita Epilepsi. Menjelang lulusan SD, aku melihat dia sudah tidak sekolah lagi. Dan pada saat aku duduk di bangku SMP, kami berdua menjadi karib.
Selain dia idiot, memang dia penderita epilepsi. Orang Jawa menamainya dengan sakit ayan. Jenis penyakit yang jika kambuh seluruh badannya akan kejang-kejang tak berdaya. Saat kejang-kejang, dari mulutnya akan keluar busa. Pada saat begitu, tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu dan membiarkannya sampai kejang-kejang itu berhenti sendiri. Jika aku menyaksikan dia sedang begitu, rasanya hatiku terasa teriris sembilu, seakan-akan aku ingin berlari menjauh karena tidak tega melihatnya. Tapi mungkin karena itulah aku ingin dekat dengan dia. Barangkali di hatiku ada perasaan iba.
Dia bernama Rumod. Orangtuanya salah satu warga masyarakat yang disegani di kampungku. Beliau sering mendapat jatah undangan kehormatan dalam berbagai acara resmi di kampung. Orang kampung biasa menyebutnya sebagai golongan priyayi. Rumod anak ragil dari empat bersaudara. Satu kakak perempuan dan dua kakak laki-lakinya kini telah menjadi orang gedean. Tapi untunglah orangtua Rumod tetap menyayanginya.
Kini Rumod tumbuh menjadi pemuda yang sederhana dan baik hati. Dia hampir tidak pernah berbuat ulah. Hanya terkadang berperilaku seperti tanpa kendali jika sehabis dipermainkan pemuda-pemuda brandal di kampung ini. Mereka sering tidak bersikap baik pada Rumod, sering mengajari berperilaku yang tidak pantas dan berkata-kata rusuh. Mereka memang orang-orang yang tidak punya perasaan.
Setiap pagi Rumod selalu mengajakku sepedaan. Dia selalu bangun di waktu subuh, lalu segera pergi menghampiriku. Setelah sampai di depan rumah, dia akan berteriak, memanggilku dengan sebutan: Boss. Lafal bicaranya tidak jelas. Sepertinya dia tidak dapat bilang R dan sulit membilangkan huruf konsonan di awal kata. Seperti pagi itu aku dipanggil-panggil dari luar rumah, hendak mengajakku sepedaan.