Cerpen Teenlit Sulistiyo Suparno

Tugas Menulis Puisi

Tugas Menulis Puisi
Ilustrasi. (cheap.buyessay.org)
SENO sudah menduga bila Pak Sastro pasti memberikan tugas menulis puisi. Murid-murid sudah hafal dan selalu berkomentar huuuu. Hanya Seno yang tersenyum. Tugas yang ringan bagi Seno. Menulis seribu puisi pun Seno sanggup!
 
Mula-mula Seno kesal dan mendengus seperti banteng yang merasa terganggu kenyamanannya. Menulis puisi itu pekerjaan perempuan, begitu pikir Seno. Lagi pula, Pak Sastro hanya pandai memberi tugas, tapi tak pernah memberikan contoh puisi karya beliau.
 
Pak Sastro sudah tua, uban di kepalanya sudah merata. Beliau guru baru di sekolah Seno. Kabarnya, Pak Seno sudah pensiun, kemudian direkrut untuk mengajar di sekolah Seno. 
Selama duduk di kelas VIII SMP, belum pernah Seno melihat Pak Sastro menunjukkan contoh puisi karya beliau. Dulu, waktu SD pun begitu, semua guru Bahasa Indonesia hanya gemar memberi tugas menulis puisi untuk murid-murid.
 
Mula-mula, Seno mengomel keluar dari ruang kelas.
 
“Puisi lagi, puisi lagi. Apa nggak ada yang lain?”
 
“Santai saja. Kan sudah diberi teknik menulis puisi,” sahut Komar, teman duduk Seno.
 
“Kamu bisa bikin puisi?” tanya Seno.
 
“Nggak,” Komar menggeleng. “Bikin saja sejadinya. Tinggal dibuat bait-bait saja, kan?”
 
Ya, sepertinya memang begitu. Puisi itu harus ada bait-baitnya. Malam hari, Seno mencoba membuat puisi, sampai larut malam. Paginya, Seno memamerkan puisi karyanya pada Beno, kakaknya yang kelas XII SMA.
 
Beno terbahak-bahak.
 
“Puisi apa ini? Kayak puisi anak kecil.”
 
“Mas Beno bisa bikin puisi?”
 
Mulut Beno terkatup seketika.
 
“Aku paling malas kalau bikin puisi,” sahut Beno.
 
“Kalau di sekolah ada tugas bikin puisi, bagaimana?”
 
“Gampang. Cari saja di koran atau majalah lawas. Tinggal salin, selesai!”
 
Mulut Seno membulat. Itu saran yang jenius. Maka pulang sekolah, Seno pergi ke pasar loak. Memborong majalah lawas. Majalah-majalah itu menjadi buku pintar bagi Seno. Seno pun mendadak pintar membuat puisi. Seperti saran Beno, Seno cukup menyalin puisi-puisi dari tumpukan majalah di kamarnya, selesai.
 
Kalau hari ini Pak Sastro memberi tugas membuat puisi, maka hanya Seno yang mampu tersenyum di kelas. Murid-murid lain kompak berseru huuuu. Ketika Pak Sastro telah keluar dari ruang kelas, Seno bergegas berdiri di muka kelas.
 
“Tunggu, teman-teman. Jangan keluar dulu, ada pengumuman penting!” seru Seno mengangkat tangan.
 
“Pengumuman apa?” tanya Susi.
 
“Aku tahu, kalian pasti kesal dapat tugas bikin puisi. Aku punya solusi. Bagaimana kalau aku yang membuatkan puisi untuk kalian?”
 
“Yang benar, Seno?” tanya Halimah.
 
“Kami ada 39 orang. Apa kamu sanggup membuat 39 puisi yang berbeda?” sahut Endah ikut bertanya.
 
Seno tersenyum mendengar pertanyaan teman-temannya. “Jangankan 39 puisi, seribu puisi pun aku sanggup.”
 
“Wah, asyik. Tolong kamu buatkan puisi untukku ya, Seno?” kata Susi mengangkat tangan.
 
“Aku juga, Seno.”
 
“Aku juga.”
 
“Aku juga. Yang bagus ya, Seno?”
 
Seno tersenyum lebar.
 
“Tenang, tenang. Aku pasti akan membuatkan puisi untuk kalian semua. Puisi yang berbeda untuk tiap orang. Tapi asa syaratnya,” kata Seno kemudian.
 
“Syarat apa?” tanya Susi.
 
“Kalian tahu, bikin puisi butuh konsentrasi tinggi, bahkan jauh melelahkan dari mencangkul. Karena itu kalian harus menghargai jerih payahku membuatkan puisi untuk kalian. Gimana kalau kalian menyumbang sepuluh ribu rupiah tiap anak?”
 
“Jadi, harga satu puisi sepuluh ribu rupiah?” tanya Susi lagi.
 
“Mmm...ya, begitulah,” sahut Seno menyeringai.
 
“Huuuu....”
 
Murid-murid hendak membubarkan diri dan Seno pun sudah pasrah bila ide jeniusnya menemui kegagalan. Dari meja deret tengah, Halimah berseru sambil mengangkat tangan.
 
“Oke, aku setuju,” kata Halimah lalu melangkah ke depan dan menyerahkan uang sepuluh ribu rupiah pada Seno. 
 
Murid-murid saling berpandangan. Beberapa murid yang sudah berada di ambang pintu pun menghentikan langkah. Lalu, semua murid merubung dan memberikan uang masing-masing sepuluh ribu rupiah pada Seno.
 
Sepanjang perjalanan pulang, Seno tersenyum-senyum. Saku celana pendeknya menggelembung karena penuh uang. Sampai rumah, Seno menghitung semua uang itu. Aha, 390 ribu!
 
Seno membuka-buka koleksi majalah lawasnya. Karena stok puisi di majalah itu habis, maka Seno bergegas pergi ke pasar loak. Seno mengamati sekeliling pasar, berharap tak ada teman yang melihatnya. Setelah yakin aman, Seno pun memborong majalah lawas.
 
Begitulah, Seno menjadi sungguh amat sangat senang sekali dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Begitu pula murid-murid kelas VIII SMP itu,  mereka merasa lebih enjoy mengikuti semua materi yang disampaikan Pak Sastro. Ketika Pak Sastro memberikan tugas menulis puisi, tak ada lagi seruan huuuu dari murid-murid.
 
Dua minggu sebelum Ulangan Akhir Semester, terjadi peristiwa yang menghebohkan. Pak Sastro datang mengenakan celana jins butut, sepatu kets putih, kemeja kotak-kotak coklat, dan wig panjang sebahu.
 
“Bagaimana, mirip penyair, bukan?” sapa Pak Sastro tersenyum di muka kelas. “Jangan kawatir. Saya sudah mendapatkan izin dari Kepala Sekolah untuk mengenakan busana ini hari ini.”
 
Murid-murid melongo.
 
“Pak Sastro mau apa?” tanya Seno.
 
“Saya akan membuat kejutan buat kalian,” kata Pak Sastro. “Saya tahu, selama ini kalian pasti mengira saya hanya gemar memberi tugas menulis puisi pada kalian. Kalian pasti bertanya, mengapa saya tidak memberikan contoh puisi karya saya? Benar, begitu?”
 
Tak ada yang menjawab. Murid-murid masih melongo.
 
“Hari ini saya akan membacakan puisi karya saya,” kata Pak Sastro.
 
Hari itu semua mata murid di kelas itu membelalak, mulut mengangga, karena terpesona dengan suara menggelegar, ekpresi dan gestur Pak Sastro saat membaca puisi karya beliau. 
 
Guru Bahasa Indonesia yang selama ini mereka remehkan, kini menjelma sosok guru ideal. Guru yang mau memberi tugas sekaligus mampu memberikan contoh karyanya.
 
Tubuh Seno bergetar dan merinding, matanya berkaca-kaca. Ketika Pak Sastro selesai membaca puisi, Seno berlari menubruk dan memeluk kaki guru tua itu.
 
“Maafkan saya, Pak Guru. Maafkan saya,” Seno menangis dan memeluk erat kedua kaki Pak Sastro.
 
“Bangunlah, Seno. Mengapa kamu meminta maaf pada saya?” Pak Sastro membimbing Seno untuk bangun.
 
Seno beringsut berdiri. Ia menyeka kedua matanya dengan punggung tangan. Ia berdiri menghadap teman-temannya.
 
“Teman-teman, saya mau membuat pengakuan,” kata Seno terbata-bata.
 
Murid-murid saling berpandangan.
 
“Pengakuan apa?” tanya Halimah.
 
“Maafkan saya, teman-teman. Selama ini saya.....” belum usai Seno mengucapkan kalimat, tubuhnya telah limbung, terkulai dan jatuh dalam pelukan Pak Sastro. Seno pingsan! ***
 
 
 
Sulistiyo Suparno, kelahiran Batang, 9 Mei 1974. Cerpen-cerpennya tersiar di Minggu Pagi, Wawasan, Cempaka, Nova, Tanjungpinang Pos, Banjarmasin Post, Radar Surabaya, dan media lainnya. Bergiat di Komunitas Pena, perkumpulan penulis di Batang. Bermukim di Batang, Jawa Tengah.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri