Cerpen Delly Purnama Rain Fello

Gelas-gelas Martinah

Gelas-gelas Martinah
Ilustrasi. (Lidija Ivanek/fineartamerica.com)
H-3 menjelang arisan. Semua berjalan seperti kebiasaan Martinah tiap bulannya. Hari ini saatnya mengeluarkan berlusin-lusin gelas dari lemari. Gelas-gelas itu berdentangan meriah saat Leni memasukkannya ke dalam larutan air sabun di baskom. Martinah menegur Leni. Entah kenapa tidak ada seorang pun dari anaknya yang mengerti betapa pentingnya menjaga gelas-gelas itu tetap utuh. Tapi paling tidak Leni tidak seperti Meli si teledor yang di tangannya telah jatuh berkeping-keping nyawa gelas. Leni jelas lebih sabar. Meski terkadang anak itu suka melamun dan mewarisi sifat apatis ayahnya. 
 
Semua orang di rumah tahu betapa sayangnya Martinah pada lusinan gelas-gelasnya. Kalau tidak mau dilibas, jangan coba-coba pecahkan barang sebiji dari gelas-gelas itu. Dan setiap tahunnya dorongan Martinah untuk menambah koleksi gelasnya semakin menjadi. Dalam satu tahun akan ada lusinan gelas baru yang mengisi lemari kaca di rumah. Jangan heran jika Karno harus rela merogoh kocek lebih dalam membelikan lemari kaca baru untuk tempat tidur dan nongkrongnya gelas-gelas baru Martinah. Mereka itu kebanyakan cantik dan berkilau-kilau. Ada yang panjang, pendek, bulat, pipih, melengkung, berukiran bunga, dan warna-warni. Pokoknya mantap. Semua apik kecuali deretan gelas kedaung warna kuning kecokelatan yang ada di rak paling bawah tiap lemari. 
 
Ritual cuci gelas adalah saat-saat paling dihindari semua putra-putri Martinah. Puput si sulung sengaja ikut bibi bikin kue nastar sampai malam daripada disuruh bilas benda keramat tersebut sambil dipelototin ibunya. Leni dan Dodi bertugas memasang gorden yang baru diambil di laundry. Setidaknya itu lebih baik daripada cuci gelas. Leni lah yang kebagian menjalankan tugas suci itu dengan iming-iming uang jajan lebih banyak dari Martinah. Leni oke-oke saja. Lantaran sudah kepikirin mau traktir Yoga pacar barunya belanja di mall. Seminggu yang lalu Leni sudah janji sama pangeran itu akan membelikannya celana jeans keren buat lebaran. 
 
Triing... triing... 
 
Gelas-gelas berdentangan . Martinah mendelik ke Leni. Gadis itu nyengir. Di saku celananya--bersahutan dengan suara dentingan gelas--ponselnya berbunyi. Pasti pangeran yang meneleponnya. Cengiran Leni perlahan berubah menjadi ulaman senyum.
 
***
 
Aroma teh menari-nari dalam udara di sekitar Karno. Pria jangkung itu bersandar malas di dipan kayu teras rumah ibunya. Kepalanya yang mulai botak terteleng karena rasa kantuk mendadak singgah. Kuap melebar di mulutnya bersamaan dengan datangnya Bu Sukini membawa panganan peyek bikinan sendiri. 
 
Karno mengangkat gelas tehnya, memperhatikan selama beberapa lama sebelum meneguknya. Tak bisa dipungkiri, setiap melihat gelas berbentuk agak tak biasa, ia pasti jadi ingat Martinah. Sudah lama Karno berhenti meributkan kebiasaan istrinya yang gemar mengoleksi gelas. Namun tetap saja ia tidak mengerti. 
 
Dari cerita teman-teman sekantornya, para istri memang kerap mempunyai hobi belanja dan mengoleksi sesuatu agak berlebihan di usia menjelang empat puluhan. Tapi rasanya Martinah yang paling berbeda. Karno tahu betul bagaimana Martinah yang jarang nyalon atau menghabiskan waktu memborong berbagai baju atau perhiasaan indah. Dari gadisnya Martinah sudah dikenal sebagai sosok wanita sederhana yang tidak suka mencla mencle. Bukannya tidak feminim. Martinah cuma menganggap segala kegiatan itu hanya buang-buang waktu dan uang.
 
Lalu bagaimana dengan gelas? 
 
Yang Karno tahu Martinah sangat bahagia dengan gelas-gelasnya. Layaknya seorang pelukis yang menemukan jiwanya dalam torehan gambarnya, penyanyi yang mereguk impian melalui lagunya, dan hujan yang merindukan bumi. Martinah juga pernah bilang kalau gelas adalah benda unik yang pandai menyimpan kenangan, rasa, dan karakter. Entah apa maksudnya, Karno tidak begitu tertarik untuk mencari tahu. Apa saja lah asal tidak macam-macam.
 
“Mana istrimu?” tanya ibu sembari meletakkan pantat di kursi plastik yang berhadapan dengan Karno.
 
Karno menyulut sebatang rokok, mengisapnya perlahan. “Sibuk bikin kue untuk acara arisan, Buk.”
 
“Tahun ini Martinah gak ngajak kamu pulang kampung ke Lembang?” 
 
“Tidak. Bapak dan Ibunya dijemput adiknya untuk tinggal beberapa lama di Surabaya.” 
 
“Kalau tidak ada kerjaan, suruh Martinah ngumpul di sini. Banyak tamu dari Klaten yang akan datang berkunjung. Saudara-saudaranya almarhum bapakmu.”
 
“Aku ndak yakin, Buk. Ibu tahu sendiri lah bagaimana Martinah. Dia tidak begitu suka berbaur dengan keluarga besar.” 
 
Bu Sukini menghela nafas. Wajahnya sudah terlalu lelah untuk cemberut. “Kamu tuh dari dulu gak berubah, No. Sekali-sekali kamu nasehati istrimu. Keluarga itu yang utama. Jangan terlalu jauh. Bahkan anak-anakmu sendiri juga gak begitu suka dengan ibunya.” celetuk Bu Sukini.
 
“Halah. Ibu gak usah khawatir. Yang penting Martinah gak suka yang macam-macam. Dia cuma menjaga saja. Masalah anak-anak, mereka kan sudah pada gede, biarlah belajar mandiri.” sahut Karno sebelum mencomot peyek di atas meja. 
 
Bu Sukini geleng-geleng kepala. Sedetik kemudian sibuk membetulkan jilbab panjangnya yang kedodoran di kepala. Dari mulutnya samar terdengar umpatan yang diarahkan ke langit-langit malam.
 
***
 
Hari perhelatan  arisan yang dinanti telah tiba.  Dimana-mana terdengar gelak tawa, obrolan seru anggota arisan. Ada juga yang saling bersalam-salaman. Semua orang berlomba-lomba berbagi cerita kepada siapa saja yang ditemui. Seperti biasa, topik yang paling sering dibahas adalah pekerjaan suami dan sekolah anak. Anak-anak bercanda ria tentang mainan baru, uang jajan, dan rencana masing-masing. 
 
Martinah sedari subuh sudah terbangun dan bersiap-siap. Setiap inci rumahnya telah bersih dan rapi, toples-toples kaca berisi aneka ragam kue kering dan basah berderet rapi di meja, gorden-gorden baru tersemat mentereng di tiap  jendela. Tak lupa Martinah sekeluarga memakai pakaian baru nan apik yang senada.
 
Martinah menyambut tamu yang datang. 
 
“Ayo keluarkan gelas putih yang ada di rak paling atas, Len. Ada Bapak dan Ibu RT yang datang. Ayo cepat.” pinta Martinah setengah panik tepat ketika Bapak dan Ibu RT sudah duduk di ruang tamu rumahnya. 
 
Gelas-gelas paling bagus pun dikeluarkan. Bu RT tampak anggun dengan gamis putih dihiasi payet bunga-bunga dan pashmina satin. Anak gadis Bapak dan Ibu RT yang  tidak kalah mewahnya tak sedetik pun mengalihkan perhatian pada sepetak gadget di tangannya. Selama Bapak dan Ibu RT, Martinah begitu hati-hati berbicara. Wajahnya sempat memerah bahagia ketika Bu RT memuji gelasnya.
 
Begitulah arisan hari itu terlaksana, rumah Martinah dipenuhi anggota arisan. Ada juga saudara dan para tetangga yang turut hadir berkunjung. Karno begitu menikmati obrolan dengan para tetangga yang datang untuk bersilaturahmi. Memang Karno yang telah mengundang mereka. Tak lupa ia memberi uang jajan kepada anak-anak kecil yang mengikut orangtuanya. Lantas ia akan ikut tertawa melihat tingkah para bocah mengacung-acungkan lembaran uang jajan pemberiannya, berlomba-lomba mengumpulkan jumlah paling banyak. Sementara Martinah sibuk memberi komando kepada anak-anaknya dalam melayani tamu yang datang. 
 
“Meli, ibu kan sudah bilang jangan pakai gelas itu kalau hanya untuk anak-anak tetangga. Nanti pecah. Keluarkan saja gelas pendek di rak paling bawah. Itu kan kerjaan bapakmu yang mengundang mereka. Oh ya, nanti kalau teman-teman arisan ibu datang, jangan lupa pakai gelas bertangkai ukiran yang ada di lemari baru ibu.” pesan Martinah kepada Meli di ruang tengah.
 
Meli mengangguk malas-malasan. Kacamata tebalnya hampir jatuh saat dia mengangkat nampan berisi bergelas-gelas sirup dengan asal. Martinah menggerutu dan segera menahan langkah Meli menuju ruang tamu.
 
“Aduh... kenapa kamu pakai gelas ini?” bisik Martinah panik seraya melirik ke arah ruang tamu dari kejauhan. Ada beberapa orang disana, tak lain adalah tetangga mereka, sepasang suami istri tukang sayur keliling. “Pakai saja gelas kedaung di lemari lama itu.” timpalnya.
 
Meli mendengus kesal. “Sudahlah, Bu. Ini udah terlanjur dibuat minumannya.” 
 
“Pindahkan.” tegas Martinah tidak peduli dengan umpatan kesal Meli. Sejenak kemudian baru dia tersadar akan sesuatu. “Lho? Leni mana? Tadi ibu suruh dia simpan uang ibu di kamar?” 
 
“Leni sudah pergi, Bu. Katanya mau ke mall sama temannya. Tadi kan dia sudah minta izin sama ibu.” kuak Meli dari arah dapur. 
 
“Lah... jadi uang ibu mana?” ***
 
Binjai, 17 Juni 2016
 
 
 
Delly Purnama Rain Fello lahir di Binjai pada tanggal 5 Desember 1988. Sudah memulai kegemaran menulis novel sejak duduk di bangku SMK Negeri 1 Binjai. Penulis yang diidolakan adalah RL. Stine, O. Henry, Roald Dahl, Guntur Alam, dan Arswendo. Kegiatan menulisnya juga didukung oleh peran Bapak yang sering membelikannya buku-buku yang bagus baik lokal maupun terjemahan. Penulis bisa disapa di alamat email : [email protected] dan akun facebook: Rain Fello.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri