Puisi-Puisi Miranti Julia Ulandari

Kau, Bintang dan Bulan, Mari Bermain Hujan, Secangkir Pahit, Rumah Mimpi, Waktu, Malam

Kau, Bintang dan Bulan, Mari Bermain Hujan, Secangkir Pahit, Rumah Mimpi, Waktu, Malam
ilustrasi. (favim.com)

 

PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Kau, Bintang dan Bulan
 
Jangan tutup muakmu dengan sendu. Sendu hanya meringkuk di hati, mengendap dan membatu pada sepi yang selalu datang menghampiri. Menghampiri setiap malam ketika para bintang bersanding bulan. Bulan biru pada setiap pergantian minggu yang ditunggu pecinta malam. Malam ini, biarkan mereka mengusik sunyi, namun kau tetap berdiri, dan hadapi. Hadapi rasa sepi yang menggeletik dengan senyum di kedua lobang pipimu.
Lobang pipimu jangan diisi dengan gerimis. Gerimis hanya membanjir ketika musim hujannya datang. Datang atau tidak mendung, kau harus tetap menyapu dan membersihkan mataharimu, dari semua sarang laba-laba yang mengusik matamu. Matamu jangan basahi lagi, karena kau kuat maka hati akan bentengi setiap cercaan malam yang mengundang tertawaan setan.
Tertawaan setan itu biar menjadi guru di malam pergantian minggu. Minggu-minggu selanjutnya biarkan setan merengek kesepian. Kesepian karena api-api telah kau padamkan. Padamkan bukan berarti dengan air matamu, apalagi dengan air rawa di kedua lobang pipimu. Pipimu biar tersenyum, dan semua api akan membisu. Membisu pergi meninggalkan setiap luka antara kau, bintang dan bulan di pergantian malam setiap minggu. 
 
Muaro Jambi, 15 April 2016
 
 
 
Mari Bermain Hujan
 
Mari bermain hujan, sembunyi tangis di balik gerimis. Gerimis undang burung gagak semai cinta di dadamu. Di dadamu, senja berseteru dengan koar mendung. Mendung setia bersenandung.
Senandung luka sembunyi di peti-peti hujan tawa. Tawa bengkak semakin cabik nyawa rasa. Rasa itu mati, hidup dan tumbuh menjadi semi. Semi merekah dalam hujan yang tercurah. Tercurah bersama gelisah, terpintal mesra di jendela-jendela.
Jendela bisiki gemuruh hujan. “Gemuruh hujan adalah cahaya pada hitam kesepian, kelam sendirian”. Sendirian tak usik hujan tuk tetap bersenandung pada senja. Senja hilangkan dirinya, timbulkan jatinya.
 
Muaro jambi 17 april 2016
 
 
 
Secangkir Pahit
 
Aku bertanya pada ayah yang menghirup secangkir pahit di senja buta. Senja buta yang menari di cakrawala langit berhias burung gereja yang mencari jalan pulang. Pulang kembali, menuju sarang yang setia menanti.
Menanti jawab dari ayah, tanya terlempar kembali di bawah kaki langit “ayah mengapa kau masih ingin menikmati secangkir kepahitan jika kau tahu hanya mendapati lidah yang kelu?”
Kelu lidahmu yang beku mulai mencair seiring hangat senja. Senja menyaksikan kita dengan secangkir kepahitan yang masih mengaup di atas meja. Di atas meja, kau letakkan sebuah cerita tentang tanya yang terlempar di kaki langit. Langit bersenandung pelan dalam jawabmu “seperti hidup, kau harus nikmati setiap tegukan kepahitan, sebelum kamu mampu menerka manis yang terhimpit pada setiap lembar hidup”
Hidupmu adalah secangkir kepahitan yang kini masih menguap, menguap bersama mimpimu, dan mimpi kita. 
Kita nikmati secangkir kepahitan sembari menatap senja.
 
Muaro jambi, 19 april 2016
 
 
 
Rumah Mimpi
 
Rumah kita adalah mimpi yang membentang. Bentangnya tak tutupi ruang-ruang kita untuk merdeka. Merdeka bukan hanya untuk langit yang tanpa mendung. Mendungpun adalah cinta yang kita olah menjadi mimpi. Mimpi kita menjadi ratu di antara lebah yang seragam. Seragam yang kita temui dengan mencuci perbedaan.
Perbedaan kita jahit menjadi topi mimpi. Mimpi yang selalu dikenakkan dimanapun kita berlari. Berlari mengejar pelangi, untuk mengeja warna yang ada. Warna yang ada, itulah kita. Kita berbeda dalam harmoni warna di rumah mimpi.
Rumah mimpi mengajarkan keberanian yang terhormat. Terhormat tanpa menyandang beban di pundak. Di pundak kita telah tersemat mimpi, ringan namun pasti. Pasti melodi mimpi akan menyisir setiap not hidup, membentuk lagu baru untuk kita nikmati. Nikmati di dalam rumah mimpi. Mimpi yang menerima jempol, telunjuk, tengah, manis dan kelingking sebagai kesamaan. Sama dalam peti beda yang dikubur dalam-dalam.
Dalam rumah mimpi, kita menari nikmati melodi. Melodi mimpi kita yang berbeda, namun harmoni.
 
Muaro jambi, 23 April 2016
 
 
 
Waktu, Malam
 
 
Aku bertanya pada waktu “dapatkah kau berhenti sejenak ketika malam?”. Malam yang penuh kedinginan dan rahasia, usik pintaku. Pintaku sederhana, menemani malam dengan cakap lirih menuju langit. Langit mengetuk pintu-pintu, membiarkan lirih masuk dan bertamu di tempat yang ku tuju.
Tempat yang ku tuju selalu memanggil di perputaran waktu. Waktu yang pilu meninggalkan nafas hidup. Nafas hidupku berawal dan berakhir pada malam. Malam yang memeluk, malam yang merasuk, malam yang menunduk. Menunduk pada yang resah, meminta waktu berhenti ketika malam datang bertandang.
Malam datang bertandang, membawa jawab waktu. “waktu berhenti ketika malam mulai menari”. Menari di antara mimpi dan mata yang membulir. Bulirnya ikuti melodi, jatuh mewarnai hatimu. Hatimu tak tahu, malam menatap, waktu berhenti, langit bersorak memecah pada awan merah jambu pagi. Pagi melambaikan waktu kembali berlari mengejar malam malam untuk bertamu.
 
Muaro Jambi, 01 mei 2016
 
 
Miranti Julia Ulandari, hanya seorang gadis  pecinta kata yang terjebak di dunia imajinasinya. Miranti Julia Ulandari, anak dari pasangan Sarif Arifin dan Gusminarti. Berasal dari Kerinci yang kini merupakan mahasiswi di Universitas Jambi.


Berita Lainnya

Index
Galeri