Puisi-puisi Rusydi Zamzami

Jendela Kesekian, Teman Cerita, Tidak Sebagai Puisi, Kepada Penyair, Wisata Lumpur

Jendela Kesekian, Teman Cerita, Tidak Sebagai Puisi, Kepada Penyair, Wisata Lumpur
Ilustrasi. (Pat Katz/fineartamerica.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Jendela Kesekian
 
Kaca itu gemetar disentuh sebuah nama dan bibirmu. Hendak ditumpahkannya kisah silam yang pernah ada, benar-benar pernah ada: kau kerap menggambar tanda cinta, memasang wajah lugu, menempelkan senyum paling tulus dan sederhana di dalamnya. Kebahagiaan yang kelak kau sebut tak ada putusnya, tak ada ujungnya. Tak ada putusnya: kau bisiki kaca itu bahwa pada saatnya kau cita-citakan sebuah rumah tangga dengan suami seorang polisi atau tentara, anak-anak yang juga sebagai abdi negara. Tak ada ujungnya: kau kecup kaca itu dan berharap semoga di akhirat kau, suamimu, anak-anakmu selamat dari lubuk neraka dan terusir ke surga yang sama.
 
Kaca itu gemetar disentuh sebuah nama dan bibirmu. Ingin diserakkannya cerita lama yang tak akan terlupa, sungguh-sungguh tak akan terlupa: kau tersentak ketika geluduk dan petir meledak. Hujan dan angin membius rumah, pohonan, tiang listrik, kabel-kabel putus dan nestapa, dinding retak dan penuh dahak. Kau berdoa agar luput dari marabahaya. Doa yang kau maksudkan belum siap mati karena masih terlipat janji dan dosa.
 
Kaca itu gemetar disentuh sebuah nama dan bibirmu, berulangkali, dan selesai ketika sebait bom meletus dan menghapus segala niat baikmu.
 
Kombung Barat, 2016.
 
 
 
Teman Cerita
 
Tersebab apa kita bertabrakan? Saban malam, kau dan aku ditilang telepon genggam, berjam-jam. Alpa kepada hujan yang bersamrah dan menaiki teras rumah, kepada suara cicak yang membikin gelap jadi serangkaian perayaan tahun baru: bunyi terompet, kembang api, dan lagu-lagu yang cinta melulu.
 
Kita berkisah banyak hal, terlebih kau bercerita tentang seorang gadis 14 tahun yang kerap mual-mual. “Ia memiliki tak kurang dari 7 pacar,” katamu. “Dan di sekolahnya, 2 video mesumnya sempat beredar.” Tersebab apa kita bertabrakan? “Tersebab cinta yang melewati batas alkohol dan tali kutang. Hahaha.”
 
Dan tersebab apa kita bertabrakan? Aku mengulang-ulang itu pertanyaan, dau kau tak sungguh-sungguh bosan. “Kau mau kita bertabrakan? Hahaha.”
 
Kelam larut. Suara kita putus-putus, dan putus. Kau mampus? Aku melihat sepasang sepi berayun-ayun di kedua mata.
 
Kombung Barat, 2016.
 
 
 
Tidak Sebagai Puisi
 
*
Dan jalan di depan berkelok,
kepadaku kau melulu besok.
*
Selembar daun menolak angin,
kau dan aku tidak sedaging.
*
Kereta dan kau berangkat,
hatiku telah kiamat.
*
Jika tiba kematian itu,
hendak kau jadi kuburku?
 
Jember, 2016.
 
 
 


Berita Lainnya

Index
Galeri