PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Anai Medan Perang
Awan jingga hiasi tangisan
Semburat tegas tanpa hadirkan tawa
Ngiang lantunan tembang kepedihan
Wajah lusuh jeritkan keadilan
Gelap bukan malam bukan kabut
Gelap asap dan debu
Sebab bumiku tertimpuk batu mematikan
Pak tua menatap kehampaan
Lelah lama jalani hidupnya
Mengadu pada Yang Kuasa
Memang ada apa dengan hidup ini ?
Bukankah memang seperti ini ?
Diserang, berlari, sembunyi, menangis, takut, cemas, terluka
Hanya itu yang ku tahu
Adakah hal lain selain itu ?
Tanyaku pada pak tua
Beliau seraya meremas pundak kecilku
Jauh, di daratan lain
Mereka selalu tertawa, kenyang, bahkan selalu merasa kurang
Sengsara akibat lakunya
Kesia-siaan mengairi mereka
Bimbang
Secawan tanya diatas bara
Pasang surut asmara kian terabaikan
Kering tak berbekas
Menghaluskan liukan memori tinggalkan rasa
Sembari pejamkan mata
Ingin ku kembali pada lorong itu
Lorong yang terlewati karna kesombongan
Detikkan waktu pengabai semu
Sisakan abu tanda perjuangan
Belum jua jaya kudapat
Tak mengenal ujung tekad
Yang terpatri bersama do’a
Mencita kupandang senyum dari wajah layu itu
Layu karna juang tak kunjung terbayar
Gelisah mengharapkan fatamorgana
Merajut penjaring mimpi
Menguras mithos menahun
Angin bekukan keyakinan
Tak relakan api menyapa nurani
Oh... Aku teringat
Angin pemicu api hancurkan papan
Ah... Ku kembali pada kebimbangan
Gandrung Akan Kedamaian
Beralaskan papan patah menjadi-jadi
Patah karna kemurkaan
Hadir bukan tanpa sebab
Hinggap karna kehendak
Tak sederhana namun menyengsarakan
Aku bosan dengan ini
Lirihkan tangis rindukan kebangkitan
Membasuh debu menabur asa
Menegur jiwa kian menjauh
Mengetuk angan menebus masa
Meleleh siarkan penyesalan
Janji yang tulus belum teracuhkan
Sayembara rayuan pun kujalani
Menata helaian penguat diri
Tancapkan rotan penghalang pilu
Harapkan singgasana sang dermawan
Gandrung akan kedamaian
Pengantar kenikmatan abadi
Mawar Tak Berduri
Paras yang enggan menampakkan celaan
Tuturnya selembut kapas, sesejuk embun pagi dan semanis gula-gula
Sungguh, panorama kedamaian surga
Keelokan aurora dirampasnya dari langit alaska
Mata yang memancarkan mentari pagi
Namun seketika dawai mengiris sukma
Ku hempas radar memilu
Mawar yang kini tak berduri
Kalbu semakin terbalut ragu
Terjebak kabut pemanggil lara
Senyum yang teriris pedang penghianatan
Kepercayaan yang telah hanyut ke muara
Goyah karna sinar yang tlah padam
Kemana penerang sukma
Awan hitam mengutuk hari
Tanda langit tak relakan tawa
