Puisi-puisi Ach. Zaini Dahlan

Sebilah Tanda Tanya, Suara-suara Mati, dan 3 Puisi Lainnya

Sebilah Tanda Tanya, Suara-suara Mati, dan 3 Puisi Lainnya
Ilustrasi. (Mandira Bhaduri/saatchiart.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Sebilah Tanda Tanya
 
/1/
Aku lahir ketika matahari membayang di ufuk barat, di tanah tandus kering berkarang.
Lontar melambai ombak menampar pantai.
Bapak… Bapak ….
Ibu menyebutmu dua kali selama ini, dan aku tak pernah tahu seperti apa kau seutuhnya, Ia lupa memceritakan wajahmu padaku.
 Disumbingnya kisahku.
aku mencari ibu, mencari wajah Bapak yang lupa kau ceritakan padaku
Siapa engkau Bapak?
Dan siapakah aku?
Mengapa kau wariskan semua ini?
Mengapa kau wariskan sebilah tanda tanya ini untukku?
Mengapa tidak kau wariskan saja aku tanah tandus yang kering di anyam kemarau.
Mengapa kau wariskan sebilah tanda tanya ini?.
Aku bertanya dihening maghrib yang menjelma tubuh kekarmu. 
Ada dendam dibalik kuburku nak. Tunaikan!
Aku tidak mengerti. meski mengangguk hening.
Kau seolah tersenyum dibalik gundukan tanah di pekarang rumah itu.
sejak aku berdiri telah tersemat pesan yang sulit kutafsirkan. aku meraba pesan yang kau kirim lewat sebilah tanda tanya itu. Dengan mata buta. Aku menerka.
Aku hilang arah tanpamu Bapak, jelaskan padaku apalah arti sebilah tanda tanya ini?
Desir angin, debur ombak, lambaian daun lontar yang ujungnya kecoklatan diujung kemarau, memanasi hatiku. Bertindak tanpa arah.
/2/
Apa yang bisa kubanggakan dengan sebilah tanda tanya ini?
Selain rawat dendam, tamparan ombak di bibir pantai, kegelisahan randu alam terhadap kemarau. Daun lontar yang mongering ujungnya.
Penghujan belum datang lagi nak, terakhir Ia menyapa saat bapakmu dengan tidak sengaja berpamitan dan pergi begitu saja untuk selamanya. Meninggalkan namanya dan kuburannya berbaring pekarang itu.
Aku terkesiap sesaat.
Apa yang ada dalam pikirmu Bapak? 
Tak kau pikirkan aku yang menanggung dendammu, merawatnya dengan terpaksa dan ditumpaskannya dikemudian hari, aku terluka Bapak, mengapa kau masih membuat luka baru ditubuhku, merajahnya dengan dendam dan kebencian.
Aku tak menemui alasanku merawat dendammu, dikemudian hari aku datangi kau ditempatmu berbaring. Dengan sebilah tanda tanya itu, aku berikrar padamu
“aku tak akan menuai dendam lagi, cukup aku dan cukup engkau yang merasakan getar pahit sebilah tanda tanya ini, takkan kubiarkan anakku, cucuku, cicitku memikul beban yang sama seperti kita.”
Aku menyesal telah menyanggupinya Bapak. Ibu tak pernah mengharapkan ada hujan apalagi badai setelah kepergianmu itu. Dan selalu aku tinggalkan harapannya itu, seperti hujan yang meninggalkan kemarau tanpa tanda.
/3/
Bau darah, bau amis, suara tangisan malam, jeritan wanita bertelanjang kakinya mengertak bumi. Aku tersadar, sebilah tanda tanya itu telah menunaikan tugasnya, merobek, mengoyak tubuh dingin kaku.
Dosa menebus dosa, karena hidup adalah belajar membalas dan selalu ditinggalkan.
Aku telah menunaikannya Bapak.!
Penghujan datang.
Dihapusnya dendammu dengan rintik dan riciknya yang menyapu bersih kepedihanmu.
Aku telah menunaikan tugasku.
Tak ada dendam yang harus aku rawat lagi.
Dikemudian, anak cucu kita tak harus memikul tanda tanya ini lagi, cukup ia terkubur bersamaku malam ini. Bersama dosa yang berselimut kabut.
Aku telah usai.
Semua telah usai, tak ada rawat dendam, tak ada lagi tangisan, lengkingan, dan jeritan yang memekakkan telinga. Sebilah tanda tanya itu telah membayar lunas semuanya, mungkin sudah usai bagiku tentang dendam yang telah kubesarkan selama ini dengan terpaksa. 
/4/
Gelap.
Hari memang sudah malam ingatku
Dan aku belum menemukan apa yang aku cari darimu Bapak,
Hanya sebilah tanda tanya yang setia kurawat dengan terpaksa ini.
Membekas dalam ingatan, terkubur bersamaku dan tetap terkenang dalam ingatan Ibu,
Mungkin.
Maafkan aku Ibu, aku belum menemukan apa yang Bapak cari.
Hanya tangis dan jeritanmu yang kuingat. Dan penyesalanku yang menghujamku bertubi tubi di tempat sempit ini.
aku terlalu bernafsu Bapak, sehiungga aku buta, tak berpikir jauh bertindak. Dan aku salah telah mengundang musim penghujan lebih awal di pekarang rumah kita itu. Karena penyesalan selalu datang terlambat menegur manusia, termasuk menegurku malam itu.
Dua gundukan makam, sama besarnya, sama merahnya, sama nasibnya, sama pencariaannya, sama keturunannya, sama takdirnya.
Memikul SEBILAH TANDA TANYA!
mencari jawaban, mendatangkan penghujan lebih awal sebelum musimnya.
Lalu datang gelap.
 
Pamekasan, 28 Agustus 2016.
 
 
 


Berita Lainnya

Index
Galeri