Puisi-puisi Reky Arfal

Hikayat Dewa Ruci, Yang Terancam Pada Malam, Perahu Kaca

Hikayat Dewa Ruci, Yang Terancam Pada Malam, Perahu Kaca
Ilustrasi. (antarariau.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Hikayat Dewa Ruci
 
memasuki jalan kecil, melewati titian gantung
akhirnya aku tiba. menghadap ke seberang 
lampu-lampu kendaraan serupa kunang-kunang 
yang bertubrukan. seraya aku mengenangmu
sesuatu kembali menghampiri—sesuatu yang telah kutinggalkan sekian lama
semakin mendekat, lalu melekat ke sukmaku
seperti juga gemuruh pada pancang mulai
 
tersesat dalam keramaian tak bertuan
angin dari zaman yang lain memasuki tubuhku
kubiarkan batinku menjadi cermin
yang pecah pada hitungan ketiga
orang-orang bersorak di tepi kuantan
di batang air, doa-doa menghilir
melihat tubuh-tubuh tak berkepala bergulingan ke dalam
riak-riak kecil yang terpercik dari pengayuh
dari patahan sungkai yang diberkati
 
di tepian pulau anak-anak pacu menjelma cahaya
menyusuri jalan kenangan, menakar nyeri dan sakit
di pundak mereka kutemukan api yang menjulur
sepanjang badan jalur
 
gerimis berjalan pelan, mula-mula menyentuh tengkuk
lalu seluruh, menyusup ke tubuh, memaksaku memeluk 
sesuatu yang jauh
 
maka demi pulau sipan, tempat segala yang asing menjadi karib
aku memanggilmu. berikan aku mimpi dalam mabuk yang panjang
ceritakan padaku hikayat dewa ruci yang abadi
terbentang panjang seperti karpet merah
yang dirajut dari bergetah-getah darah 
pendahulu kami
 
Teluk Kuantan, 2016
Catatan: Dewa Ruci adalah nama Jalur dari Desa Pulau Sipan. 
 
 
 
Yang Terancam Pada Malam
 
tangis itu berbunyi lagi, pada malam ke sekian
pada dentang jam yang sayup. kuingat kembali
hujan yang kau titipkan ke tanganku
selalu tumpah, dan kurasakan ada yang mampir
hujan yang kusimpan yang selalu mahir mengancam 
barangkali adalah brosur masa silam
yang menawarkan kemustahilan, penyesalan
ketidakmungkinan, langit, nisan dan apalagi
dikebatnya segala menjadi nestapa
aku di antara pintu-pintu terkunci
mencari jalan menemukanmu
 
Teluk Kuantan, 2016
 
 
 
Perahu Kaca
 
di tepian pulau itu, aku ingat sekali, 
bagaimana caramu membungkus janji-janji 
dengan botol kaca. botol kaca yang bahkan 
tak mengenalmu. mungkin kalian telah saling 
kenal. atau mungkin mulut yang kau redam dan 
kau bungkus di dalamnya, telah binal 
kau biarkan botol kaca itu dipecah ombak
 
maka penuhlah tubuhnya oleh darah yang 
bukan kepunyaanmu. padahal perang telah lama usai, 
dan tak sedikit pun ditemukan bangkai-bangkai 
pedang yang tergenang di batang kuantan 
 
kau tak lagi bicara. terlihat jelas, sepasang mata 
yang melekat di wajah itu, berontak. sementara
mulutmu masih berlayar, mengumpat di tengah sunyi
tentang segala yang tidak kautepati
 
Teluk Kuantan, 2016
 
 
 
Reky Arfal. Menetap di Pekanbaru. Mahasiswa UIN SUSKA, jurusan Ilmu Hukum. Bergiat di Komunitas Paragraf, juga koordinator Malam Puisi Pekanbaru. Beberapa puisinya diterbitkan di Riau Pos dan Indopos, dan termaktub ke dalam beberapa antologi, yaitu Gemuruh Ingatan, Bendera Putih Untuk Tuhan, Selesat Cahaya Bermekaran, Pelabuhan Merah dan Wajah Kita. 
 


Berita Lainnya

Index
Galeri