Puisi-puisi Nurlaili Ummusnaini

Hujan ini Merpati Posku, Rindu yang Bisu, Lupa, Mengemis Cinta

Hujan ini Merpati Posku, Rindu yang Bisu, Lupa, Mengemis Cinta
ilustrasi. (Jeff Rowland/pinterest.com)

PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM

 
 
Hujan ini Merpati Posku
 
Hujan kita tengah bertamu, Ding
Mengeluhkan coretan syahdu di luar sana
Mengadukan alangkah rindu tengah bersemayam pada dua manusia
Hujan kita sedang bertandang, Ding
Melabuhkan diri bersedekap dalam pelukku
Dan kau jangan cemburu
Karena kau pun tahu
Kami adalah kawan sejawat; sahabat persinggahan
Hujan ini memaksaku mengatakan, Ding
Supaya bisa menyampaikan pesanku padamu katanya
Bahwa diri ini tengah didera pilu
Jika kini ragaku sedang merasa sendu
Bila jiwaku telah dihujani cecap rindu
Maka aku syairkan pada hujan ini, Ding
Ingin sekali ragaku isyaratkan dihadap kejoramu
Betapa hasratku menatap pipi berlesung milikmu
Aku kirimkan sepucuk surat tanpa kertas melalui perantara hujan, Ding
Singkat saja
Bahwa aku selalu merindukanmu
Dulu, kini, dan esok pun terus begitu
 
Indralaya, 16 Januari 2016
 
 
 
Rindu yang Bisu
 
Izinkan jemariku bermain melalui kisi-kisi rintik yang dilukis-Nya
Hingga kaku akan nama cinta sedikit terjerumus dalam tinta
Bahkan ada secumut rasa ganjil bila diri ini berjumpa
Izinkan aku berdamai pada sang waktu
Hingga putaran menit pula yang menjelma sebagai obat atas sakitku
Bahkan membuat raga ini lari dari tiang ketegaran
Pula akan ada masaku yang karam
Karena tak nampak lagi kerling pelangi dalam kejora indahmu
Sampai saat itu bertamu
Izinkan aku mengingatmu walau sebatas semu
Hingga tak pernah kau temui lagi detakku
Sukmaku selalu menunggu tanpa jemu
Hatiku bahkan meramu jenis baru
Adalah cinta yang terbungkus rindu
Ialah sepi telah terbalut sunyi yang sepuh
 
Indralaya, 24 Januari 2016
 
 
 
Lupa
 
Telah lama kulupa bagaimana rasanya rinai setelah sekian detak kumemilih memeluk kekeringan yang cundang. Dan tak lagi kuharap kesejukan menjenguk di antara kelabu yang setia melangkah disampingku.
Telah lama kulupa bagaimana rasanya embun menggelayut lantas melesap dalam nurani setelah kabut gelap menyapu dengan ketekunan.
Aku tak ingin menunggu (lagi) sebagai hujan ketika kusadari ada kemarau yang bertandang. Telah kulupa rasanya rintikan awan kala kering ketulusan datang.
Aku menginginkan kelupaan bagaimana rasanya basah ketika yang diinginkan berlari menjauh sedang ada yang lain melihat diri ini seutuhnya, sebagaimana adanya. Meski keraguan terkadang membayang; apakah diri mengizinkan ‘tuk meliriknya sebagai kedamaian abadi.
 
Indralaya, 11 Juli 2016
 
 
 
Mengemis Cinta
 
Sepucuk kembang ‘kan kau temukan
Kala ku memetik penuh cucuran asin
Menjadikanmu wahai permaisuri idaman
Bersama tatap dengki kawan-kawan
Oh, apakah engkau setajam itu
Menjelmakanku sebagai pengemis cinta
Sedang sukmaku mendeklarasikan diri
Pada yang mereka namakan pengembara kasih
Nan kau menjegalku dalam detak paruh waktu
Mendedikasikanku babu berdebu abu-abu
Namun, lengan kurus ini terus mengulur belasmu
Hingga mereka katakan bodoh dan buta tak lagi berbeda
Kiasan lagu yang kucipta
Alunan irama yang kudendang
Berseliwer; kuharap merayapi kuping lucumu
Meski pernyataan telah menamparku
Bahwa kau menulikan telinga, membutakan mata
Padaku, hanya padaku
 
Indralaya, 27 Agustus 2016
 
 
Nurlaili Ummusnaini, perempuan yang baru belajar menulis. Beberapa karyanya tergabung dalam beberapa antologi bersama. Merupakan mahasiswi tahun kedua di salah satu Universitas Negeri di Sumatera Selatan. Bergiat di Forum Lingkar Pena ranting UIN Raden Fatah Palembang. Kini gadis yang menyenangi Detektif Conan ini berdomisili di Indralaya, sekitar 30 kilometer dari kota Palemabang. Ia dapat diajak berbincang melalui akun facebooknya di Nurlaili Ummusnaini.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri